Petani Tak Bermitra Paling Terdampak Anjloknya Harga Sawit di Kaltim
Setelah Presiden mengumumkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng, harga tandan buah segar sawit di Kaltim turun nyaris 50 persen. Petani yang tak bermitra dengan perusahaan perkebunan paling terdampak.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Petani sawit yang tidak menjalin kemitraan dengan perusahaan perkebunan paling terdampak penurunan harga komoditas tersebut. Harga tandan buah segar atau TBS sawit terus menurun menjelang penerapan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/2022).
Di Kalimantan Timur, hal itu dialami petani kelapa sawit di sejumlah daerah, salah satunya di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Di daerah itu, sebagian besar petani sawit menjual langsung hasil kebunnya ke tengkulak.
Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan aturan larangan ekspor pada Jumat (22/4/2022), harga TBS langsung turun pada malam harinya. Tak hanya itu, ternyata harganya terus menurun hingga hari ini. ”Malam hari setelah pengumuman Presiden, dari Rp 3.100 per kilogram TBS menjadi Rp 3.000 per TBS. Setelah itu terus menurun. Pagi ini, turun lagi menjadi Rp 1.950 per kilogram TBS. Bahkan, sore ini turun lagi menjadi Rp 1.600 per TBS,” ujar Erwan (39), petani sawit di Kecamatan Sepaku, Selasa (26/4/2022).
Erwan mengatakan, kondisi ini mencekik petani seperti dirinya dan ribuan orang lain di Kecamatan Sepaku. Sebab, sawit menjadi urat nadi kehidupan petani di wilayah calon ibu kota negara itu.
Menurut dia, meskipun sejumlah harga pupuk dan ongkos angkut naik, petani masih bisa bertahan dengan harga TBS sawit Rp 3.100 per kilogram. Namun, saat ini petani amat terpuruk. Saat harga pupuk dan ongkos angkut tinggi, harga jual sawit justru rendah. "Kebutuhan rumah tangga, seperti minyak goreng, juga tinggi. Kami hanya berharap supaya pemerintah punya solusi,” ujarnya.
Ahmad Indradi (44), petani di Kecamatan Babulu, Penajam Paser Utara, khawatir produksi petani sawit akan menurun drastis jika kondisi ini terjadi dalam waktu lama. Sebab, harga produksi lebih tinggi daripada harga jual.
Ia menjelaskan, saat ini harga pupuk di tingkat petani sekitar Rp 600.000 per karung (50 kilogram). Sejak awal 2022, harga tersebut naik dua kali lipat dari sebelumnya Rp 300.000 per karung. Selanjutnya, harga herbisida yang sebelumnya Rp 50.000 naik nyaris tiga kali lipat menjadi Rp 140.000.
Harga ongkos angkut pun naik. Pasalnya, truk pengangkut sawit tak boleh menggunakan solar bersubsidi. Semua truk pengangkut sawit saat ini menggunakan dexlite dengan harga sekitar Rp 13.000 per liter. ”Secara keseluruhan, biaya produksi petani awalnya Rp 1.000 per kg TBS. Karena naiknya harga pupuk dan lain-lain, saat ini menjadi sekitar Rp 1.800 per kg TBS. Itu dengan asumsi hasil panennya dua ton per hektar setiap bulan,” kata Ahmad.
Dengan menggunakan penghitungan Ahmad, yakni biaya produksi Rp 1.800 per kilogram TBS, petani di Kaltim merugi jika menjual sawitnya saat ini. Artinya, dengan harga terbaru Rp 1.600 per kilogram TBS, petani merugi Rp 200 per kilogram TBS.
Meski demikian, petani tak punya pilihan lain karena sawit tak bisa disimpan dalam waktu lama. Mereka tetap harus menjual kepada pengepul sesegera mungkin. Dengan asumsi setiap petani mampu menjual satu ton sawit TBS sekali panen, petani bisa menanggung kerugian Rp 200.000 per ton.
Problem kemitraan
Sebenarnya, pemerintah sudah punya peraturan untuk melindungi para petani sawit dari fluktuasi harga. Pemerintah punya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS).
Peraturan itu dibuat agar petani sawit menerima harga jual TBS yang tinggi. Di Kaltim, harga acuannya ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim setiap bulan. Pada April, harganya masih sekitar Rp 3.400 per kilogram TBS.
Namun, itu hanya berlaku bagi petani yang bermitra dengan perusahaan sawit. Bagi petani yang tidak bermitra, harga yang berlaku adalah harga pasar yang ditentukan tengkulak. ”Untuk membuat kemitraan dengan perusahaan sawit itu sulit sekali. Kami sudah coba bersurat dan berbagai cara, tetapi tetap tak bisa. Itu yang membuat posisi petani sangat lemah,” ujar Ahmad.
Melihat harga yang terus merosot di tingkat petani, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad mengatakan, saat ini pihaknya tengah menyusun surat edaran Gubernur Kaltim. Isinya mengenai pengawasan harga di pabrik kelapa sawit. Tujuannya, agar perusahaan memberi harga sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah kepada mitra.
Menurut dia, kesulitan saat ini adalah mengontrol harga sawit di tingkat petani yang tak bermitra dengan perusahaan. Di dalam surat edaran itu, kata Ujang, setiap bupati dan wali kota diminta untuk membantu petani supaya bisa bermitra dengan perusahaan.
”Kami mendorong pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi kemitraan antara pekebun dan perusahaan perkebunan. Itu supaya pekebun atau petani terhindar dari gejolak harga,” kata Ujang.