Harap Cemas Menanti Tambang Pergi dari Sangihe
Sepuluh bulan lamanya warga Pulau Sangihe berjuang di jalur hukum untuk mengusir PT Tambang Mas Sangihe. Putusan akan dibacakan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu (20/4/2022) mendatang.

Anggota gerakan Save Sangihe Island berfoto di rumah salah satu anggota di Kampung Simueng, Tabukan Selatan, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Sabtu (7/8/2021).
Sepuluh bulan lamanya warga Pulau Sangihe berjuang di jalur hukum untuk mengusir PT Tambang Mas Sangihe, pemegang konsesi pertambangan seluas 42.000 hektar atau 57 persen dari luas pulau mereka. Putusan akan dibacakan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu (20/4/2022) mendatang.
Bagi seorang ibu bernama Venetsia Andemora, putusan itu akan menjadi penentu hidup dan matinya sebagai warga Pulau Sangihe. Seandainya majelis hakim memutus bahwa kontrak karya (KK) PT Tambang Mas Sangihe (TMS) sesuai peraturan perundang-undangan, maka baginya benarlah bahwa negara tak punya rasa kemanusiaan.
”Pulau Sangihe ini pulau kecil yang dilindungi undang-undang, mengapa masih diizinkan untuk ditambang? Bagi saya sebagai warga Sangihe, keputusan (memberikan KK kepada PT TMS) ini seperti rencana pemusnahan sebuah suku,” kata Venetsia dalam sebuah konferensi pers daring, Kamis (14/4/2022) sore.
Venetsia adalah warga Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kepulauan Sangihe. Kampungnya itu akan menjadi titik pusat operasional PT TMS. Ia pun menolak berpangku tangan dan kini aktif menggelorakan penolakan dengan menjadi koordinator gerakan Save Sangihe Island (SSI) di kampungnya.

Mahasiswa mengenakan baju gerakan Save Sangihe Island dalam aksi di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Manado, Senin (21/6/2021), untuk menolak izin usaha pertambangan khusus bagi PT Tambang Mas Sangihe. Perusahaan itu mendapatkan wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektar di Pulau Sangihe.
Rasa kecewanya telah menggunung setahun terakhir, baik kepada pemerintah pusat sebagai penerbit KK PT TMS maupun Pemerintah Provinsi Sukawesi Utara yang melicinkan proses tersebut dengan menerbitkan izin lingkungan. ”Saya kecewa ketika tahu pemerintah yang kami hormati tidak memberikan perlindungan, tetapi justru merampok dan menjual tanah yang telah kami miliki sejak kami lahir,” katanya lagi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menerbitkan surat keputusan untuk menaikkan status KK PT TMS dari eksplorasi menjadi operasi produksi pada 29 Januari 2021. Dengan luas konsesi 42.000 hektar di paruh selatan Pulau Sangihe, perusahaan itu diperbolehkan mengeruk emas dengan metode open pit hingga 33 tahun ke depan.
Baca juga: Perjuangan Sangihe Melawan Tambang Berlanjut di PTUN Jakarta Pusat
Hingga 2024, PT TMS masih akan fokus pada konstruksi situs tambang. Kampung Bowone yang menjadi rumah Venetsia belum digusur, tetapi pembangunan sudah mulai berdampak. Sempat terjadi kerusakan pipa yang menyalurkan air dari pegunungan sehingga warga kehilangan hak dasarnya atas air bersih selama empat hari.
Namun, pada saat yang sama sebagian kebun masyarakat yang telah dibeli perusahaan mulai diratakan. Pohon-pohon kelapa yang subur dan menghasilkan pun ditebang, diganti dengan uang sekian juta rupiah. Venetsia pun bertanya-tanya, bagaimana nasibnya? Bagaimana nasib anak-anaknya di masa depan?

