Jerat Pemburu di Habitat Raja Rimba yang Telah Jadi HGU
Dua kali sudah tiga harimau secara bersamaan mati terjerat sling pemburu di Aceh di wilayah HGU. Pemegang konsesi berkewajiban ikut menjaga satwa lindung karena banyak konsesi yang masuk dalam koridor satwa.
Harimau sumatera si raja rimba tidak berdaya saat berhadapan dengan jerat pemburu. Dua kasus penjeratan yang masih-masing menewaskan tiga harimau terjadi di Aceh dalam delapan bulan terakhir. Tanpa pengawasan yang ketat di kawasan hak guna usaha yang berimpitan dengan habitat harimau, si raja hutan itu bakal punah ditelan waktu.
Penemuan tiga bangkai harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)di dalam perkebunan sawit di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Minggu (24/4/2022), kembali menyentak publik. Tiga harimau itu mati karena terkena jerat baja (sling).
Polisi menduga jerat itu dipasang oleh seseorang untuk memburu babi. Namun, yang terkena justru harimau. Namun, untuk mengungkap motif, polisi kini memburu pemasang jerat tersebut.
Harimau-harimau itu mati dalam keadaan leher dan kaki terlilit sling. Dua individu berjenis kelamin jantan, berusia 2 tahun dan 2,5 tahun. Sementara satunya seekor betina usianya 6 tahun.
Baca juga: Tiga Harimau Sumatera Mati Terjerat di Kawasan HGU Perusahaan Sawit di Aceh
Setiap individu harimau betina dapat melahirkan maksimal 6 anak harimau. Kematian betina membuat peluang penambahan populasi menghilang. Jerat sling memang sangat mematikan, nyaris mustahil bisa lepas jika kaki atau bagian tubuh masuk dalam jerat itu.
Hasil nekropsi tim medis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyimpulkan harimau itu mati 4 atau 6 hari sebelum ditemukan.
Ini bukan kasus pertama kematian harimau terjerat pemburu. Delapan bulan sebelumnya, tepatnya Selasa (24/8/2021), tiga harimau juga ditemukan mati dengan kaki terlilit jerat sling. Satu indukan betina dan dua masih anakan. Mereka ditemukan di hutan produksi Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
Baca juga: Terkena Jerat, Tiga Harimau Sumatera di Aceh Selatan Mati
Ketiga harimau ini juga mati kena jerat yang disebut-sebut dipakai untuk memburu babi. Polisi telah menetapkan satu orang tersangka, yakni pemasang jerat yang hingga kini masih buron.
Jerat dan perdagangan
Jerat sling paling jamak pakai oleh pemburu untuk membunuh satwa. Di Aceh, jerat sling dipakai juga oleh pemburu babi hutan. Sling yang biasa dipakai ukurannya 3 milimeter hingga 10 milimeter. Jerat itu ditebar di jalur jelajah satwa.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto menuturkan, persoalan jerat adalah masalah serius. Agus kesal saat ada kasus kematian harimau atau satwa lain yang terkena jerat, warga berdalih jerat ditujukan untuk babi hutan.
Tidak ada regulasi yang mengatur persoalan jerat. Namun, jika jerat itu menyebabkan kematian satwa lindung, pemasang jerat dapat dijerat dengan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Namun, belum ada yang divonis 5 tahun penjara.
Baca juga: Harimau Sumatera Mati di Tempat Penyelamatan Satwa Jambi
”Saat kena harimau selalu alibi jerat untuk babi. Yang namanya jerat membahayakan semua satwa, bahkan manusia,” kata Agus.
Agus menambahkan, harimau termasuk satwa paling banyak diburu untuk diperjualbelikan. Catatan Forum Jurnalis Lingkungan Aceh, terdapat 10 pekara perdagangan bagian tubuh harimau pada 2020-2021. Selain itu, masih ada dua kasus kematian harimau yang proses hukum masih mangkrak.
BKSDA Aceh berulang kali melakukan sosialisasi larangan pemasangan jerat di habitat satwa lindung. Namun, perburuan tidak berhenti juga. BKSDA Aceh juga mendorong peternak di kawasan hutan menerapkan pola gembala terkontrol agar tidak memancing harimau turun mencari mangsa.
”Kami masih fokus pada kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Gunung Leuser, sedangkan pengawasan di luar kawasan konservasi masih minim,” kata Agus.
Persoalannya tidak sedikit harimau berada di kawasan budidaya. Kematian tiga harimau di Aceh Timur contoh nyata, harimau berada dalam perkebunan sawit. Akibatnya, harimau yang berada di luar wilayah konservasi menjadi target empuk para pemburu.
Agus mengatakan, kemampuan BKSDA Aceh terbatas untuk bisa mengawal semua kawasan. Karena itu, dia berharap semua pihak terlibat dalam melakukan sosialisasi dan patroli jerat.
Penguasaan ruang yang tidak berimbang mengakibatkan terganggunya habitat satwa. Perlu segera dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin usaha dalam kawasan hutan.
