Tambang Emas Ilegal di Mandailing Natal Runtuh, 12 Perempuan Tewas
Sebanyak 12 petambang perempuan meninggal dan 2 orang luka-luka setelah tambang emas di Kecamatan Lingga Bayu, Mandailing Natal, Sumut, runtuh. Mereka nekat menambang diduga karena desakan kebutuhan Lebaran.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Pekerja tambang emas rakyat mendulang emas di Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Selasa (12/11/2019).
MEDAN, KOMPAS — Sebanyak 12 petambang perempuan ditemukan meninggal dan 2 orang luka-luka setelah tambang emas di Kecamatan Lingga Bayu, Mandailing Natal, Sumatera Utara, runtuh. Mereka diduga nekat menambang karena terdesak kebutuhan ekonomi terutama jelang Lebaran. Para korban sudah ditemukan dan dikebumikan keluarganya, Jumat (29/4/2022).
Longsor terjadi pada tebing lubang dompengan, Kamis (28/4/2022) sekitar pukul 16.00. Seluruh korban yang berjenis kelamin perempuan itu dapat dievakuasi sekitar satu jam setelah kejadian. Para korban merupakan warga Desa Simpang Bajole dan Desa Bandar Limabung, Kecamatan Lingga Bayu.
”Ada 12 orang yang meninggal dan 2 luka-luka,” tutur Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi.
Kepala Cabang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Utara Wilayah VI Mandailing Natal Apri Jayacakti saat dihubungi mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari warga, awalnya ada 14 orang yang tertimbun, 2 orang bisa menyelamatkan diri. Sebanyak 12 orang ditemukan meninggal.
Pekerja tambang emas rakyat melakukan aktivitas penggalian dengan mesin dompeng di Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Selasa (12/11/2019).
Menurut Apri, tambang ilegal itu sudah pernah ditutup pemerintah tahun lalu dan sejak itu tidak ada lagi aktivitas penambangan di wilayah itu. Kawasan penambangan berjarak sekitar empat jam perjalanan darat dari Panyabungan, ibu kota Kabupaten Mandailing Natal.
Para ibu diduga nekat menambang di lokasi penambangan ilegal di Desa Bandar Limabung itu karena terdesak kebutuhan, terutama menjelang Lebaran. Mereka mengorek bekas lubang galian di sekitar bukit dengan kemiringan 30-45 derajat yang kemudian runtuh menimbulkan timbunan setinggi sekitar 2 meter.
”Informasi yang kami peroleh juga belum resmi karena kepala desa setempat tidak bisa kami hubungi.” kata Apri. Pada saat yang sama para pegawai pemerintah sudah cuti bersama Lebaran.
Apri mengatakan, warga sebenarnya sudah tahu risiko penambangan itu tetapi tetap nekat melakukan penambangan. ”Masyarakat sudah mengetahui bahayanya, risiko sudah mereka pahami,” kata Apri. Setelah tambang ditutup, banyak warga bekerja di ladang, bertani, berdagang, atau menjadi penarik becak, tetapi ada juga yang masih kembali menambang.
Pihaknya ke depan akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal untuk kembali melakukan sosialisasi bahaya penambangan. Apalagi kematian para ibu dalam keluarga akan berdampak pada ketahanan keluarga.
Beberapa foto yang diterima Kompas menunjukkan para korban disemayamkan dalam rumah sederhana berdinding papan atau separuh bata separuh papan. Jenazah dikelilingi orang-orang dewasa dan anak-anak yang menangis.
Jenazah dikelilingi orang-orang dewasa dan anak-anak yang menangis.
Bupati Mandailing Natal Muhammad Jafar Sukhairi Nasution mengatakan kegiatan penambangan sudah dilakukan puluhan tahun. Sudah berkali-kali pemerintah menyarankankan menutup. Meskipun tambang ditutup warga selalu membuka kembali kucing-kucingan.
Bahkan sekitar 50 persen warga desa setempat berprofesi sebagai penambang dengan mesin dompeng. "Sudah bertahun-tahun penambangan dilakukan. Kenapa korbannya perempuan semua, ya naas saja. Namanya naas kita tidak tahu. Ada suami yang menyaksikan istrinya tertimbun,” kata Jafar.
Saat melayat warganya yang meninggal, selain memberikan santunan kepada warganya, Jafar juga mengingatkan warga agar mengelola emas hijau dan tidak lagi mengharapkan emas kuning. Apalagi kawasan desa itu subur dan terdapat banyak persawahan dan perkebunan sawit. Yang membuat prihatin, sawah yang subur pun kini tidak lagi diolah namun digali untuk dicari emasnya.
“Saya sudah berpesan kepada kepala desa agar dana desa dialihkan untuk usaha masyarakat di bidang pertanian yang lebih menjanjikan. Sawit dirawat kembali, sawah ditumbuhkan lagi. Saya sampaikan ke kepala desa agar kembali ke alam mengolah lahan pertanian. Insya Allah, nanti ada pendampingan khusus (dari kabupaten),” kata Jafar.
Manajer Kajian dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Putra Saptian mengatakan, penambangan emas warga memang serba dilematis. Aktivitas itu menjadi sumber penghasilan tetapi tidak bisa dibenarkan karena dilakukan tanpa izin, tidak standar, dan menggunakan bahan-bahan berbahaya. ”Yang berizin saja penuh risiko, apalagi yang tidak,” kata Putra.
Selain itu, bencana ekologis yang ditimbulkan tambang ilegal telah menghasilkan kemiskinan terstruktur. Banjir bandang tahun 2020-2021 yang melanda Mandailing Natal juga menjadi bukti kerusakan lingkungan masif terjadi di wilayah itu akibat eksploitasi alam.
Walhi menduga tambang ilegal didukung oleh aktor politik dan pemangku kebijakan yang tidak tersentuh hukum. Melihat rantai pasar emas yang ekstraksi bahan emasnya saja membutuhkan biaya produksi yang tinggi, sangat dimungkinkan adanya sektor privat yang mendukung aktivitas itu.
Pihaknya mendorong pihak berwajib menelisik siapa aktor di belakang jaringan tambang ilegal itu secara utuh. Bukan sekadar membawa ke kasus kriminalitas belaka, melainkan menelisik rantai ekonominya dan menghukum aktor-aktornya.