Hariadi Saptono, Guru dan Wartawan Budaya itu Berpulang
Mantan wartawan ”Kompas”, Gregorius Hariadi Saptono (65), meninggal akibat infeksi paru-paru dan komplikasi penyakit lain. Ia dikenal sebagai wartawan, guru, dan peliput yang lekat dengan kebudayaan Jawa.
Oleh
REGINA RUKMORINI, NINO CITRA ANUGRAHANTO, GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Mantan wartawan Kompas, Gregorius Hariadi Saptono, (65), meninggal akibat infeksi paru-paru dan komplikasi penyakit lain, saat dirawat di RS Panti Rapih, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (4/5/2022). Almarhum dikenal sebagai wartawan dan guru yang dekat dengan proses tumbuhnya kebudayaan di Yogyakarta.
Hariadi berkarya di harian Kompas sejak 1984 hingga 2016. Di tempat ini, Hariadi pernah menjadi Kepala Biro Jateng dan DIY, Kepala Desk Humaniora, dan Kepala Desk Nusantara. Menjelang pensiun, dia menjabat Direktur Eksekutif Bentara Budaya. Di kalangan wartawan Kompas, dia juga dikenal sebagai guru dan mentor yang tegas.
Istri Hariadi Saptono, Maria Margaretha Sri Hastuti, menuturkan, almarhum yang di harian Kompas mendapat inisial HRD, belakangan memang sering mengeluh sakit, tetapi mengabaikannya dan mengatakan hanya masuk angin biasa. ”April lalu, setelah Paskah, kondisinya semakin buruk dan lemah. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan dalam tubuhnya terjadi infeksi paru-paru, banyak gangguan organ lain termasuk syaraf terjepit,” ujarnya.
Pada 1 Mei, Hariadi dirawat di RS Panti Rapih karena demam dan kondisi tubuh lemas. Kondisinya semakin memburuk sehingga dipindah ke ruang ICU. Menurut dokter, Hariadi menderita infeksi paru-paru, dan beberapa komplikasi penyakit lain seperti kadar trigliserida tinggi dan sumbatan lemak di saraf punggung. Pada Rabu (4/5/2022). pukul 09.00, Hariadi menerima sakramen minyak suci dan pukul 15.36 mengembuskan napas terakhir.
Menurut Margaretha, setelah pensiun, Hariadi masih aktif menulis dengan tangan di kertas. ”Dia berkeinginan menulis buku tentang sejarah salah satu keraton,” ujarnya.
Butet Kartaredjasa, seniman teater, merasa sangat kehilangan berpulangnya Hariadi Saptono. Ia mengenal almarhum sebagai sosok yang sangat dekat dengan proses tumbuhnya kebudayaan di Yogyakarta. Ia juga sangat dekat dengan para seniman.
”Beliau orang yang sangat serius. Dia sangat bersahabat dengan praktisi dari semua sektor kesenian. Itu sebabnya produk-produk kebudayaan dari Yogyakarta bisa menggema secara nasional. Salah satunya karena peran Mas Hariadi,” kata Butet.
Bentuk keseriusan Hariadi, jelas Butet, ditunjukkan dalam setiap peliputan. Misalnya, sekali waktu, Hariadi hendak menulis pertunjukan dari ayah Butet, Bagong Kussudiardja. Peliputan tidak dilakukan hanya saat pertunjukan, tetapi sudah datang dalam beberapa sesi latihan sebelumnya. ”Ketekunan semacam itu jarang ditemukan pada wartawan-wartawan sekarang,” tuturnya.
Kedatangan Hariadi kepada para seniman terkadang bukan semata-mata demi peliputan. Kerap kali, dia datang hanya untuk bersilaturahmi dan mengobrol. Tak jarang pula, dalam setiap pertemuan, dia memberi sejumlah masukan. Itu yang membuat Hariadi sangat dekat dengan dunia kesenian.
”Harapannya, keteladanan beliau, etos jurnalis yang intelek itu diteruskan oleh generasi baru. Hariadi itu wartawan sekaligus intelektual. Untuk itu, saya sangat merasa kehilangan,” kata Butet.
Hal serupa disampaikan budayawan Magelang, Sutanto Mendut. Menurut dia, Hariadi merupakan jurnalis yang sangat intens memperhatikan dunia kebudayaan. Sebagai orang Jawa, budaya yang ditulisnya juga selalu disertai dengan persepsi spiritual Jawa. ”Tulisannya tentang budaya apa pun, dari daerah mana pun, selalu dibuatnya sarat muatan nilai-nilai Jawa,” ujarnya.
Karena besarnya perhatian pada seni budaya, Hariadi sangat terlibat dalam Komunitas Lima Gunung, paguyuban seniman di Magelang bentukan Sutanto. ”Selain melakukan kerja jurnalistik, semua itu dilakukan sebagai bagian dari minatnya di bidang seni budaya,” ujarnya.
Di luar itu, dia pun juga pernah terlibat bersama para seniman menolak konsep penataan kawasan Candi Borobudur, Jagad Jawa. ”Dia ikut berdemo bersama kami,” ujarnya.
G Budi Subanar SJ, rohaniawan dan budayawan asal Yogyakarta, merupakan teman masa kecil almarhum. Keduanya tinggal di satu kampung yang sama, yakni di Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. Sewaktu Subanar duduk di kelas I SD, Hariadi sudah kelas VI. Untuk itu, dalam ingatannya, Hariadi adalah seorang mentor baginya di bidang pendidikan maupun sosial. Sedikit banyak, Subanar menduga, karier yang dijalaninya sebagai praktisi budaya terpengaruh oleh setiap obrolan bersama Hariadi.
Subanar juga mengenang, dahulu, semasa kecilnya, Hariadi dan keluarganya punya banyak koleksi komik. Salah satunya ialah seri ”Si Buta dari Goa Hantu” karya Ganes TH. Hari-hari mereka banyak dihabiskan di ruang tamu milik Hariadi untuk membaca beragam koleksi komik tersebut. Pengalaman itu menjadi istimewa. Sebab, pada masa tersebut, ada anggapan komik merusak budaya membaca. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya.
”Ruang tamu seolah-olah sudah seperti tempat persewaan buku. Dan, itu tidak dikomersilkan. Saya rasa, inilah yang mendekatkan anak-anak kampung kami dengan budaya membaca waktu itu,” ucap Subanar, yang juga akan memimpin misa requiem, Kamis (5/5).
Mengenakan lurik, jenazah Hariadi disemayamkan di PUKJ Sonosewu. Setelah misa requiem, jenazah akan dimakamkan di Pemakaman Nyemengan, Bantul. Selamat jalan Mas HRD, terima kasih guru.