Berburu Durian di Palembang dan Aceh
Tumbuh menyebar di seluruh wilayah Pulau Sumatera dari Palembang hingga Aceh, lapak-lapak durian pun tumbuh di kota-kota itu.
Tumbuh menyebar di seluruh wilayah Pulau Sumatera dari Palembang hingga Aceh, durian menjadi kekuatan ekonomi warga. Rasanya yang khas diburu penikmatnya. Lapak-lapak durian pun bertumbuhan di kota-kota di Sumatera.
Di Palembang, ribuan durian habis disantap warga Palembang ataupun pendatang setiap hari. Seperti di Medan, Sumatera Utara, keberadaannya juga tak lagi menunggu musim, tetapi selalu tersedia. Durian-durian itu didatangkan dari daerah tetangga.
Salah satu tempat nongkrong favorit bagi warga Palembang untuk menyantap durian adalah Pasar Durian Kuto, Palembang. Di situ terdapat tujuh lapak yang menawarkan ribuah durian dengan berbagai harga. Proses tawar-menawar harga harus dilalui untuk mencapai kesepakatan. Ketika harga sudah tersepakati, durian pun bisa langsung disantap.
Paul Barokah (42), pemilik salah satu lapak di Pasar Durian Kuto Palembang, menyatakan, sejak direnovasi dua tahun silam, pasar ini menjadi obyek wisata bagi warga Palembang dan pendatang. ”Dalam satu hari, saya bisa menjual sekitar 1.000 durian. Kalau rata-rata penjualan setiap lapak sedemikian besar, dalam satu hari, kawasan ini bisa mengedarkan 7.000 buah per hari,” katanya.
Baca juga: Ikhtiar Melegitkan Budidaya Nanas
Tidak hanya makan di tempat, Paul juga menyediakan wadah plastik agar pelanggan dapat membawa pulang atau mengirimkan durian tersebut ke luar kota dengan pesawat. ”Sejak beberapa tahun lalu, kami sudah bisa mengemas wadah durian sehingga baunya tidak mencolok, yakni dengan melapisi wadah dengan lakban dan menaburinya dengan kopi,” kata Paul.
Paul juga memasok durian tanpa biji dari Padang, Sumatera Barat. Harganya Rp 60.000 per kilogram. Durian tanpa biji itu digunakan sebagai bahan pembuatan es durian dan martabak.
Pemasok durian lainnya adalah Salim (64). Salim mampu menjual sekitar 5.000 durian per hari. Bahkan, jika masa panen raya, dia bisa menjual hingga 20.000 durian per hari.
Masa panen raya diperkirakan datang pada pertengahan Mei mendatang hingga satu bulan berikutnya. Panen raya berikutnya akan terjadi pada Agustus dari daerah yang berbeda.
Salim mendatangkan durian dari sejumlah daerah, seperti Sumatera Barat, Bengkulu, dan beberapa daerah di Sumatera Selatan, misalnya di Empat Lawang, Lahat, dan Muara Enim ke Palembang.
Baca juga: Anyaman Serat Batang Pisang Palembang Mendunia
Sebagai pemasok durian di Palembang, Salim mengumpulkan buah dari para pengepul durian. Salim membayarnya dengan harga Rp 15.000 per buah. Biasanya, pengepul mengumpulkan durian dari petani dan membayar sekitar Rp 10.000-Rp 12.000 per buah dari petani.
Dengan biaya angkut sekitar Rp 2.000 per buah, keuntungan pengepul sekitar Rp 1.000 per buah. Dalam sehari rata-rata pengiriman satu mobil bak terbuka sekitar 1.000 buah durian per hari, dengan keuntungan pengepul sekitar Rp 1 juta per hari.
Saat tiba di lapaknya, Salim menjual durian berdasarkan kualitasnya. Untuk durian dengan grade C atau kualitas terendah dihargai Rp 10.000 per buah. Sementara untuk grade B yang kualitasnya lebih baik dipatok harga Rp 17.000-Rp 19.000 per buah. Adapun untuk grade A atau kualitas terbaik dijual Rp 25.000-Rp 30.000 per buah.
”Di tingkat pengecer, mereka menjual dengan harga Rp 20.000 sampai dengan Rp 50.000 per buah,” kata Salim.
Sebagai langkah inovasi, dalam satu tahun terakhir, Salim menjual durian dengan wadah. Durian dengan kualitas terbaik dijual Rp 20.000 per wadah. ”Kalau durian di dalam wadah sudah pasti manis,” kata Salim.
Salim yang sudah 45 tahun bergelut menjual durian sangat terampil menyortir durian yang masih baik dan tidak. ”Kalau yang masih bagus masih bisa dijual. Tapi, jika sudah tidak, kami olah menjadi tempoyak,” ucapnya saat ditemui di Pasar Buah Jakabaring, Palembang, (4/5/2022).
Tempoyak adalah fragmentasi durian yang menjadi bahan baku sejumlah makanan khas Palembang, seperti brengkes tempoyak dan patin tempoyak.
Singgih, pemilik warung makan Mak Singgih di Kawasan Sudirman Palembang, mengatakan, patin tempoyak dan brengkes (pepes) patin menjadi salah satu menu favorit di warung makannya. ”Dengan pengolahan yang tepat, aroma durian tidak terlalu tajam. Demikian juga dengan rasa asam dan manisnya.