BKSDA Aceh dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat lingkungan. Namun, pihak perusahaan atau pemegang konsesi masih minim keterlibatan. ”Padahal mereka juga berkewajiban menjaga satwa lindung sebab tidak sedikit konsesi masuk dalam koridor satwa,” kata Agus.
Baca juga: Si Raja Hutan Terusir dari Rimba, Mati Diracun Serangga
Forum Konservasi Leuser (FKL) setiap tahun menemukan ratusan jerat satwa yang ditebar oleh pemburu dalam hutan Leuser. Pemasang jerat itu selain warga Aceh, juga warga Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Leuser yang merupakan rumah besar bagi satwa-satwa kunci menjadi ladang perburuan.
Koordinator Investigasi dan Penegakan Hukum Forum Ekosistem Leuser Tezar Fahlevi menuturkan, pihaknya mempunyai tim khusus yang melakukan patroli jerat dan perlindungan satwa di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sejak 2018 hingga 2022, FKL menemukan 1.959 jerat satwa di dalam KEL.
”Diperlukan upaya pengawasan yang sangat ketat terhadap aktivitas perburuan satwa dengan menggunakan jerat di wilayah habitat satwa kunci di KEL,” kata Tezar.
Tezar mengatakan, kematian tiga harimau di Aceh Timur menjadi alarm betapa satwa kunci itu kian terancam. Dia mendesak aparat hukum untuk mengusut tuntas dan menjatuhkan hukuman yang berat terhadap pemasang jerat.
Populasi harimau di Indonesia diperkirakan 568 ekor, sedangkan di Aceh kini 150 ekor. Namun, data itu terakhir diperbarui 2013. Saat ini survei terbaru sedang dilakukan. Populasi harimau tersebar di TNGL, KEL, dan Ulu Masen.
”Pemerintah harus memperkuat perlindungan satwa liar baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan,” ujar Tezar.
Kerusakan habitat
Karusakan habitat memicu konflik antara harimau dan manusia tidak berkesudahan. Ruang jelajah harimau kini terfragmentasi karena alih fungsi hutan menjadi kawasan budidaya dan kawasan pembangunan infrastruktur. Kondisi ini membuat ruang jelajah harimau kian sempit dan ketersediaan pakan alami menyusut.
Teritorial atau ruang jelajah harimau mencapai 10.000 hektar untuk 1-4 ekor. Harimau adalah predator alami pengatur ekosistem. Jika harimau diburu, hama babi berpotensi meningkat. Sebaliknya, jika babi masif diburu, pakan alami harimau menyusut.
Baca juga: Harimau di Aceh Selatan Mati Diracun Insektisida
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin menuturkan, ada kekeliruan dalam pengelolaan kawasan. Tidak sedikit konsesi masuk dalam koridor satwa.
”Penguasaan ruang yang tidak berimbang mengakibatkan terganggunya habitat satwa. Perlu segera dilakukan evaluasi meyeluruh terhadap izin-izin usaha dalam kawasan hutan,” kata Shalihin.
Baca juga: Dua Penjual Kulit Harimau di Aceh Ditangkap
Juru Kampanye Satwa Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, mengatakan, angka kematian harimau sumatera sangat tinggi sejak 2010 hingga 2021. Kematian akibat perburuan dan jerat untuk diperdagangkan mencapai 189 harimau. ”Tingginya angka tersebut menandakan masih lemahnya pengamanan harimau dalam habitatnya,” ujar Riszki.
Masifnya perburuan satwa berjalan seiring dengan penyusutan habitat. Ia menyebut 70 persen habitat harimau di Sumatera berada dalam kawasan tidak dilindungi yang telah masif beralih fungsi. Akibatnya, terjadi fragmentasi di kantong-kantong jelajah.
Selain kematian terkait perdagangan satwa, terjadi pula kematian 130 harimau akibat berkonflik dengan manusia. Kematiannya ditandai temuan harimau kena racun.
Pada Juni 2020, misalnya, seekor harimau ditemukan mati tidak jauh dari kandang kambing milik warga di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan. Dalam tubuh harimau itu ditemukan zat racun insektisida yang biasa dipakai petani membunuh serangga. Zat racun yang sama ditemukan pada sisa daging kambing yang dimangsa harimau itu. Namun, hingga kini polisi belum berhasil menangkap dalang kematian harimau itu.
Dari tahun 2010 hingga 2015, pihaknya mendapati ada 4 kantong habitat harimau tidak lagi berpopulasi. Kepunahan pada empat kantong tersebut disebabkan perburuan, alih fungsi lahan, dan ketiadaan perlindungan habitat.
Kasus tewasnya tiga harimau di kawasan hak guna usaha (HGU) di Aceh Timur menandakan lemahnya penjagaan kawasan oleh pemegang HGU. Karena itu, ia mendesak agar pengawasan atas pengamanan habitat oleh pemangku wilayah diperketat.
Sebagai salah satu satwa yang oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) harimau masuk dalam daftar satwa yang terancam punah, selangkah lagi berada di ambang kepunahan. Jika perlindungan tidak diperkuat, satu saat ”Raja Rimba” hanya cerita belaka.
Baca juga: Terjepit Aktivitas Manusia, Seekor Harimau Jantan Dievakuasi