Selamatkan Secuil Bumi Jawa Barat Lewat Grup WA hingga Listrik Tenaga Bayu
Upaya menekan dampak buruk perubahan iklim tidak bisa dilakukan sendiri. Di Bandung dan daerah lain di Jawa Barat, kolaborasi beragam kalangan tengah dibentuk untuk masa depan bumi lebih baik.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, ABDULLAH FIKRI ASHRI
·7 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Cekungan Bandung akan diatur perpres. Kawasan cekunga Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terlihat mulai sesak dilihat dari kawasan Bandung Utara, Senin (30/11/2015).
Guyuran air langit di kawasan Bandung dan sekitarnya saat bulan puasa tahun ini memicu diskusi hangat di grup Whatsapp Siaga Warga (PRB-TD). Ragam masalah ramai diperbincangkan, mulai dari genangan air pada permukiman warga di Kecamatan Dayeuhkolot hingga evakuasi warga yang rumahnya diancam banjir di Kecamatan Rancaekek.
Ada warga yang pasrah. Namun, muncul juga nada kecewa. Mereka menyayangkan banjir masih terjadi saat beragam infrastruktur pengendali banjir usai dibangun pemerintah. Terowongan Nanjung yang rampung Desember 2019, serta Embung Gedebage dan Kolam Retensi Cieunteung yang tuntas tahun 2018, dipandang belum terlalu tangguh untuk menghadapi ancaman bencana.
”Tidak cukup hanya menanam dan merawat pohon. Tidak cukup hanya membangun kolam retensi. Hanya perlu banyak maklum saat yang kuat tak peduli pada yang lemah karena yakin timbangan masa akhir takkan berat sebelah,” begitu unggahan salah satu partisipan.
Salah seorang inisiator grup WA Siaga Warga, Riki Waskito, mengatakan, sejak dibuat tahun 2013, grup WA Siaga Warga memang ingin menjadi tempat diskusi tanpa sekat dan berbagi informasi warga terkait potensi bencana di sekitar Bandung.
Harapannya, semua itu bisa memicu keterlibatan warga dari beragam kalangan untuk peka dengan kondisi di sekitarnya. Hingga Kamis (21/4/2022), grup yang dipelopori personel Garda Caah dan Jaga Balai, komunitas sukarelawan bencana mandiri di Kabupaten Bandung, itu berisi 190 partisipan.
Sejumlah warga melintasi banjir di Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/5/2021).
Riki menjadi salah seorang yang aktif menghidupkan diskusi. Tinggal di Kecamatan Majalaya, di sisi Citarum, seperti banyak partisipan lainnya, dia adalah penyintas banjir.
Lebih dari sekadar omong kosong, dalam unggahannya, ia kerap mencantumkan data dari berbagai sumber. Beberapa di antaranya prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga ketinggian air Citarum dari Flood Forecasting and Warning System Balai Besar Wilayah Sungai Citarum.
”Harapannya, saat saya membagikan data akurat, literasi kebencanaan warga bisa meningkat. Saya terus belajar mewujudkan hal itu,” katanya.
Keinginannya belajar dibuktikannya lagi pada Selasa (19/4/2022) siang. Sembari tetap memberikan informasi dampak hujan di WA Siaga Warga, dia ikut webinar bertajuk ”Bandung Hareudang”. Diskusi ini digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan Google News Initiative.
Pembicaranya adalah Zadrach L Dupe dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB dan Pemimpin Redaksi Bandungbergerak.id Tri Joko Her Riadi. Sesuai judulnya, diskusi menyoroti dampak perubahan iklim di Bandung. Bandung yang dulu terkenal sejuk dan dingin kini menjadi lebih panas. Diambil dari bahasa Sunda, hareudang berarti gerah.
Tren kenaikan suhu yang luar biasa ini terjadi karena El Nino (kemarau panjang) dan juga panasnya permukaan bumi.
Riki mengatakan selalu antusias mengikuti ragam diskusi tentang kebencanaan. Dia yakin bisa mendapat lebih banyak ilmu hingga membuka jejaring kolaborasi menyikapi mitigasi bencana bersama warga di daerah rawan.
Sebelumnya, ia dan sebagian partisipan grup WA Siaga Warga sudah kerap berkolaborasi mewujud inovasi, mulai dari pembuatan alat pengukur ketinggian air dengan ITB hingga pelatihan mitigasi bencana bagi siswa sekolah dan masyarakat bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung.
”Kami punya lima grup WA Siaga Warga yang menjadi diseminasi kesiapsiagaan hidrometeorologi yang rentan menjadi bencana. Kami sangat terbuka berkolaborasi untuk masa depan warga di daerah bencana bakal lebih baik,” katanya.
Semakin panas
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Pengendara sepeda motor melintasi perbukitan yang dimanfaatkan menjadi kebun sayur di Desa Mekarsaluyu, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (25/11/2019).
Zadrach menyambut baik ajakan itu. Kolaborasi menjadi kunci utama untuk menyikapi potensi hidrometeorologi. Di tengah perubahan iklim dan perilaku manusianya, butuh peran serta banyak pihak untuk meminimalkan dampak.
Di Bandung, misalnya, kenaikan kenaikan suhu dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan perubahan iklim telah berlangsung. Lonjakan jumlah penduduk dan kendaraan serta alih fungsi lahan turut membuat hawa Bandung tak lagi dingin. Dari Bandung yang semakin panas berujung banjir besar setiap musim hujan tiba.
