Harapan dan Peringatan dari Keluarga Korban Pandemi Covid-19
Momen Lebaran tahun ini membawa harapan baru bagi para keluarga korban pandemi Covid-19. Mereka memiliki harapan untuk pulih, tetapi juga memberi peringatan kewaspadaan.
Momen Lebaran tahun ini membawa harapan baru bagi banyak pihak, termasuk warga yang kehilangan anggota keluarganya akibat terserang Covid-19. Para keluarga korban pandemi itu memiliki harapan untuk pulih, tetapi juga mengingatkan semua pihak agar tetap waspada karena pandemi belum berakhir.
Tahun ini, Hari Raya Idul Fitri terasa lebih sepi bagi Novia Lisda (26). Tak ada lagi percakapan dengan ibunya yang biasa meminta Novia membantu memasak di dapur. Tangan dan pipi sang ibu juga tak bisa lagi diciumnya.
Pada pertengahan September 2021, ibunda Novia meninggal dunia setelah terkonfirmasi positif Covid-19. Setelah hampir tiga minggu berjuang melawan Covid-19, sang ibu akhirnya berpulang dalam usia 58 tahun.
“Saat itu, aku hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik. Ibu ada komorbid (penyakit bawaan), itu yang mungkin membuat kondisinya memburuk. Covid-19 memang mengerikan. Enggak perlu waktu lama untuk mengambil orang yang kita sayang,” kata Novia yang merupakan warga Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (5/5/2022).
Baca juga: Kematian akibat Covid-19 Diperkirakan Hampir Tiga Kali Lebih Besar daripada yang Dilaporkan
Kepergiaan sang ibu tentu membuat Novia merasa sangat sedih. Momen Lebaran yang biasa dirayakan dengan sang ibu dan anggota keluarga lainnya pun terasa sangat berbeda. Meski begitu, dia tak mau larut dalam kesedihan. Apalagi, Novia masih memiliki adik remaja dan ayah berusia lanjut yang butuh perhatian.
Maka, Novia pun mengambil alih peran sang ibu untuk menyiapkan perayaan Lebaran di keluarganya. Sejak dua hari sebelum Idul Fitri yang jatuh pada Senin (2/5/2022) lalu, dia sudah menyiapkan sajian makanan seperti opor ayam, lontong, dan sayur krecek. Tak lupa pula ia memasak menu kesukaan ayahnya, yakni ikan asam pedas dan ikan bakar.
“Aku enggak mau sedih terus-terusan. Masih ada orang-orang tersayang di sini. Lebaran tetap harus kita syukuri dengan berkumpul bersama,” ujar Novia yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta itu.
Bahkan, saat ini, Novia memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan S2 sesuai keinginan ibunya dulu. “Tahun depan aku mau wujudkan keinginan ibu untuk kuliah S2. Bahkan ibu bilang, kalau bisa S3. Sayangnya, ibu sudah enggak bisa lihat aku wisuda lagi,” tutur dia.
Novia berharap, semua orang bisa merasakan kebahagiaan dalam Lebaran kali ini. Apalagi, selama beberapa waktu terakhir, kasus Covid-19 relatif terkendali sehingga masyarakat bisa mudik dan merayakan Lebaran bersama keluarga besar di kampung halaman.
Namun, Novia juga berharap, semua pihak tetap mewaspadai kemungkinan naiknya kasus Covid-19 setelah Lebaran. “Kasus memang turun, tapi Covid-19 masih ada. Jadi harus tetap disiplin protokol kesehatan dan vaksin. Semoga yang pulang kampung dan nanti kembali lagi juga tetap sehat,” katanya.
Sandaran
Suasana berbeda saat Lebaran juga dirasakan Gina Mardani Cahyaningtyas (26). Untuk kali pertama, dia tak merayakan Idul Fitri bersama ibunya karena sang ibu telah meninggal dunia pada 7 Juli 2021. Sang ibu diduga kuat terpapar Covid-19, tetapi tidak sempat diperiksa.
Kepergian sang ibu membuat Gina merasa sangat kehilangan. Sebab, baginya, peran ibu dalam keluarga sangat penting. Bahkan, dia mengibaratkan sosok ibu sebagai sandaran dan pengikat keluarga. Hal ini karena para anggota keluarga lainnya sangat bergantung pada sosok ibu.
“Begitu sandaran hilang, ambruk semuanya,” kata Gina yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta.
Baca juga: Jabar Antisipasi Lonjakan Covid-19 Setelah Lebaran
Meski begitu, Gina juga tak mau terus larut dalam kesedihan. Pada bulan Ramadhan lalu, dia berupaya memperbanyak ibadah untuk menenangkan diri. Selain itu, dia terus berusaha mengikhlaskan kepergian ibunya.
