Tak Lagi ke Luar Negeri berkat Mandiri di Kampung Sendiri
Kewirausahaan dan pengelolaan kopi jadi senjata sejumlah mantan pekerja migran agar mereka bisa sejahtera dengan tinggal di kampung, tak perlu lagi mencari kerja ke luar negeri.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO, ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Bagi Robinah (50), Lebaran adalah waktu penuh kebahagiaan sekaligus momen mengenang derita ditinggal putranya. Luka itu melecut warga Desa Sindupaten, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo di Jawa Tengah ini untuk mandiri di kampung sendiri dan purna sebagai buruh migran di luar negeri.
Pada Lebaran 2005, anak sulung Robinah, Ari Mutamir (16), meninggal dunia di Wonosobo. Lebih memedihkan lagi, ia kala itu masih di Singapura karena kontraknya belum selesai.
“Anak saya yang pertama, waktu saya berangkat ke luar negeri itu masih SMP (sekolah menengah pertama). Lalu saat SMK (sekolah menengah kejuruan) kelas 2, anak saya meninggal karena sakit tipes saat saya masih di luar negeri. Waktu itu terlambat dibawa ke rumah sakit. Malam Hari Raya, anak saya dikuburkan,” kata Robinah dengan mata berkaca-kaca, Sabtu (23/4/2022).
Lulusan sekolah dasar ini pun memantapkan hati tetap di rumah membantu sang suami bekerja mereparasi sepatu usai kepergian anaknya. Untungnya, Robinah hampir tiga tahun ini telah menjajal usaha pembuatan "petos" alias kripik tempe atos, setelah mendapatkan sejumlah pelatihan dari Social Analysis and Research Institute (SARI) Surakarta, dalam komunitas Sindupaten Buruh Migran (Sindubumi).
Lewat pembuatan petos 5-10 kilogram per minggu dan menjual ke warung-warung serta pasar sekitar Wonosobo, ia bisa mendapatkan pemasukan hingga Rp 150.000.
Sindubumi, komunitas yang beranggotakan 40 eks pekerja migran Indonesia (PMI), juga memiliki kelompok jasa boga (catering) serta pembuatan kue kering. Kelompok ini biasa melayani pesanan dari pelanggan sekitar Wonosobo, khususnya menjelang Lebaran.
Koordinator Komunitas Sindubumi Mardiah menyampaikan, usia anggota dari kelompok yang dirintis sejak 2016 ini beagam, mulai dari 29 tahun hingga 50 tahun. "Rata-rata pernah bekerja di Taiwan, Hongkong, ada juga yang Arab dan Malaysia,” kata Mardiah yang pernah bekerja di Brunei Darussalam pada 2003 dan kini berjualan sosis bakar di pasar.
Anak saya tidak usah ke Malaysia seperti saya dulu, tetapi di sini saja. (Abdul Mukti)
Komunitas ini pun mendapat bantuan peralatan dan pelatihan menjahit serta boga senilai Rp 100 juta dalam program Desa Migran Produktif (Desmigratif) dari Kementerian Ketenagakerjaan. Sehari-hari, komunitas ini membuat jas hujan, sandal dari ban bekas, masker, dan juga pelatihan membatik di Ruangan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), tepat di belakang kantor desa.
Kepala Desa Sindupaten Kukuh Zubaidi berharap komunitas ini bisa menjadi semacam pengerem atau kontrol supaya tidak banyak orang yang keluar negeri. “Desa sangat terbantu terkait dengan permberdayaan kelompok itu. Kegiatannya juga mendukung sekali bagi mantan PMI,” ujarnya.
Desa Sindupaten dihuni oleh 1.275 keluarga dengan total 4.700 jiwa. Sebanyak 60 persen bekerja sebagai petani, lainnya adalah pedagang, PNS, serta buruh. Sekitar 90 orang merupakan PMI di luar negeri.
