Kumbi Belajar Mandiri dengan Kopi
Dusun Kumbi di Lombok, NTB, melihat potensi dan peluang untuk bisa mandiri lewat sumber daya alam sendiri, seperti kopi. Jika sesuai harapan, warga seharusnya tidak perlu lagi bekerja di luar negeri.
Dusun Kumbi di Desa Pakuan, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, telah lama dikenal sebagai kampung pekerja migran Indonesia. Tetapi, beberapa tahun terakhir, warga dusun yang berada di wilayah tapak itu menyadari potensi kopi yang bisa membuat mereka bisa mandiri.
Jam menunjukkan pukul 08.00 Wita saat Saringgih (36) telah berada di berugaq atau saung rumahnya, Kamis (5/5/2022). Di dekatnya telah siap berbagai peralatan untuk membuat kopi. Ada grinder atau alat penggiling kopi listrik, moka pot atau alat penyeduh kopi nonlistrik, hingga gelas-gelas espreso ukuran 30 mililiter.
Tiga plastik bening berisi biji-bji kopi yang telah disangrai juga telah siap. Selain kopi robusta Kumbi, juga ada kopi robusta Rempek dari Kecamatan Gangga, Lombok Utara, dan kopi arabika Sajang dari Sembalun, Lombok Timur.
”Kita coba kopi Kumbi dulu, ya. Baru nanti kopi yang lain,” kata Saringgih sambil mengambil grinder.
Ia lantas memasukkan biji kopi ke dalam wadah berbentuk corong di bagian paling atas grinder. Setelah menutup wadah itu, Saringgih menghidupkan alat itu dan suara bising terdengar beberapa saat.
Begitu selesai, ia memidahkan bubuk kopi ke wadah air seduhan moka pot dan menambahkan air. Ia lantas memasang bagian lain alat seduh kopi itu hingga bagian wadah kopi dan penutupnya. Lalu menekan tombol untuk menghidupkan alat itu.
Tak berapa lama, espreso yang siap dinikmati telah memenuhi wadah kopi. Saringgih mematikan alat itu, lalu mengambil gelas-gelas sloki dan mengisinya. Ia kemudian menyajikannya kepada setiap orang yang pagi itu datang ke rumahnya.
Selain sebagai kepala dusun yang setiap hari melayani warganya, Saringgih (36) kini juga sibuk dengan Kedai Kopi Kumbi. Kedai yang dimaksud tidak seperti kedai atau kafe pada umumnya yang memiliki bangunan dengan pelayan-pelayan.
Kedai Kopi Kumbi berada satu tempat dengan rumah milik Saringgih. Satu-satunya tempat menikmati kopi adalah berugak itu. ”Memang ada niat untuk membuat kafe di sini. Tetapi, nanti dulu, belum cukup modal,” kata Saringgih.
Oleh karena itu, untuk sementara, Kedai Kopi Kumbi lebih ditujukan pada kegiatan pengolahan kopi pascapanen. Lewat usaha kecil menengah bernama Alami, Saringgih menjalankan usaha untuk menampung kopi dari para petani di Dusun Kumbi, mengolahnya, kemudian mendistribusikannya kepada pelanggan, yakni kedai-kedai kopi di Mataram.
Kantung PMI
Kopi sebenarnya bukan hal baru bagi warga Kumbi. Sejak tahun 1990-an, kopi menjadi salah satu tanaman warga di dusun yang berada sekitar 26 kilometer di timur laut Mataram, ibu Kota NTB, itu.
Tidak hanya ditanam di sekitar permukiman warga, kopi juga ditanam di kawasan Taman Hutan Raya Nuraksa di dusun tersebut. Hanya, selama puluhan tahun, kopi tidak menjadi tanaman utama warga.
Kala itu, pemeliharaan, panen, hingga pengolahan pascapanen tidak sesuai standar. Kopi dipetik asal, dijemur, kemudian dijual dengan harga murah. Karena tidak menjanjikan, warga memilih memangkas tanaman kopi dan menggantinya dengan kakao atau pisang yang lebih menguntungkan.
