Satu DPO Mujahidin Indonesia Timur Tewas Ditembak, Terorisme Diharapkan Segera Selesai
Aparat gabungan masih mengejar dua DPO terorisme Poso yang tersisa. Dengan jumlah yang makin sedikit, aparat diharapkan segera menuntaskan masalah terorisme yang selama ini mengancam warga.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Satu orang yang masuk dalam daftar pencarian orang terkait terorisme di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tewas ditembak aparat pada Rabu (27/4/2022) di Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng. Dengan demikian, tinggal dua orang anggota yang menamakan diri Mujahidin Indonesia Timur itu yang dicari. Warga berharap masalah terorisme itu segera bisa diselesaikan agar warga merasa aman saat beraktivitas.
Anggota Satuan Tugas Operasi Madago Raya, aparat gabungan yang bertugas untuk menumpas tiga orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) terorisme, menembak Suhardin alias Hasan Pranata di kebun kakao Desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Rabu, pukul 13.20 Wita. Penembakan itu dilakukan saat petugas pos sekat setempat berpatroli dan melihat seseorang yang diduga anggota DPO terorisme Poso.
”Orang tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri, tetapi yang terjadi ia justru melawan dengan melempar body vest loreng yang diduga bom. Karena melawan, petugas terpaksa melakukan tindakan tegas terukur yang berakibat orang tersebut meninggal dunia,” kata Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Inspektur Jenderal Rudy Sufariadi dalam konferensi pers di Parigi Moutong yang keterangannya diterima Kompas di Palu, Sulteng, Kamis (28/4/2022).
Nama Suhardin alias Hasan Pranata masuk dalam DPO terorisme. Dalam foto yang disebar Polda Sulteng, Hasan tampak memakai topi dan berambut gondrong.
Dari tas Hasan, aparat menemukan banyak amunisi, parang, bom lontong, peralatan masak, dan puluhan paku. Jenazah korban saat ini masih berada di RS Bhayangkara, Palu, menunggu diambil oleh keluarganya untuk dikuburkan.
Rudy mengimbau dua anggota DPO terorisme yang tersisa, yakni Nae alias Galuh alias Mukhlas dan Askar alias Jaid alias Pak Guru, agar segera menyerahkan diri. Kepolisian akan menjamin keamanan mereka.
Dalam berbagai kesempatan, Rudy menyebutkan, imbauan penyerahan diri merupakan bentuk pendekatan lunak terhadap DPO terorisme. Hal itu dilakukan bersamaan dengan penindakan, yakni pengejaran terhadap mereka di hutan pegunungan di Kabupaten Poso, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Sigi.
Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dibentuk oleh Santoso pada 2012. Mereka bergerilya di hutan pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. Selain menyasar aparat, mareka juga menargetkan warga sipil untuk diserang.
Santoso tewas ditembak pada pertengahan 2016. Setelah itu, kelompok tersebut dipimpin Ali Kalora. Ali tewas ditembak pada pertengahan September 2021 bersama salah satu anak buahnya. Saat ini, tersisa dua anggota MIT yang masih terus dikejar aparat gabungan.
Dengan jumlah aparat yang bertugas saat ini sekitar 1.000 orang, dua anggota DPO tersebut harusnya bisa segera ditangkap.
Warga yang beraktivitas di sekitar hutan daerah gerilya DPO terorisme berharap agar aparat segera menuntaskan masalah kemanan tersebut. ”Kami berharap masalah terorisme ini segera diselesaikan. Kami selalu hidup dalam kewaspadaan tinggi ketika berkebun. Dengan hanya tersisa dua orang, kami berharap aparat segera menyelesaikan masalah terorisme ini,” ujar Sekretaris Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Rifai, saat dihubungi dari Palu.
Kebun kakao, kopi, dan kemiri warga Lembantongoa berada di pinggir hutan yang selama ini menjadi daerah jelajah para DPO terorisme. Warga diselimuti bayang-bayang serangan anggota terorisme saat memanen komoditas perdagangan tersebut.
Warga Lembantongoa pernah mengalami teror yang dilancarkan anggota MIT. Kelompok tersebut membunuh empat warga Lembantongoa pada November 2020. Mereka dibunuh di rumahnya yang posisinya jauh dari permukiman lainnya dan dekat dengan hutan.
Tak kurang dari 20 warga sipil menjadi korban kekejaman anggota MIT. Selain di Lembantongoa, kelompok itu juga membunuh empat petani di Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Poso, Mei 2021. Aksi sadis lainnya terjadi di sejumlah tempat di Poso dan Parigi Moutong pada rentang 2014-2021.
Peneliti Lembaga Pengkajian dan Studi HAM Sulteng, Moh Arfandy, berharap aparat segera menuntaskan masalah DPO terorisme Poso. Dengan jumlah aparat yang bertugas saat ini sekitar 1.000 orang, dua anggota DPO tersebut harusnya bisa segera ditangkap. ”Ini momentum untuk segera menyelesaikan masalah terorisme Poso,” katanya.
Tak hanya mengejar yang tercatat sebagai DPO, Arfandy berharap aparat juga menyisir simpatisan dan penyokong dana anggota MIT. Keberadaan mereka harus diungkap agar tak memunculkan benih-benih terorisme baru.