Atur Waktu Libur untuk Urai Kepadatan Kendaraan Saat Mudik Mendatang
Lalu lintas mudik dan balik Lebaran tahun ini meninggalkan sejumlah catatan yang harus segera dievaluasi. Waktu libur perlu diatur lebih baik agar kepadatan kendaraan sehingga tidak terkonsentrasi di waktu bersamaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengaturan lalu lintas mudik dan balik Lebaran tahun ini meninggalkan sejumlah catatan yang harus segera dievaluasi. Beberapa hal di antaranya seperti penggunaan tempat istirahat atau rest area, kedisiplinan pemudik menaati aturan lalu lintas, antrean pada angkutan penyeberangan, manajemen informasi, dan optimalisasi penggunaan transportasi massal. Pengaturan hari libur juga diperlukan untuk memecah kepadatan kendaraan sehingga tidak terkonsentrasi di waktu bersamaan.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno mengatakan, kemacetan di saat arus mudik dan balik tidak bisa dihindari. Namun, kemacetan dapat dikendalikan agar kendaraan tidak berhenti total di jalan. Tetap bisa berjalan, meski dengan kecepatan rendah.
”Menambah kapasitas jalan di Pulau Jawa tidak mungkin dilakukan terus-menerus. Selain keterbatasan lahan, juga keterbatasan anggaran. Pengaturan waktu mobilisasi mudik dan balik harus dilakukan dan sudah dimulai saat arus balik Lebaran tahun ini,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (8/5/2022).
Membagi masa libur juga dapat mengurangi mobilitas pemudik di hari yang sama. Menurut Djoko, kebijakan ini sangat mungkin dilakukan, baik untuk pegawai pemerintah maupun swasta.
”Dunia kerja memungkinkan untuk tidak libur bersamaan. Dengan begitu, lalu lintas kendaraan saat mudik tidak terlalu menumpuk,” katanya.
Perpanjangan masa libur sekolah dan kuliah serta penerapan sistem bekerja dari rumah akan mengurai kepadatan saat puncak arus mudik dan balik. Hal ini mesti dimaksimalkan dalam masa mudik di tahun-tahun mendatang.
Menurut Djoko, manajemen prioritas dengan rekayasa lalu lintas yang dilakukan di Jalan Tol Trans-Jawa berupa ganjil genap, sistem satu arah (one way), dan lawan arus (contra flow) sudah maksimal. Sebelum terhubung, perjalanan mudik untuk mencapai wilayah perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah membutuhkan waktu 30-35 jam. Namun, saat ini menjadi 12-15 jam.
Membagi masa libur juga dapat mengurangi mobilitas pemudik di hari yang sama. Kebijakan ini sangat mungkin dilakukan, baik untuk pegawai pemerintah maupun swasta.
Akan tetapi, antrean di tempat istirahat jalan tol masih menjadi sumber kemacetan saat arus mudik dan balik tahun ini. Zona parkir dan area aktivitas orang, seperti makan dan minum, perlu dipisah agar arus kendaraan menjadi lebih lancar.
Penyebab lain kemacetan lalu lintas di jalan tol, seperti perilaku pengendara beristirahat di bahu jalan tol, berkendara zig-zag, saldo uang elektronik tidak mencukupi, penyempitan ruas jalan (bottleneck), dan melintas jalur tanpa kendali petugas.
Djoko juga menyoroti kendala lalu lintas penyeberangan ke Pulau Sumatera. Menurut dia, semakin panjang Jalan Tol Trans-Sumatera akan memantik pemudik menggunakan kendaraan pribadi. Faktor keamanan menjadi pertimbangan pemudik untuk menyeberang melalui Pelabuhan Merak, Banten, pada malam hari agar tiba di Pelabuhan Bakauheni, pagi hari dan melanjutkan perjalanan darat.
”Diperlukan jaminan keamanan pemudik di Pulau Sumatera, keamanan rest area di sepanjang Jalan Tol Jakarta-Merak, dan sosialisasi sistem tiket daring (online) harus lebih masif lagi,” ujarnya.
Program mudik gratis juga sebaiknya diperbanyak dan diperluas hingga Pulau Sumatera. Yang tak kalah penting, memisahkan angkutan logistik dan penumpang di saat arus mudik dan balik serta memperluas area parkir kendaraan bermotor di pelabuhan.
”Praktik percaloan tiket di sekitar pelabuhan juga harus segera dilenyapkan agar pemudik merasa lebih nyaman,” katanya.
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono Wibowo, mengatakan, manajemen informasi lalu lintas secara real time perlu diterapkan pada masa mudik mendatang. Sebab, kemacetan tidak terjadi secara tiba-tiba sehingga dapat diantisipasi, salah satunya mengarahkan pemudik ke jalur arteri saat kondisinya tidak terlalu padat.
”Sistem informasi tentang kemacetan harus tersedia dengan baik. Dengan begitu, pengemudi bisa memutuskan dengan tepat kapan akan menggunakan jalur arteri,” ujarnya.
Perubahan perilaku masyarakat menggunakan angkutan massal, seperti kereta api, bus, dan kapal laut menjadi faktor penting untuk meminimalkan kemacetan. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan kesiapan transportasi umum di daerah tujuan mudik.
”Harus segera dipikirkan untuk memaksimalkan moda transportasi massal. Cara ini didorong agar kemacetan bisa berkurang,” ujarnya.