Tempoyak memiliki penggemarnya tersendiri. Bahkan, ada beberapa orang yang tidak suka durian, tetapi cukup menikmati menyantap tempoyak karena aroma duriannya tidak terlalu terasa setelah melewati proses fermentasi.
Ketua Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (Asppi) Sumatera Selatan Ruda Ermasyah mengatakan, Sumsel memiliki kekayaan pariwisata yang menarik untuk dikunjungi, salah satunya wisata kuliner.
”Ketika datang ke Palembang, tentu mereka tidak datang untuk satu tujuan. Pasti akan ada beberapa tempat yang mereka kunjungi. Inilah yang menjadi peluang bagi pelaku wisata,” katanya.
Dari kekayaan ini, Ruda berharap agar para pelaku usaha untuk lebih kreatif dalam mengemas produknya sehingga menarik minat para wisatawan, tetapi tidak menghilangkan nilai kekhasannya.
Di Aceh, sentra produksi durian yang terkenal lezat ada di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Saat musim panen, wajah ekonomi warga di sana mendadak cerah.
”Warga di sini rata-rata punya durian. Sudah jadi tradisilah,” kata Khairul Riza (35), warga Desa Geuntet, Kecamatan Lhoong. Sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, dia mendapat tugas merawat kebun durian.
Khairul memiliki sekitar 100 batang durian. Namun, yang sudah masuk usia berbuah baru 50 batang. Saat musim panen, rata-rata per batang menghasilkan Rp 3 juta. Artinya, dalam setahun sekali panen dia memperoleh Rp 150 juta.
Desa Geuntet termasuk salah satu desa penghasil durian di Lhoong. Lhoong terletak di tepian jalan nasional, Banda Aceh-Meulaboh. Dari Banda Aceh, ibu kota Aceh, Lhoong dapat ditempuh 45 menit menggunakan kendaraan pribadi.
Kebun durian di Lhoong dikelola secara turun-temurun. Boleh dibilang, durian menjadi harta paling berharga bagi petani di sana. Saat musim panen tiba, pedagang pengepul datang silih berganti. Transaksi jual beli dilakukan langsung di kebun. Perputaran uang begitu cepat.
Dalam dua tahun terakhir, kebun durian di Geuntet bahkan telah dikelola sebagai obyek wisata. Khairul menjadi salah satu penggagasnya. Dia membuat paket wisata makan durian. Hanya dengan biaya Rp 150.000 wisatawan dapat menikmati durian di kebun sepenuhnya dari pagi hingga sore.
Khairul mengatakan, durian adalah potensi wisata bagi warga Lhoong. Jika dikelola dengan baik, petani akan memperoleh pendapatan lebih besar dibandingkan dengan menjual kepada pengepul.
Camat Lhoong Rauza Daud Saleh mengatakan, ada ribuan jumlah batang durian di Lhoong dan itu semuanya milik warga. ”Setiap keluarga rata-rata punya 6 batang durian, bahkan bisa ratusan. Durian termasuk sumber pendapatan utama warga kami,” kata Rauza.
Biasanya musim panen jatuh pada Juni hingga Agustus. Meski panen setahun sekali, besaran uang yang didapat lumayan besar. Biasanya seusai panen durian, warga Lhoong akan membeli sepeda motor baru atau merehab rumah.
Durian Lhoong banyak dijual ke Kota Banda Aceh hingga Kota Sabang. Sebagian dijual ditepi jalan nasional. Saat musim panen, pondok-pondok durian berjejer di sepanjang jalan.
Meski demikian, bukan Lhoong semata penghasil durian di Aceh. Wilayah pesisir dari Aceh Selatan hingga Aceh Tamiang memiliki durian, bahkan wilayah dataran tinggi, seperti Bener Meriah, juga banyak kebun durian.
Durian dari setiap daerah memiliki rasa dan tampilan yang beragam. Namun, yang paling diburu adalah Durian Lhoong (Aceh Besar), Tangse (Pidie), dan Aceh Utara.
Dosen Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Selvy Handayani, pernah melakukan penelitian terhadap durian di Aceh Utara. Dari empat kecamatan yang diteliti, dia menemukan 22 aksesi durian unggulan di empat kecamatan itu.
”Rasanya sangat manis, antara 25-40 brix (satuan manis buah). Ini termasuk durian unggulan,” kata Selvy.
Selvy menuturkan, Aceh memiliki banyak jenis durian, tetapi yang baru didaftar baru dua varietas, yakni pha gajah dan asokaya.
Menurut Selvy, 22 aksesi durian yang dia temukan itu perlu diteliti lebih lanjut agar dapat didaftarkan sebagai varietas.
Selvy menilai, pengembangan durian di Aceh masih minim, padahal tanaman itu menjanjikan potensi ekonomi yang besar. Namun, kata Selvy, durian dijadikan tananam kelas dua, minim perawatan, dan pengembangan. Padahal, durian cukup laku di pasaran sehingga memberikan peluang ekonomi besar bagi petani jika dikembangkan dengan tepat.