Mohonis Meluwu (65) menyaring sagu dari serpihan batang pohon sagu di Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Sabtu (7/8/2021). Sagu masih menjadi salah satu pilihan utama sumber karbohidrat bagi warga Kepulauan Sangihe yang hampir tak memiliki sawah sama sekali.
”Kalau pemerintah pusat dan pemerintah provinsi punya iktikad baik, caranya tidak seperti ini, bukan dengan menghadirkan pertambangan di Pulau Sangihe. Banyak komoditas di Sangihe yang bisa memberikan kehidupan, tetapi tidak termasuk tambang. Kami dengan tegas menolak tambang,” katanya lagi.
Janggal
Selama 10 bulan proses persidangan, segala macam bukti dan keterangan telah dipaparkan. Maka, seharusnya majelis hukum tak lagi kesulitan menemukan segala macam kejanggalan pada perizinan PT TMS.
Muhammad Jamil dari tim hukum SSI mengatakan, keanehan ini sudah tampak dari aspek yang paling sederhana, yaitu izin PT TMS yang masih menggunakan istilah ”kontrak karya”. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), perusahaan tambang hanya diperbolehkan menegosiasikan KK yang dipegangnya paling lambat 2010.
Selanjutnya, KK harus diganti dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Peraturan ini dipertahankan pada Pasal 169A UU No 3/2020 tentang Pertambangan Minerba. Anehnya, pada 2021, Menteri ESDM masih menerbitkan KK untuk operasi produksi PT TMS.
Kejanggalan yang kedua adalah masa berlaku KK PT TMS yang mencapai 33 tahun hingga 2054. Menurut Pasal 169A UU Pertambangan Minerba, perusahaan dapat memperoleh perpanjangan masa operasi maksimal dua kali 10 tahun.

Pamflet berisi perkiraan lokasi pusat pengolahan bijih emas PT Tambang Mas Sangihe dipasang di dinding rumah warga Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah, Sulawesi Utara, Minggu (8/8/2021). Warga Kampung Bowone khawatir mereka akan tergusur jika perusahaan mulai beroperasi.
Jamil juga menilai, luas wilayah KK PT TMS yang mencapai 42.000 hektar tidak wajar. ”Biasanya, tambang batubara hanya diberi 15.000 hektar, sedangkan mineral, termasuk emas 25.000 hektar. Lah, PT TMS ini dapat 42.000 hektar. Jadi, ini adalah produk kebijakan yang mengandung unsur kejahatan di dalamnya,” katanya.
Yang tak kalah unik, Pemprov Sulut melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) menerbitkan izin lingkungan untuk operasi produksi di lahan seluas 65,48 hektar. Namun, izin lingkungan itu malah dijadikan dasar oleh Menteri ESDM untuk menerbitkan KK dengan wilayah operasi seluas 42.000 hektar.
Jamil pun menyebut KK PT TMS tidak memiliki legitimasi karena jelas-jelas mengangkangi hukum. ”Jadi, mudah sekali menemukan cacat prosedur. Ini harusnya jadi perhatian majelis hukum di PTUN Jakarta,” katanya.
Pulau Sangihe ini sangat kecil. Jadi, tambang akan sangat berbahaya, bahkan bisa berujung pada hilangnya identitas suku Sangihe.
Belum lagi, PT TMS, yang merupakan wujud penanaman modal asing (PMA), belum memperoleh izin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Ayat 1 UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga tak pernah menerbitkan rekomendasi untuk maksud tersebut.

