Lihat Kebunku Penuh dengan Bunga...
Taman-taman kampung kini bermunculan. Selain menyejukkan, taman-taman ini juga memberi keuntungan ekonomi warganya.
”Lihat kebunku penuh dengan bunga… Mawar melati semuanya indah”
Penggalan lagu ”Lihat Kebunku” karya Saridjah Niung atau Ibu Soed. Bunga sederhana, tetapi semua indah seperti telah mewarnai perjalanan hidup umat manusia.
Di Surabaya, Jawa Timur, terdapat Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa di Jalan Kusuma Bangsa. Kusuma sinonim dari bunga, kembang, sekar, puspa, puspita. Beribu-ribu orang yang gugur dalam Pertempuran Surabaya, November 1945, adalah pahlawan, kusuma, bunga bangsa.
Jadi, tidak berlebihan jika arek Suroboyo atau warga ibu kota Jatim ini gemar dengan bunga. Berlomba-lomba muncul kampung tematik yang di antaranya tentang bunga. Lihatlah ”Kampung Telas” di RT 011 RW 004 Penjaringansari, Rungkut, Surabaya. Telas akronim dari telang sewelas (sebelas). Dalam bahasa Jawa berarti habis. Di sinilah bunga telang yang tumbuh liar dibudidayakan dan menjadi produk bernilai ekonomi dan ekologi.
Kembang telang (Clitoria ternatae) menggantung di sisi lapangan, tepi jalan, ruang publik, dan pagar rumah warga. Di dekat balai RW, puskesmas pembantu, dan taman perumahan dibuat rangka sehingga tanaman merambat itu membentuk lorong hijau bertaburkan telang biru tua.
Sebelum serangan pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019), warga sekadar membiarkan tanaman telang yang tumbuh liar di antara rerumputan di lahan-lahan yang dibiarkan. Area telantar itu sempat menjadi lokasi pembuangan pecahan kaca atau material. Namun, pelan-pelan, warga membenahi sekaligus menyadari potensi telang yang tumbuh liar.
Menurut Abdul Rachman, Ketua RT 011 Penjaringansari, ada warga yang rutin setiap hari memetik telang dari semak-semak sampai sebanyak 10 kuntum. Warga sempat berpikir memetik telang karena warna yang cantik. ”Namun, ada anak warga yang mendapat tugas meneliti bunga telang dan ternyata bermanfaat banyak,” katanya.
Rachman melanjutkan, kalangan warga akhirnya mengetahui, memahami, dan menyadari potensi telang. Bunga ini kemudian dibudidayakan. Upaya ini kian menjadi saat pembatasan aktivitas sosial akibat situasi pandemi. Keterbatasan mobilitas menjadi momentum untuk budidaya telang.
Baca juga: Surabaya dan Ciri Kota Perkampungan
Warga menata lingkungan. Mereka membuat kerangka rambatan untuk bunga. Tanaman ini ternyata produktif atau selalu berbunga. Warga memanen bunga telang setiap pagi, waktu terbaik. Sebagian dikeringkan untuk kemudian menjadi teh seduh. Warga juga memanfaatkan telang untuk sayur yang ditumis atau direbus. Kembang ini juga cantik untuk variasi ”sayur” penganan ote-ote atau bala-bala, puding, bahkan lalapan dan pecel.
”Warga mengembangkan usaha pemanfaatan telang, yakni minuman kemasan Telas yang dipadu aneka rempah,” kata Rachman. Mereka akan mengembangkan budidaya telang serta tanaman pangan dan obat atau jamu. Warga mencari dan menanam tanaman yang mulai jarang diketahui manfaatnya, misalnya juwet putih dan ciplukan. Siapa pun boleh datang ke Kampung Telas yang penuh dengan bunga telang untuk mengetahui manfaat tanaman itu sekaligus silaturahmi.
Sejumlah manfaat telang sebagai antioksidan, pelancar peredaran darah, mengurangi stres, penambah daya tahan, dan asupan bagi program diet. Selain telang, beberapa jenis bunga telah lazim dijadikan bahan makanan dan terutama minuman, yakni melati, mawar, rosella, krisan, lavender, sepatu, dandelion, dan butang.
Meneduhkan
Sudah lazim bagi warga Surabaya memelihara tanaman hias dan bunga di perumahan. Mereka juga memanfaatkan barang bekas ember, galon, tong, dan ban untuk pot budidaya. ”Suasana saat berada di rumah selalu tenang dengan kehadiran bunga yang secara bergantian mekar,” kata Yuliati Umrah, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang Indonesia (Alit).