Hasil hutan menjadi andalan kampung tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, gelombang lain juga muncul saat itu, yakni warga yang mulai menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) ke sejumlah negara.
”Jika dipersentase, sekitar 80 persen dari 700 warga di Dusun Kumbi ini sudah menjadi PMI. Baik laki-laki maupun perempuan,” kata Saringgih yang juga pernah ke Brunei Darussalam.
Menurut Saringgih, sampai saat ini juga masih ada warganya yang menjadi PMI. Tidak hanya ke Malaysia atau Arab Saudi, tetapi ada juga yang ke Taiwan hingga Jepang.
Di tengah masih tingginya keinginan untuk menjadi PMI, tahun 2019 sebuah program padat karya dari pemerintah daerah di Kumbi membuka pemikiran warga akan betapa besar potensi desanya.
Progam itu bukan hanya pembangunan rabat jalan, tetapi juga menggali potensi daerah. Dari hasil identifikasi, Kumbi memiliki potensi sumber daya alam yang besar dengan komoditas seperti pisang, cokelat, dan kopi.
Khusus kopi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB kemudian mendatangkan ahli kopi dari Kota Mataram untuk melatih warga yang merupakan mantan PMI. Pelatihan itu terkait panen hingga penanganan pascapanen. Warga juga mendapat bantuan peralatan pengolahan kopi.
Jika dipersentase, sekitar 80 persen dari 700 warga di Dusun Kumbi ini sudah menjadi PMI. Baik laki-laki maupun perempuan.
Pelatihan, termasuk dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTB, itu membuka mata warga tentang potensi besar kopi. Abdul Mukti (59), yang menjadi PMI antara 1984 dan 2014, mengaku telah menanam kopi sejak 1996. Tetapi, menurut dia, dirinya tidak mendapat banyak hasil dari kopi. ”Sekali panen bisa dapat berton-ton kopi. Tetapi, dijual pun tidak dapat banyak,” kata Mukti.
Seperti warga lain, Mukti baru paham bahwa selama ini cara panennya tidak sesuai standar, yakni petik campur antara kopi merah dan hijau. Padahal, petik merah menjadi standar kopi yang bermutu. ”Sekarang, saya tidak mau petik hijau lagi atau petik campur. Selalu merah,” kata Mukti.
Menurut Mukti, selain paham cara petik, ia juga mengerti cara pengolahan pascapanen hingga pemasaran. Cara itu rupanya meningkatkan hasil penjualan.
Sebelumnya biji kopi yang telah dipanggang (roasted bean) dari kopi petik campur miliknya dibeli Rp 25.000 hingga Rp 27.000 per kilogram. Tetapi sekarang, harganya bisa mencapai Rp 150.000 per kilogram karena kualitasnya lebih baik.
Mukti mengatakan, ia kini sadar bahwa kopi ternyata bisa sangat menguntungkan. Untuk itu, ia ingin fokus di sana, juga tanaman lain, seperti kemiri, rambutan, dan durian, di lahan seluas 3 hektar yang dikelolanya.
Mukti berharap, dengan cara itu, terutama lewat kopi, ia dan keluarganya bisa semakin mandiri. Bahkan, ia ingin tidak ada lagi anggota keluarganya yang menjadi PMI. Cukup ia yang terakhir pada 2014 lalu. ”Tidak usah. Anak saya tidak usah ke Malaysia seperti saya dulu, tetapi di sini saja,” kata Mukti.
Tulang punggung kopi
Saringgih mengatakan, bekerja di luar negeri tidak seindah yang terlihat. Menurut dia, mengelola potensi alam, seperti kopi, di kampung sendiri ternyata memberi peluang besar masyarakat untuk mandiri.
Oleh karena itu, kata Saringgih, bersama 20 mantan pekerja migran yang kini terlibat dan mengelola beberapa puluh hingga beberapa hektar area, ia akan terus meningkatkan kualitas produksi kopinya.