Warga beraktivitas di Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada Sabtu (7/8/2021). Warga kampung Bowone terancam terusir dari tempat tinggalnya karena lokasinya akan dijadikan pusat pengolahan hasil pertambangan emas.
Menurut Pasal 23 Ayat 2 UU tersebut, pulau kecil di bawah 200.000 hektar seperti Sangihe (73.698 hektar) tidak diprioritaskan untuk kegiatan pertambangan, apalagi pulau tersebut berpenghuni dan masyarakat begitu terikat pada alamnya, yakni dengan menjadi petani dan nelayan.
”Pulau Sangihe ini sangat kecil. Jadi, tambang akan sangat berbahaya, bahkan bisa berujung pada hilangnya identitas suku Sangihe,” kata Jamil.
Gugatan di PTUN Manado
Perjuangan warga Sangihe yang diwakili SSI tidak hanya berlangsung di PTUN Jakarta. Di PTUN Manado, warga sedang menggugat izin lingkungan yang diterbitkan Pemprov Sulut. Pada Kamis itu, tiga saksi ahli yang diajukan SSI memberikan keterangan di depan majelis hakim.
UU No 1/2014 pun lagi-lagi menjadi perhatian. Menurut Maret Priyatna, ahli hukum lingkungan, tata ruang, dan agraria dari Universitas Padjadjaran, UU tersebut jelas menyebutkan izin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai sesuatu yang mutlak bagi kegiatan PMA di pulau kecil. Ini pun harus didahului dengan rekomendasi bupati atau wali kota setempat.
Hanya dengan demikianlah izin lingkungan bisa diterbitkan. ”Ruang laut, perairan, dan pulau-pulau kecil ini perlu izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan karena karakteristiknya tidak bisa disamakan dengan ruang darat. Faktanya, memang pulau-pulau kecil itu rawan bencana, misalnya tsunami,” katanya.
Kendati begitu, Maret membenarkan, UU No 1/2014 tidak serta-merta melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil. Intinya, kegiatan ekonomi di sektor apa pun yang akan dibuat di pulau kecil tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota setempat.

Melly Kuhanta (41) mengambil air untuk mengolah sagu di perkebunan rakyat Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Sabtu (7/8/2021). Satu pohon sagu dapat menghasilkan 150 kilogram sagu bubuk.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT TMS. Selama ini, masyarakat Bowone dan dua kampung lain yang terdampak, Binebas dan Salurang, mengaku tak pernah diundang ke sosialisasi amdal oleh pihak perusahaan.
Terkait dengan hal ini, Sudharto P Hadi, profesor ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro mengatakan, konsultasi publik adalah aspek yang sangat penting dalam penyusunan amdal. Masyarakat seharusnya dilibatkan sejak awal karena pemilik proyek memiliki kewajiban untuk mengumpulkan saran dan tanggapan masyarakat.
”Saran dan tanggapan itu akan menjadi referensi untuk membuat kerangka acuan dan ruang lingkup dari amdal. Masyarakat harus diikutsertakan sebagai orang yang diwawancarai dalam studi amdal oleh surveyor amdal. Masyarakat juga berhak menjadi bagian dari komisi penilai untuk menilai dokumen amdal,” kata Sudharto.
Kendati demikian, hingga kini SSI menyatakan tidak ada satu pun warga Bowone, Binebas, dan Salurang yang merasa terinformasi soal amdal. Di tempat terpisah, koordinator SSI, Alfred Pontolondo, mengatakan, masyarakat justru baru mengetahui PT TMS akan beroperasi di desa mereka antara 22-24 Maret 2021, dua bulan setelah KK diterbitkan.

Ikan tuna dan cakalang dijual di Pasar Towo'e, Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Senin (9/8/2021). Mayoritas warga Sangihe menggantungkan hidupnya pada perkebunan dan perikanan.
”Saat itu sosialisasinya dalam bentuk negosiasi harga, penawaran harga kepada masyarakat di Kampung Bowone untuk membebaskan lahan mereka karena di situ titik utama kegiatan PT TMS. Kami sendiri tidak pernah menyangka pulau kami menjadi konsesi tambang perusahaan,” katanya.
Sementara itu, Frans G Ijong, Direktur Politeknik Negeri Nusa Utara, tegas menyatakan tambang akan membawa kerusakan bagi pulau kecil seperti Sangihe. Sebab, aktivitas tambang akan menimbulkan longsoran sedimen (runoff) material organik dan anorganik ke laut.
Baca juga: Pantang Berpangku Tangan di Hadapan Tambang
Sedimen dari dalam perut bumi bisa jadi mengandung elemen, seperti kadmium, timbal, merkuri, dan arsen yang dapat memicu pemutihan pada terumbu karang. Akibatnya, karang akan menjadi lunak dan daratan pulau akan mengalami abrasi.
”Aktivitas perikanan juga akan terganggu. Pasti nantinya akan ada penurunan mutu produk perikanan dari Sangihe karena ada kandungan logam yang dapat mengancam kesehatan manusia,” kata Frans yang juga warga asli Sangihe.