Pemerintah Desa Borobudur Laporkan Dugaan Malaadministrasi Sertifikasi Tanah Kompleks Candi
Pemerintah Desa Borobudur melaporkan dugaan malaadministrasi proses sertifikasi tanah kas desa kepada Ombudsman Jawa Tengah. Aset tanah ini berada di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Sekretaris Desa Borobudur Ichsanusi memegang surat berisi laporan dugaan malaadministrasi yang dilakukan BPN Kabupaten Magelang kepada Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah, Senin (18/4/2022). Dugaan tersebut muncul pada proses sertifikasi tanah kas desa yang saat ini diproses oleh BPN.
MAGELANG, KOMPAS — Pemerintah Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menggugat proses sertifikasi atas areal tanah seluas sekitar 7 hektar di zona I kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Pasalnya, tanah tersebut hingga saat ini masih berstatus sebagai tanah kas desa, aset Pemerintah Desa Borobudur. Sertifikasi dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Balai Konservasi Borobudur.
”Kami menduga ada pelanggaran malaadministrasi dalam proses sertifikasi tanah tersebut di kantor pertanahan,” ujar Sekretaris Desa Borobudur Ichsanusi, Senin (18/4/2022), di Magelang. Adapun sertifikasi tanah yang diajukan adalah sertifikasi hak pakai.
Pemerintah Desa Borobudur melaporkan dugaan malaadministrasi oleh kantor pertanahan Kabupaten Magelang tersebut kepada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Rabu (13/4/2022). Adapun status tanah sebagai tanah kas desa tercatat dalam buku tanah Letter CDesa Nomor 4 Persil 14 Kelas D.IV.
Tahapan awal proses sertifikasi ini dimulai pada November 2018. Ketika itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Balai Konservasi Borobudur (BKB) mulai mengajukan permohonan sertifikasi hak pakai kepada Badan Pertanahan Negara (BPN). Pada 2019, pihak BKB memberitahukan hal itu kepada Pemerintah Desa Borobudur.
Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Desa Borobudur menolak keras upaya sertifikasi tanah dan menegaskan bahwa tanah tersebut masih menjadi aset desa. Dengan adanya sengketa antara Pemerintah Desa Borobudur dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut, BPN menyatakan tidak bisa memproses permohonan sertifikasi tersebut dan memberi kesempatan kepada kedua belah pihak menyelesaikan masalah itu terlebih dahulu.
Pada Desember 2019, BPN Kabupaten Magelang berupaya membantu proses mediasi dua pihak. Namun, karena tak kunjung ada kesepakatan, BPN merekomendasikan masalah ini diselesaikan melalui jalur hukum di pengadilan.
Namun, sebelum ada proses hukum, BPN ternyata menindaklanjuti permohonan sertifikasi tanah yang diajukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pada 2021, BPN justru mengundang Pemerintah Desa Borobudur untuk terlibat dalam pemeriksaan tanah di lapangan. Undangan ini ditolak Pemerintah Desa Borobudur. Pada Maret 2022, dengan alasan tidak ada gugatan dari Pemerintah Desa Borobudur, BPN Kabupaten Magelang melanjutkan proses sertifikasi hak pakai tanah yang diajukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Ichsanusi mengatakan, di masa lalu, tanah kas desa berikut Candi Borobudur dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa setempat. Sekalipun kemudian pemerintah pusat mulai terlibat dalam konservasi candi dengan menempatkan aparatur sipil negara sebagai juru pelihara pada 1960-an, tanah tersebut masih merupakan tanah kas desa dan belum ada aktivitas pembelian atau apa pun yang mengubah statusnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Candi Borobudur
Total luas tanah aset desa milik Pemerintah Desa Borobudur terdata mencapai 358.659 meter persegi. Dari luasan tersebut, sekitar 85 persen di antaranya termasuk tanah di zona 1 Candi Borobudur. Adapun seluruh aset tanah itu dibiarkan terdokumentasi dengan bukti letter C saja. ”Bukti kepemilikan aset tanah tetap dibiarkan letter C karena kami tidak punya cukup dana untuk melakukan sertifikasi pada semua aset tanah,” ujar Ichsanusi.
