Gumpalan Busa di Teluk Bima Terurai, Tanpa Unsur Pencemaran Minyak
Gumpalan busa berwarna coklat yang menutupi sebagian Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, mulai terurai. Dari sejumlah pengujian, tidak ditemukan unsur pencemaran minyak. Dugaan awal gumpalan itu adalah alga yang hancur.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Gumpalan busa berwarna coklat yang sempat muncul di perairan Teluk Bima, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, selama beberapa hari terakhir telah mulai terurai. Pihak terkait yang telah melakukan sejumlah pengujian tidak menemukan adanya pencemaran dari minyak. Mereka saat ini masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bima Syarif Rustaman saat dihubungi dari Mataram, Jumat (29/4/2022), mengatakan, gumpalan busa dengan tebal sekitar 5 sentimeter itu muncul pada Rabu (27/4/2022).
Gumpalan itu menutup kawasan pantai Teluk Bima, seperti Pantai Wadumbolo hingga obyek wisata Pantai Amahami dan Lawata. ”Tetapi sejak Kamis kemarin, dari pantauan kami kondisi sudah membaik. Sudah mulai bersih. Gumpalan di permukaan Teluk Bima itu sudah terurai jadi gumpalan kecil,” kata Syarif.
Menurut Syarif, tidak ada proses pembersihan oleh pemerintah daerah atau pihak terkait lainnya. Gumpalan tersebut terurai sendiri akibat arus pasang surut air laut yang cukup kuat.
Syarif menambahkan, pasca-munculnya gumpalan tersebut, pihaknya langsung menurunkan tim untuk melakukan serangkaian pengujian, seperti uji visual dan mikroskopis.
”Kami ambil gumpalan itu dan dioleskan tisu dan kapas, lalu bakar. Tidak ada kandungan minyak. Begitu juga dari hasil uji mikroskopis. Gumpalan itu kami indikasikan alga atau rumput laut atau kumpulan rumput laut yang hancur, kemudian membentuk gel dan busa,” kata Syarif.
Selain pengujian, forum komunikasi pimpinan daerah Kota Bima, seperti Sekretaris Kota, Kepala Kepolisian Resor Kota Bima, Komandan Distrik Militer, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah, langsung berkomunikasi dengan PT Pertamina.
”Kami mendapat data terkait aktivitas bongkar muat dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Tidak ada data atau informasi visual terjadi kebocoran dan tumpahan dari aktivitas Pertamina,” kata Syarif.
Uji laboratorium
Meski telah melakukan uji visual dan mikroskopis, Syarif mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan kesimpulan pasti tentang gumpalan tersebut. Mereka masih menunggu hasil pemeriksaan Balai Perikanan Budidaya Laut di Sekotong ke Surabaya.
”Begitu hasilnya keluar, kami akan langsung umumkan. Sekarang kami masih menunggu,” kata Syarif.
Hasil uji laboratorium itu penting agar tidak muncul kegaduhan di masyarakat. Saat ini, banyak warga yang khawatir membeli ikan. Apalagi sempat ditemukan banyak ikan mati saat kejadian itu.
”Saat kejadian, warga ramai turun ke laut mengumpulkan biota laut yang mati. Diduga kondisi itu karena tebalnya gumpalan sehingga oksigen berkurang dan membuat ikan dan lainnya mati,” kata Syarif.
Terkait hal itu, kata Syarif, pihaknya sudah memberikan sosialisasi ke masyarakat lewat camat dan lurah, serta di masjid dan mushala untuk sementara waspada terhadap dampak. Hal itu sampai ada kepastian hasil laboratorium.
”Tetapi dari penuturan warga yang tinggal di pesisir, fenomena ini memang terjadi setiap tahun pada puncak musim panas. Namun, yang kemarin skalanya paling besar,” kata Syarif.
Gumpalan itu kami indikasikan alga atau rumput laut atau kumpulan rumput laut yang hancur, kemudian membentuk gel dan busa.
Secara terpisah, Deden Mochammad Idhani selaku Area Manager Communication & CSR Marketing Region Jatimbalinus PT Pertamina Patra Niaga dalam keterangan persnya mengatakan, operasional di Fuel Terminal Bima tetap berjalan normal. Tidak ada kebocoran pipa seperti yang diisukan oleh beberapa pihak.
”Status operasional di Fuel Terminal Bima juga telah mendapatkan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal itu berarti bahwa Pertamina sudah patuh terhadap seluruh regulasi untuk pengelolaan lingkungan,” kata Deden.
Deden juga membenarkan jika telah berkoordinasi dengan pihak terkait, seperti Asisten Deputi Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup Propinsi NTB, serta pemerintah daerah setempat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTB Madani Makarom dalam keterangan pers tersebut mengatakan, kejadian di Teluk Bima adalah fenomena alam diduga sea snot (lendir laut).
”Dugaan sementara fenomena alam yang terjadi di Teluk Bima kemarin adalah lumut atau ganggang. Tidak ada unsur pencemaran dari minyak. Namun, kami belum bisa menyimpulkan secara pasti karena masih menunggu hasil laboratorium yang hari ini diharapkan bisa keluar hasilnya,” kata Madani.