Saat Lebaran lalu, Gina bersama bapak dan adiknya menjalankan Shalat Idul Fitri di masjid sekitar rumah. Sehabis itu, mereka langsung berziarah ke makam sang ibu. “Rasanya sedih ditinggal ibu, tapi ya sudah, diterima saja,” ujar warga Pamulang, Tangerang Selatan, tersebut.
Gina juga berusaha melanjutkan tradisi yang biasa dilakukan ibunya saat Lebaran, yakni memberikan uang kepada anak-anak tetangga serta sejumlah orang di kampung halamannya di Yogyakarta. Selain untuk mengenang sang ibu, tradisi itu dia lanjutkan untuk menguatkan hubungan dengan saudara dan tetangga.
Sama dengan banyak orang lainnya, Gina juga berharap pandemi Covid-19 segera berakhir atau setidaknya tidak terjadi lonjakan kasus lagi. Saat ini, dia juga berupaya agar tidak kembali tertular Covid-19. Oleh karena itu, Gina pun berusaha menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan, mengonsumsi suplemen, dan berolahraga.
“Saya juga mengurangi acara kumpul-kumpul, terutama saat kondisi tubuh kurang sehat,” ungkapnya.
Ditinggal ayah
Kesedihan saat Lebaran juga dirasakan Ghazaly Radjab (41), warga Manado, Sulawesi Utara. Sebab, pada tahun ini, Ghazaly harus merayakan Lebaran tanpa kehadiran sang ayah yang sekitar 10 bulan sebelumnya berpulang karena terkena Covid-19.
“Ini hari raya pertama tanpa bapak. Memang ada rasa sedih, itu pasti. Ada sesuatu yang hilang. Tetapi saya mencoba berpedoman pada agama. Kalau memang sudah takdir, saya harus ikhlas,” kata Ghazaly ketika ditemui di rumahnya di Kelurahan Islam, Tuminting, Manado.
Meski telah tiada, sosok sang ayah tetap ada dalam hati dan pikiran Ghazaly beserta keluarganya. Karena itu, sepulang Shalat Idul Fitri, mereka sekeluarga pergi ke berziarah ke makam sang ayah.
Ghazaly bercerita, ayahnya mendadak sakit pada 16 Juli 2021 atau tiga hari menjelang perayaan Idul Adha. “Dua minggu sebelumnya, saya memang sempat sakit dengan gejala Covid-19. Anak saya juga kena, kami gantian kena sekeluarga, baru kemudian Bapak,” kata dia.
Meski sang ayah telah berpulang, Ghazaly tak ingin terus tenggelam dalam kesedihan. Justru kebahagiaan mulai kembali dalam hari-harinya setelah bisa berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga dan kawan-kawannya saat Idul Fitri. Namun, dia berharap, masyarakat tetap waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan karena pandemi belum berakhir.
Harapan agar semua pihak disiplin menerapkan protokol kesehatan juga diungkapkan Azis (23), warga Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Pada Agustus tahun lalu, ayahanda Azis meninggal setelah berjuang melawan keganasan Covid-19. “Bapak cuma sempat sepekan dirawat di rumah sakit. Setelah itu, beliau meninggal. Bapak juga punya penyakit gula (diabetes),” katanya.
Tahun ini, Azis merayakan Idul Fitri bersama ibu dan kedua adiknya. Sebagai anak sulung, ia menggantikan peran almarhum ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Sejak tiga bulan lalu, lulusan SMA itu bekerja di bagian pemasaran salah satu toko elektronik di Depok.
“Tanpa bapak, tentu suasana Lebaran tidak akan pernah sama lagi. Namun, ini mungkin jadi kesempatan saya untuk belajar bertanggung jawab pada keluarga,” tuturnya.
Azis tak punya harapan muluk-muluk untuk dirinya pada Idul Fitri tahun ini. Ia hanya ingin pandemi segera berakhir. Sebab, selain merenggut ribuan nyawa, Covid-19 juga menyebabkan krisis ekonomi sehingga banyak orang kehilangan pekerjaan.
“Tahun ini sepertinya mulai membaik. Kasus Covid-19 turun dan beberapa perusahaan dan toko mulai membuka lapangan pekerjaan lagi. Tren bagus ini harus dijaga sama-sama,” ucapnya.
Akan tetapi, Azis juga berharap agar kedisiplinan menjaga protokol kesehatan tetap dijaga. Bahkan, dia mengaku pernah beberapa kali menegur orang-orang yang tidak memakai masker. Namun, tak jarang ia justru dimarahi karena dianggap mencampuri urusan orang lain.
“Dahulu, sebelum gelombang Delta, kasus Covid-19 juga sempat turun. Jadi, saat sekarang ini kasusnya turun, tidak ada jaminan kasusnya enggak akan naik lagi. Harusnya ini dijadikan pelajaran supaya tidak ada lagi orang-orang yang kehilangan keluarganya karena Covid-19,” ungkap Azis.