Rutin merawat tanaman hias dan secara periodik mengganti bunga, lanjut Yuliati, yang juga berkebun di Pasuruan, ditularkan kepada warga binaannya di banyak daerah di Nusantara. ”Menanam bunga hias tak hanya bikin hati tenteram, tapi bisa juga menambah pundi-pundi keluarga,” ujarnya.
Jariyah, pedagang bunga di Pasar Bunga Kayoon, mengatakan, pelanggan bunga dan tanaman hias terus bertambah. ”Menanam bunga di rumah justru meningkat hingga 300 persen ketika pandemi Covid-19,” ujarnya.
Suasana saat berada di rumah selalu tenang dengan kehadiran bunga yang secara bergantian mekar.
Pedagang bibit bunga hias dua tahun belakangan justru kesulitan mendapat pasokan dari Batu, Kediri, Malang, dan Pasuruan. Permintaan bunga hias untuk ditanam di sekitar rumah itu luar biasa besarnya, terutama ketika seluruh kegiatan digelar di rumah. ”Konsumen Surabaya tidak terlalu mudah mengekor untuk memburu bibit bunga yang sedang tren. Orang Surabaya beli tanaman hias sesuai seleranya saja dan paling penting cocok dengan suhu udara yang cenderung tinggi,” kata Jariyah, perempuan asal Jember.
Merawat tanaman tidak sekadar ikut-ikutan, tetapi memang bisa merasakan efeknya, yakni teduh dan sejuk. ”Saya tidak cari bunga jenis tertentu, yang penting rumah hijau dan teduh,” kata Cicilia (62), warga Gunung Anyar yang memenuhi pekarangan rumah dengan beragam bunga dan tanaman hias.
Dampak
Perkembangan pembangunan dan populasi kian menyempitkan keberadaan lahan budidaya di Surabaya. Situasi ini bisa dimaklumi. Apalagi, Surabaya metropolitan alias kota terbesar kedua atau setelah Jakarta, ibu kota. Dengan iklim pesisir yang lebih panas, bisa dipahami cukup sulit berbudidaya bunga dan tanaman hias skala besar. Berbeda dengan Batu di dataran tinggi yang sejak zaman Hindia-Belanda didesain sebagai kawasan budidaya bunga, tanaman hias, dan buah.
Untuk itu, budidaya bunga, tanaman hias, buah, dan sayur di Surabaya berlangsung dalam skala komunitas atau kampung. Budidaya tidak berlangsung secara ekstensif pada lahan luas, tetapi lahan sempit, yakni pekarangan, teras, atap, lapangan, bahkan dinding bangunan. Gerakan menata dan mempercantik kampung di Surabaya sudah berlangsung bertahun-tahun untuk memperkuat citra.
Baca juga: Urban Farming yang Bersemi di Kala Pandemi
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan terus mendorong beribu-ribu kampung untuk berbenah demi peningkatan kualitas hidup warga. Surabaya tumbuh dan berawal dari kampung. Meski menjadi metropolitan yang modern karena tuntutan perkembangan peradaban, semangat kampung tidak bisa hilang terutama dalam wujud norma sosial kehidupan.
Kampung-kampung menjadi identitas Surabaya yang beragam. Adanya kampung herbal, telang, cagar budaya, pecinan, religi, bendera, lontong, musik, kue, dan ludruk hanya sebagian dari kekayaan tak ternilai dan tak terukur milik Surabaya. ”Modal inilah yang membuat Surabaya diharapkan tetap menjadi kota yang aman dan nyaman bagi warga,” ujar Eri.
Pemerintah Kota Surabaya juga memberikan peluang bagi warga untuk mendapatkan bibit bunga hias di Kebun Bibit Wonorejo. Kebun ini sebenarnya tempat pemuliaan bibit tanaman dan pohon untuk mengisi lebih dari 500 taman di Surabaya yang berpopulasi 3,1 juta jiwa. Bibit juga masih dicari dari lokasi pemuliaan di dataran tinggi Batu, Malang, Kediri, Pasuruan, dan Probolinggo.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya Antiek Sugiharti mengatakan turut mendorong warga tidak lupa menanam beragam tanaman buah dan sayur. Aparatur memberikan contoh dengan pengembangan Mini Agrowisata Pagesangan dan pembibitan tanaman hias. ”Tak hanya hortikultura, tetapi juga tanaman hias seperti anggrek dan yang merambat,” katanya.
