Butuh Solidaritas Lintas Agama Menangani Kemiskinan di NTT
Butuh solidaritas lintas agama dalam menangani kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Daerah ini punya potensi toleransi kuat berdasar adat lokal, tinggal dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai persoalan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS – Penanganan problem kemiskinan yang berdampak pada gizi buruk dan tengkes (stunting) di Nusa Tenggara Timur membutuhkan solidaritas lintas agama dan dukungan pemerintah. Modal toleransi di NTT yang tumbuh dari akar budaya lokal bisa dioptimalkan untuk mengatasi masalah kemiskinan itu. Masyarakat yang hidup berkecukupan juga didorong membantu yang tidak memiliki.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, seusai menghadiri shalat Idul Fitri 1443 Hijriah di kompleks Kampus Muhammadiyah Kupang, Senin (2/5/2022), mengatakan, kebijakan menangani kasus kemiskinan di NTT selama ini masih bersifat top down. Pemerintah dinilai belum menggerakkan semua aset sosial masyarakat dalam menangani masalah ini.
”Saatnya dibutuhkan solidaritas lintas agama untuk menangani masalah kemiskinan yang ada, khususnya secara gotong royong menangani masalah gizi buruk dan stunting yang menimpa generasi NTT saat ini. Pemerintah memiliki kuasa dan kewenangan bagaimana mengoordinasi dan mengonsolidasikan semua tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda saling membahu menekan masalah itu,” tutur putra Lembata ini.
Prinsipnya, menurut dia, orang yang berkecukupan secara ekonomi diberi kesempatan membantu yang berkekurangan. Tidak semua warga NTT miskin dan tak berdaya. Cukup banyak orang yang berdiam di kota-kota kabupaten, kecamatan, dan desa memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Hal itu bisa diandalkan untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu.
”Ada semacam kewajiban moral yang perlu ditumbuhkan di masyarakat, yakni orang kaya mestinya membantu orang miskin,” katanya.
Provinsi NTT memiliki semangat toleransi tinggi yang dibangun di atas budaya lokal setiap suku. Modal seperti ini mestinya dimanfaatkan pemerintah membangun kebersamaan, memupuk sikap gotong royong, serta saling pengertian dan pemahaman satu sama lain. Pemerintah perlu melakukan pressure guna menumbuhkan hal ini di kalangan masyarakat, terutama kaum kelas menengah ke atas.
Menurut dia, semua agama mengajarkan kebaikan dan sikap saling menolong satu sama lain. Modal ini mestinya dimanfaatkan pemerintah mengatasi gizi buruk dan tengkes di wilayah ini. Tokoh agama digugah, didorong, dan dilibatkan langsung dalam upaya menangani masalah gizi buruk dan tengkes itu.
Keterlibatan sejumlah lembaga non-pemerintah (NGO), baik dari dalam maupun luar negeri, dalam mengatasi masalah kemiskinan sejak tahun 1990-an hingga hari ini, di sejumlah kantong kemiskinan yang ada perlu dievaluasi. Dana yang dikelola para NGO itu pun sampai miliaran rupiah per proyek.
”Namun, selesai masa kontrak kerja proyek, kasus kemiskinan dengan segala ikutannya kembali menimpa masyarakat. Apa yang salah, dan kesalahan itu harus diatasi dulu sebelum proyek itu hadir lagi di masyarakat,” kata Atang.
Sementara itu, Khatib Farhan Suhada, selaku Ketua Majelis Tabligh PWM NTT, dalam shalat Idul Fitri di Kampus Muhammadiyah Kupang mengingatkan agar umat tidak melewatkan waktu yang begitu berharga dari Tuhan untuk berbuat baik bagi orang lain.Membantu orang lain, apalagi fakir miskin, sama sekali tidak merugikan diri dan keluarga.
”Sebaliknya hindari perbuatan-perbuatan yang merusak kenyamanan dan kebersamaan dalam masyarakat. Gunakan media sosial secara bijak sehingga tidak mengusik rasa aman orang lain. Dengan demikian, masa puasa selama bulan Ramadhan memberi dampak bagi perubahan sikap dan tingkah laku di masyarakat,” ucap Suhada.
Ia mengatakan, sumber kesejahteraan sejati berasal dari Tuhan. Segala yang dikandung dalam ajaran Islam harus ditegakkan. Namun, sering tidak indah dijalankan, butuh perjuangan luar biasa. Dalam konteks ini dibutuhkan usul saran, saling menasihati agar sebagai umat yang saleh selalu hidup dalam kesabaran.
Kesabaran itu menurut dia seperti ujian. Butuh ketenangan untuk mengelola sambil berpijak pada Al Quran dan hadis. ”Dengan ini kita merawat kebersamaan dalam masyarakat, saling menjaga dan menguatkan satu sama lain. Waktu terus berjalan dan mengubah setiap jejak kita. Karena itu, manfaatkan waktu dengan tepat karena waktu tidak berulang lagi,” tutur Suhada.
Di hadapan sekitar 2.000 warga Muslim yang hadir, Sahada mengatakan, setiap kebaikan dan kesuksesan yang dialami, dinikmati, dan dikembangkan hari ini merupakan warisan dari orangtua.Kesalehan dan amal bakti mereka telah mengantar setiap anak-anak saleh menuju jalan yang benar.
Kebaikan, kesalehan, dan kerukunan hidup dengan orang lain, khususnya di NTT, harus tetap dipupuk dan dirawat untuk anak cucu di masa depan.”Pada hari yang fitri ini, mari bermohon, menyerahkan diri secara utuh kepada Tuhan,” ajak Suhada.
Ia pun mengajak umat yang hadir untuk berdoa berkelanjutan bagi perdamaian di Suriah, Palestina, Israel, dan Ukraina. Peperangan di negara-negara itu telah merusak seluruh tatanan kehidupan umat manusia.
Sementara itu, ribuan warga Muslim mendatangi Lapangan Ricky Sitohang, Polda NTT, untuk menjalankan shalat Id. Mereka berasal darisembilan masjid yang ada di sekitar Markas Polda NTT. Terdapat tujuh lokasi sebagai pusat shalat Id 1443 H di Kota Kupang. Kepala Polda NTT Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto ikut shalat Id bersama umat Islam di tempat ini.
Ustaz Muhammad Nur Nazli bertindak sebagai khatib pada shalat Id di Markas Polda NTT. Ia, antara lain, mengajak umat Islam untuk terus membangun solidaritas dengan orang-orang sekitar. Kebersamaan sebagai warga negara tetap dijaga dan dirawat.
”Mari kita satukan hati dan tekat bersama, membangun kerukunan dan menjaga toleransi antarumat. Pembangunan butuh ketenangan dan keamanan yang diciptakan secara bersama-sama,” ujanya.
Shalat Id di seluruh wilayah NTT berlangsung aman dan tertib. Ribuan warga Muslim di 22 kabupaten/kota ramai-ramai mendatangi tempat pelaksanaan shalat Id 1443 H.