Dua Pemburu Babi Jadi Tersangka Kasus Kematian Tiga Harimau Sumatera
Dua warga Desa Saragih Timur, Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yaitu JD (37) dan YM (56) menjadi tersangka kematian tiga harimau sumatera.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Dua pemburu babi hutan asal Sumatera Utara ditetapkan menjadi tersangka terkait kasus kematian tiga harimau sumatera di Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Saat ini, diperkirakan ada ratusan jerat lainnya yang dipasang pemburu di kawasan Hutan Leuseur, salah satu habitat utama harimau sumatera.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Timur Ajun Komisaris Miftahuda Dizha Fezuono, Jumat (29/4/2022), menuturkan, tersangka adalah JD (37) dan YM (56). Mereka adalah warga Desa Saragih Timur, Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Meski awalnya hanya ingin memburu babi hutan, ulah mereka memasang jerat menyebabkan kematian satwa yang dilindungi.
Sebelumnya, tiga individu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan mati dengan kepala dan kaki terlilit kawat baja (sling), Minggu (24/4/2022). Lokasinya di dalam area konsesi perkebunan sawit milik PT Aloe Timur di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur.
”Kami mendapatkan informasi ada sekelompok orang menjerat babi di Peunaron,” ujar Dizha. Setelah dicari, mereka ada di sebuah pondok dalam perkebunan sawit. Pemburu berjumlah delapan orang. Namun, setelah diperiksa yang diduga terlibat dua orang.
Dari para pemburu, polisi menemukan sling yang sama persis ditemukan menjerat harimau itu. Polisi juga menemukan bulu burung kuau raja, satwa dilindungi lainnya. Akibat perbuatannya, tersangka dijerat Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman penjaranya hingga 5 tahun.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto mengatakan, kerja cepat penyidik Polres Aceh Timur harus diapresiasi. Meski proses hukumnya masih panjang, upaya itu menjadi bentuk kehadiran negara melindungi satwa yang terancam punah.
Agus berharap, kasus itu menjadi pelajaran bagi pemburu. Meski aktivitasnya bukan memburu binatang dilindungi, ada konsekuensi hukum bila justru membunuh satwa dilindungi.
”Kasus ini masih didalami. Kami mendukung kerja kepolisian dengan memberi informasi seluas-luasnya,” kata Agus.
Sementara itu kasus serupa, kematian tiga harimau karena jerat di Aceh Selatan pada Selasa (24/8/2021) belum rampung. Kepolisian setempat telah menetapkan satu orang sebagai tersangka yang masih buron. Agus berharap kasus kematian harimau di Aceh Selatan juga dapat segera terungkap. ”Kasusnya sama persis, sama-sama mati karena jerat untuk babi,” kata Agus.
Agus mengatakan, jerat-jerat yang dipasang pemburu mengancam satwa lindung. Terlebih kini tidak sedikit satwa lindung berada di luar kawasan konservasi. Alih fungsi hutan membuat banyak koridor satwa terfragmentasi.
Forum Konservasi Leuser (FKL) setiap tahun menemukan ratusan jerat satwa yang ditebar pemburu dalam Hutan Leuser. Pemasang jerat itu mulai dari warga Aceh, Sumut, hingga Sumatera Barat. Leuser yang merupakan rumah besar bagi satwa-satwa kunci menjadi ladang perburuan.
Koordinator Investigasi dan Penegakan Hukum FKL Tezar Fahlevi menuturkan, tim khusus melakukan patroli jerat dan perlindungan satwa di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sejak 2018 hingga 2022, FKL menemukan 1.959 jerat satwa di dalam KEL.
”Diperlukan upaya pengawasan sangat ketat terhadap aktivitas perburuan satwa dengan menggunakan jerat di wilayah habitat satwa kunci di KEL,” kata Tezar.
Tezar mengatakan, kematian tiga harimau di Aceh Timur menjadi alarm betapa satwa kunci itu kian terancam. Dia mendesak aparat hukum untuk mengusut tuntas dan menjatuhkan hukuman yang berat terhadap pemasang jerat.