Dusun Kumbi di Desa Pakuan, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, telah lama dikenal sebagai kampung PMI. Tetapi beberapa tahun terakhir, warga di sana menyadari potensi kopi yang bisa membuat mereka mandiri.
Kepala Dusun Kumbi sekaligus "alumnus" PMI di Brunei Darussalam, Saringgih (36), misalnya, mengelola kedai kopi yang saat ini fokus ke pengolahan kopi pascapanen. Lewat usaha kecil menengah bernama “Alami”, Saringgih menampung kopi dari para petani di Dusun Kumbi, mengolahnya, kemudian mendistribusikannya ke para pelanggan, yakni kedai-kedai kopi di Mataram.
Berbagai pendampingan, termasuk dari Pemerintah Provinsi NTB dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), membuka mata warga Kumbi tentang potensi kopi bagi kesejahteraan, cukup dengan tinggal di kampung. Mereka tidak perlu lagi merantau ke negara lain.
“Jika dipersentase, sekitar 80 persen dari 700 warga di Dusun Kumbi ini sudah menjadi PMI. Baik laki-laki maupun perempuan,” kata Saringgih.
Abdul Mukti (59) yang menjadi PMI antara 1984 hingga 2014, mengaku telah mengenal penanaman kopi sejak 1996, tetapi dahulu pendapatan begitu rendah karena tidak paham cara panen sesuai standar. Dulu, ia melakukan petik campur antara kopi merah dan hijau. Kini, ia hanya petik buah yang sudah merah.
“Sekarang, saya tidak mau petik hijau lagi atau petik campur. Selalu merah,” kata Mukti.
Menurut Mukti, selain paham cara petik, ia juga mengerti cara pengolahan pascapanen hingga pemasaran. Cara itu rupanya meningkatkan hasil penjualan.
Sebelumnya, biji kopi yang telah dipanggang (roasted bean) dari kopi petik campur miliknya dibeli Rp 25.000 hingga Rp 27.000 per kilogram. Tetapi sekarang, bisa hingga Rp 150.000 per kilogram karena kualitasnya lebih baik.
Mukti berharap, terutama lewat kopi, ia dan keluarganya bisa semakin mandiri. “Anak saya Anak sayatidak usah ke Malaysia seperti saya dulu, tetapi di sini saja,” kata Mukti.
Saringgih mengatakan, bekerja di luar negeri tidak seindah yang terlihat. Menurut dia, mengelola potensi alam di kampung sendiri seperti kopi ternyata memberi peluang besar masyarakat untuk mandiri.
Oleh karena itu, kata Saringgih, bersama 20 mantan pekerja migran yang kini terlibat dan mengelola antara beberapa puluh area hingga beberapa hektar, ia akan terus meningkatkan kualitas produksi kopinya.
“Kami akan terus jalan. Terus berproduksi walaupun sedikit. Tentu dengan menjaga dan meningkatkan kualitasnya,” kata Saringgih.
Menurut Saringgih, mimpi besarnya adalah Kumbi menjadi “tulang punggung” kopi Lombok Barat. Ketika orang mencari kopi di Lombok Barat, maka yang dilihat adalah Kopi Kumbi. Tidak hanya dari sisi produksi kopi, tetapi sektor lain seperti wisata kopi. Bahkan, kebutuhan ekspor.
“Kami semua antusias. Sekarang, anggap saja kami seperti bayi yang baru lahir. Lalu nanti akan merangkak, hingga bisa berlari. Butuh waktu,” kata Saringgih.
Wilayah perkebunan kopi yang berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, kata Saringgih adalah modal besar disamping antusias warga. Tidak hanya untuk kopi robusta yang saat ini dikembangkan warga, tetapi juga kopi arabika.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, menyatakan, dukungan terhadap PMI purna akan terus diberikan, termasuk ke Kumbi.
Kopi di Kumbi dan kewirausahaan di Sindupaten jadi senjata mantan PMI untuk mandiri di kampung sendiri tanpa perlu lagi ke luar negeri.