Pertanian
Kota Malang juga tidak ketinggalan dalam urban farming (pertanian kota) di kampung dan perumahan. Sudah lazim berbagai sudut lahan yang sempat tidak terurus akhirnya menghijau dipenuhi tanaman hias, bunga, pohon buah, sayur, bahkan kolam perikanan.
Mari mampir di Taman Walet, RW 007, Kelurahan/Kecamatan Sukun, Malang. Sebelumnya menjadi lokasi pembuangan material bangunan, kini hijau dan segar dengan beragam tanaman sayur dan jamu. Warga rajin menyiram, memupuk, dan memanen. Saat Ramadhan, taman juga berfungsi sebagai pasar takjil. Setiap sore, warga membuka stan jualan sehingga suasana menjelang berbuka menjadi ramai oleh aktivitas masyarakat belanja sekaligus cuci mata.
Taman Walet dikembangkan sejak Desember 2021. Lurah Sukun bersama warga berinisiatif membuat ruang terbuka hijau menjadi taman produktif. Warga memulai proses dari nol, membersihkan dan meratakan lahan, dan menyemai bibit. ”Dananya swadaya. Ada yang sedia bibit, ada yang menyiapkan makanan dan minuman, ada pula yang tenaga. Jadi benar-benar dari warga untuk warga,” kata Eko Zainuddin, Ketua Karang Taruna Kelurahan Sukun.
Beruntung di sana ada tokoh warga yang gemar menanam tanaman organik, Hari Sujanto. Warga tekun belajar dan praktik budidaya. Eko juga salah satu ”murid” yang awalnya ragu, tetapi kini mampu menanam sayur di pekarangan rumah. Eko jadi kian jarang ke pasar sebab kebutuhan sayur sudah tercukupi.
Selain itu, warga membudidayakan ikan. Septembar 2021, warga Sukun mendapat bantuan bibit lele dari politikus DPRD. Bibit lele ditebar di kolam-kolam warga. Mereka bisa menikmati pecel lele atau penyetan lele hasil dari budidaya sendiri.
Kalangan warga RW 009 Kelurahan Tlogomas juga tidak ketinggalan. Mereka memanfaatkan lahan sempit di sekitar rumah warga untuk budidaya sayur dan buah. Misalnya, tomat, seledri, pakcoy, pohon turi, kangkung sawi, dan cabai.
Kurniatun Hairiah, pegiat urban farming RW 009 Tlogomas, menyampaikan, media tanam budidaya ialah campuran tanah, sekam, dan kotoran kelelawar dengan perbandingan 2:4:4. Urban farming banyak manfaat terutama ekologi atau pemulihan lingkungan sehingga hijau, segar, dan nyaman.
Aparatur di Kota Malang juga terdampak. Di Kantor Kecamatan Blimbing, pegawai membudidayakan tanaman sayur dan ikan nila serta ikan patin. Anggaran budidaya dari kecamatan, sedangkan benih ikan dari Balai Benih Ikan Tlogowaru. Sayuran yang dibudidayakan ialah selada, kangkung, bayam, wortel, cabai, dan tomat. Aparatur juga menanam pohon buah jambu, nangka, dan rambutan.
”Dengan banyaknya tanaman di lingkungan kantor ini, suasana kantor menjadi lebih nyaman karena banyak hijauan dan teduh,” kata penanggung jawab budidaya ikan dan sayuran Arif Choirianto (51). Bahkan, budidaya ikan dan sayur sudah dimulai sejak 2015. Hasil budidaya untuk konsumsi aparatur dan keluarga.
Ketika pandemi sedang gawat sehingga pembatasan sosial terpaksa ditempuh, aparatur tidak bingung untuk memenuhi konsumsi pangan. Semua bahan makanan minuman sudah tersedia dan sehat. ”Apalagi, saat musim PPKM dan PSBB akibat Covid-19, kami tidak butuh pergi keluar untuk mencari makan. Lebih aman dan sehat untuk semua staf kecamatan serta mengurangi risiko tertular Covid-19,” kata Arif.
Selain menjadi konsumsi bersama, terkadang mereka juga membawa lele untuk pulang ke rumah. Tidak masalah bagi Arif, lelaki asal Polehan, Malang, selama hasil budidaya bermanfaat bagi orang lain. Tiada niat untuk mengomersialkan hasil budidaya.
Pertanian perkotaan bukan sekadar hobi, melainkan keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup warga. Hati senang, kantong nyaman.
Baca juga: Urban Farming dari Kantor Kelurahan hingga Rumah Warga