Berdasarkan data BMKG Kota Bandung yang dihimpun Bandungbergerak.id, rata-rata suhu Kota Bandung pada 1975 tercatat 22,6 derajat celsius. Namun, pada 2020, rata-rata suhu tertinggi di kota tersebut mencapai 25,69 derajat celsius. Artinya, dalam 45 tahun, suhu di Bandung bisa melonjak hingga 3 derajat celsius.
”Tren kenaikan suhu yang luar biasa ini terjadi karena El Nino (kemarau panjang) dan juga panasnya permukaan bumi,” ujar Zadrach.
Kondisi itu, lanjutnya, merupakan dampak perubahan iklim secara global, termasuk di Bandung. Jika puluhan tahun lalu warga bisa menikmati kabut, kini Kota Kembang terasa gerah. Pemandangan rumah warga dataran tinggi Bandung yang dilengkapi alat pendingin udara kini menjadi hal biasa.
Perubahan iklim juga tidak terlepas dari peran manusia. Penambahan kendaraan, misalnya, turut meningkatkan suhu. Ia memaparkan, jumlah kendaraan roda empat baru di Bandung bisa mencapai 300 unit per pekan atau 15.000 per tahun. ”Padahal, rata-rata satu mobil itu mengeluarkan 5 ton emisi CO₂ atau karbondioksida per tahun,” ucapnya.
Jumlah penduduk di kota seluas 167 kilometer persegi itu juga terus melonjak. Pada 1940, total penduduk di Bandung mencapai 177.659 jiwa. Namun, 80 tahun kemudian atau 2020, jumlah penduduk mencapai 2.444.160 orang. ”Dulu, orang Belanda merancang Bandung itu maksimal dihuni 200.000 orang,” kata Zadrach.
Ledakan penduduk ini berdampak pada kenaikan suhu karena manusia mengeluarkan karbondioksida serta mendorong alih fungsi lahan. Ia mencatat, pada 1970, ruang terbuka hijau (RTH) di Bandung mencapai 35 persen dari luas wilayah.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Petani menggemburkan lahan menggunakan garpu tanah di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/9/2021).
Akan tetapi, pada 2010, jumlahnya tersisa 10 persen. Tahun lalu, RTH yang dapat menyerap karbon dioksida di Bandung tercatat 12 persen. Zadrach menilai kondisi geografis Bandung yang berbentuk cekungan menyebabkan udara terkurung di daerah tersebut. Kenaikan suhu, lanjutnya, otomatis meningkatkan potensi hujan lebat.
Dampaknya, terjadi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor. ”Ketika perubahan iklim terjadi, ketika kita tak bisa menghormati lingkungan, jadilah bencana,” ujarnya.
Oleh karena itu, Zadrach mengingatkan pentingnya menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Hal itu dapat dilakukan mulai tingkat individu, seperti menghemat air dan tidak membuang sampah sembarangan hingga kebijakan pemerintah untuk mencegah ledakan penduduk serta alih fungsi lahan.
Tri Joko menambahkan, sejumlah media masih reaktif dalam memberitakan dampak perubahan iklim jika terjadi bencana. ”Media seharusnya mengarusutamakan isu perubahan iklim dengan penyajian secara populer. Media juga bisa melakukan liputan investigasi karena isu ini menyimpan pelanggaran dan penyimpangan,” papar Ketua AJI Bandung tersebut.
Janji pemerintah
Sekretaris Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja menyakinkan, pihaknya masih fokus menekan emisi karbon. Jabar menjadi salah satu daerah yang menandatangani nota kesepahaman Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) dengan Kementerian PPN/Bappenas pada 2 April 2019.
”Sekitar 60-70 persen kesehatan kita ini dipengaruhi kondisi lingkungannya. Kalau bicara kondisi lingkungan, adalah bagaimana kita bisa menekan emisi karbon,” kata Setiawan saat membuka lokakarya bertema ”Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim untuk Mendorong Ekonomi Hijau di Provinsi Jabar” di Bandung, Rabu (20/4/2022).
Pembangunan rendah karbon kurang lebih ada lima hal, yaitu pengembangan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan.
Setiawan melaporkan, Jabar melepas kurang lebih 135.212.470 ton CO2-eq emisi gas rumah kaca. Komposisi yang paling banyak mengeluarkan ialah dari energi sebesar 40 persen dan transportasi sebesar 31 persen.
”Pembangunan rendah karbon kurang lebih ada lima hal, yaitu pengembangan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan,” ucap Setiawan.
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, yang juga Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan, memang getol mempromosikan konsep nol karbon. Pada Senin (11/4/2022), misalnya, dia bertemu Duta Besar Denmark untuk Indonesia Lars Bo Larsen. Tiga hari kemudian, dia bertemu Dubes Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins. Bahasan utamanya tentang masa depan energi terbarukan.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019).
Setelah bertemu Bo Larsen, gubernur yang akrab disapa Emil ini mengatakan, Pemprov Jabar menggandeng perusahaan turbin angin terbesar di dunia asal Denmark, Vestas Wind System. Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang diproyeksikan menghasilkan listrik 1.600 megawatt itu akan dibangun di Kecamatan Pameungpeuk, Cibolang, dan Cisompet.
”Proyek tersebut akan dikerjakan 2022 atau paling lambat awal 2023. PLTB Garut selatan ini juga akan diperkenalkan ke publik mancanegara dalam perhelatan Presidensi G20 November 2022,” kata Emil.
Beragam kolaborasi itu jelas ditunggu. Namun, lebih dari sekadar kerja parsial, semuanya butuh bergerak bersama. Suara akar rumput tidak bisa terdengar tanpa dukungan penguasa. Namun, program besar negara menyelamatkan dunia baru akan berhasil bila ada keterlibatan warga di lapisan paling bawah.