Ketua Tim Inventarisasi Aset Desa Borobudur Aji Luhur menambahkan, dari kegiatan inventarisasi pada 2015, ditemukan bahwa Pemerintah Desa Borobudur mengalami banyak kerugian karena sejumlah asetnya tiba-tiba dipakai pemerintah daerah atau institusi tertentu, tanpa ganti rugi setimpal. ”Dari pendataan kami waktu itu, ada aset tanah yang tidak diganti, ada aset yang diganti dengan tanah di lokasi lain yang nilainya tidak sebanding, dan bahkan ada pula aset tanah yang tidak tercatat,” ujarnya.
Bukti kepemilikan aset tanah tetap dibiarkan letter C karena kami tidak punya cukup dana untuk melakukan sertifikasi pada semua aset tanah.
Hal ini terjadi akibat kelemahan administrasi Pemerintah Desa Borobudur, termasuk dipicu minimnya jumlah aset tanah yang tersertifikasi. Senada dengan Ichsanusi, Aji pun berpendapat BPN telah melakukan malaadministrasi. Selain itu, dia menduga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengajukan dokumen yang cacat hukum sehingga permohonan sertifikasi akhirnya bisa ditindaklanjuti.
Sementara itu, Kepala BKB Wiwit Kasiyati menolak berkomentar terkait sengketa tanah ini. ”Dalam hal sertifikasi tanah di zona I Taman Wisata Candi Borobudur ini, hanya pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang berwenang untuk menjelaskan,” ujarnya.
Wisatawan menikmati senja di antara stupa Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Kekhawatiran warga
Di masa lalu, tanah kas desa berikut Candi Borobudur dikelola dan dirawat oleh warga dan pemerintah desa setempat. Ketika kemudian pemerintah mulai terlibat dalam kegiatan konservasi dan pemugaran pada 1960-an, tanah tersebut dipakai dengan status pinjam. Karena didasari keikhlasan warga, proses meminjam tanah tersebut tidak dituangkan dalam surat tertulis.
Ichsanusi mengatakan, demi kelestarian candi, masalah pinjam-meminjam ini sebenarnya tidak terlalu dipersoalkan warga. Namun, proses sertifikasi ini pada akhirnya membuat warga gelisah karena khawatir akan semakin membatasi aktivitas warga di kompleks candi.
Selama ini, masyarakat Desa Borobudur memiliki ritual tahunan merti desa dengan beberapa acaranya melakukan kirab, arak-arakan melintasi zona 1 Candi Borobudur, dan pentas wayang. Pelaksanaan kirab kini hanya bisa dilakukan dengan seizin BKB. Sementara pentas wayang dilarang digelar di kompleks candi karena dikhawatirkan musik dalam pementasan akan berdampak buruk pada struktur batuan candi.
Meski demikian, warga menilai aturan tersebut tidak adil. ”Musik gamelan untuk pentas wayang dipersoalkan, tetapi musik dari konser-konser megabintang seperti Mariah Carey justru diizinkan diperdengarkan sekeras-kerasnya di kompleks candi,” ujar Ichsanusi.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Tengah Siti Farida menyatakan kesiapannya mengawal laporan warga Desa Borobudur itu sampai tuntas. ”Kami tetap akan mengupayakan proses ini berlangsung kooperatif, dari segi kantor pertanahan juga persuasif,” katanya.
Farida menjelaskan akan melihat konteks permasalahan terlebih dulu, termasuk meminta keterangan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Magelang dan Balai Konservasi Borobudur. Setelah itu, investigasi di lapangan akan dilakukan secara intensif melalui beberapa tahapan pengumpulan data dari masyarakat. Dia juga mendorong penyelesaian persoalan ini produktif bagi semua pihak.