392 Anak di Aceh Jadi Korban Pemerkosaan, Komitmen Pemerintah Diragukan
Anak-anak korban pemerkosaan di Aceh terus bertambah. Mereka diperkosa oleh orang-orang terdekatnya. Jika di rumah mereka tidak aman, ke mana lagi mereka harus berlindung. Sementara perlindungan pemerintah tak optimal.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kasus pemerkosaan terhadap anak di Provinsi Aceh terus berulang dan mesti menjadi perhatian serius seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat. Sejak 2018 hingga 2021, tercatat 392 anak menjadi korban pemerkosaan. Kasus terakhir, seorang anak berusia 14 tahun diperkosa ayah kandungnya di Aceh Besar.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh Komisaris Polisi Ryan Citra Yudha, Kamis (21/4/2022), mengungkapkan, JM (43), si pelaku, memperkosa anak kadungnya sebanyak delapan kali. Pelaku ditangkap pada Rabu (20/4) di rumah temannya di kawasan Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Ryan menuturkan, pemerkosaan terjadi di rumah tempat pelaku, istri, dan anaknya atau korban tinggal. Aksi tersebut dilakukan saat istrinya sedang bepergian.
”Ini sungguh miris, pelaku adalah ayah kandung korban. Dia tega melakukan hal bejat terhadap anaknya sendiri,” kata Ryan.
Pemerkosaan pertama kali terjadi pada November 2021 dan terakhir pada 14 April 2022. Melihat anak tidur sendiri, JM malah memperkosanya. Korban melawan, tetapi JM mengancam.
Pemerkosaan berulang hingga delapan kali. Pada akhirnya korban membuka suara kepada sang ibu. Kecewa dan marah, ibu korban melaporkan suaminya kepada polisi.
Pelaku kini telah ditahan oleh Kepolisian Resor Kota Banda Aceh. Dia dijerat dengan Qanun Hukum Jinayah dengan maksimal hukuman cambuk 200 kali atau penjara 16,5 tahun.
Kasus tersebut memperpanjang daftar kekerasan seksual terhadap anak di Aceh. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, periode 2018-2021 sebanyak 392 anak menjadi korban pemerkosaan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Nevi Ariani menuturkan, kasus demi kasus yang terjadi menunjukkan perlindungan terhadap anak belum baik.
Kasus demi kasus yang terus terjadi menunjukkan perlindungan terhadap anak di Aceh belum baik.
DP3A Aceh memang dimandatkan untuk memperkuat perlindungan dan pendampingan terhadap korban. Namun, kata Nevi, tugas besar itu harus dilakukan bersama, melibatkan banyak pihak.
Nevi mengatakan, dalam banyak kasus yang mereka tangani, sebagian besar kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena pelaku sering mengakses konten pornografi. ”Kami melakukan kampanye untuk mencegah, sementara konten pornografi dapat diakses dengan mudah, bahkan saat di dalam rumah,” kata Nevi.
Menurut Nevi, narkoba juga memengaruhi tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dalam beberapa kasus, pelaku yang memperkosa anak kandung, setelah diperiksa, ternyata pemakai narkoba. ”Karena pengaruh narkoba, dia tega memperkosa anak kandungnya,” kata Nevi.
Persoalan kemiskinan juga menjadi faktor tidak langsung. Korban pemerkosaan rata-rata dari keluarga miskin meski ada juga dari keluarga berada. Sementara pelaku rata-rata orang yang dekat dengan korban, seperti saudara, paman, bahkan ayah kandung. Lokasi pemerkosaan di luar rumah, di rumah pelaku, atau di rumah korban. Miris, jika di rumah saja anak-anak tidak aman, di mana lagi mereka harus berlindung.
Direktur Flower Aceh Riswati mengatakan, dalam keluarga miskin, biasanya orangtua sibuk mencari nafkah sehingga waktu untuk mengontrol anak menjadi berkurang. Sebagai contoh, awal April 2022, seorang anak di Aceh Timur diperkosa dua tetangganya hingga hamil. Korban anak yatim, sementara ibunya sebagai orangtua tunggal merantau ke Malaysia untuk mencari nafkah.
Adapun korban adalah anak putus sekolah. Korban dirayu dengan diberi uang oleh pelaku setiap melakukan hubungan intim. ”Persoalan sangat kompleks, perlindungan lemah, hukuman lemah, dan pemenuhan hak korban juga lemah,” kata Riswati.
Riswati menilai Pemerintah Provinsi Aceh dan pemerintah kota/kabupaten tidak punya komitmen untuk melindungi anak dari kekerasan seksual.