”Kami akan terus jalan. Terus berproduksi walaupun sedikit. Tentu dengan menjaga dan meningkatkan kualitasnya,” katanya.
Menurut Saringgih, mimpi besarnya adalah Kumbi menjadi ”tulang punggung” kopi Lombok Barat. Ketika orang mencari kopi di Lombok Barat, maka yang dilihat adalah Kopi Kumbi. Tidak hanya dari sisi produksi kopi, tetapi sektor lain, seperti wisata kopi, bahkan kebutuhan ekspor.
Meski demikian, ia menyadari bahwa jalan menuju ke sana masih sangat panjang. Banyak hal yang harus dibenahi dan dipersiapkan. Lewat UKM Alami dengan produk kopi Kumbi dan kedainya sebagai langkah awal, mereka optimistis bisa mewujudkan mimpi itu.
”Kami semua antusias. Sekarang, anggap saja kami seperti bayi yang baru lahir. Lalu nanti akan merangkak, hingga bisa berlari. Butuh waktu,” ujar Saringgih.
Wilayah perkebunan kopi yang berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, lanjutnya, adalah modal besar, di samping antusiasme warga. Tidak hanya untuk kopi robusta yang saat ini dikembangkan warga, tetapi juga kopi arabika.
Menurut Saringgih, mereka tentu tidak bisa berjalan sendiri. Dukungan semua pihak, termasuk instansi terkait, juga harus kuat. Ia berharap program-program misalnya dari dinas kehutanan dan lingkungan hidup juga sejalan atau sesuai kebutuhan warga, di antaranya untuk kopi. ”Saat ini, kami butuh bibit-bibit kopi yang unggul untuk peremajaan,” ujarnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan, dukungan terhadap mantan PMI akan terus diberikan, termasuk ke Dusun Kumbi.
Menurut Gede, dukungan tidak hanya dari mereka, tetapi harus terpadu oleh instansi atau dinas terkait lainnya. Untuk bibit, misalnya, Disnakertrans telah menghubungkan warga Kumbi dengan balai benih pertanian.
Orang yang pernah bekerja di luar negeri dengan pahit getirnya kehidupan di sana pasti memiliki etos kerja tinggi dibandingkan dengan orang yang bekerja di negeri sendiri.
Upaya pembinaan juga akan terus diberikan. Mereka juga akan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pameran usaha. Harapannya, upaya itu akan membuat usaha di Kumbi bisa berkelanjutan dan memiliki jaringan pemasaran yang semakin luas.
Menurut Gede, mantan PMI memiliki tiga modal utama untuk menjadi wirausaha mandiri yang sukses, yakni pengalaman, modal, dan jaringan.
”Orang yang pernah bekerja di luar negeri dengan pahit getirnya kehidupan di sana pasti memiliki etos kerja tinggi dibandingkan dengan orang yang bekerja di negeri sendiri,” ujarnya.
Gede mengatakan, pengalaman bekerja di luar negeri harus menjadi spirit untuk menjadi manusia yang lebih baik. Termasuk bagi warga Dusun Kumbi lewat kopi yang peminatnya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga luar negeri.
Penasihat Asosiasi Kopi Indonesia NTB, Giri Arnawa, mengatakan, kopi adalah solusi bagi beban ekonomi, selain solusi untuk beban sosial dan beban lingkungan.
”Secara ekonomi otomatis mendapatkan manfaat ekonomi sepanjang itu dikelola dengan baik. Artinya, petani akan mendapatkan manfaat apabila kita bangun perbaikan-perbaikan bagi mereka di hulu dari sisi kuantitas, kualitas, dan kapasitas,” kata Giri.
Peluang kopi sebagai solusi bagi perbaikan ekonomi dan menjadikan Kumbi mandiri dengan kopi tentu tidak mustahil. Dengan dukungan berbagai pihak sesuai peran masing-masing, Kumbi tidak perlu lagi menjadi kantong PMI.