Banjir Bandang di Aceh Tenggara, 37 Rumah Rusak Berat
Banjir bandang terparah terjadi pada April 2017. Sebanyak 12 desa di tiga kecamatan luluh lantak diterjang air bah. Sebanyak 507 rumah rusak, 2 warga meninggal, dan 2.821 warga mengungsi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KUTACANE, KOMPAS — Banjir bandang yang menerjang lima kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, Kamis (14/4/2022) malam, menyebabkan 37 rumah dan sejumlah infrastruktur lain rusak. Tidak ada korban jiwa, tetapi ratusan warga mengungsi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas Yunus, Jumat (15/4/2022), menuturkan, banjir bandang terjadi pukul 20.00 pada saat warga sedang bersiap melaksanakan shalat Tarawih.
Air bah meluncur deras dari tebing dan sungai, menerjang badan jalan, jembatan, dan rumah penduduk. Bebatuan dan batang kayu yang dibawa air memenuhi badan jalan dan halaman rumah warga.
Sebanyak 37 rumah rusak berat, 55 rumah rusak ringan, 1 jembatan rusak berat, dan sejumlah titik jalan rusak. Arus transportasi di jalan nasional masih terhambat.
Ilyas menuturkan, kawasan yang dilanda banjir bandang adalah Kecamatan Babel (3 desa), Semadam (5 desa), Lawe Siga-gala (1 desa), Lawe Sumur (3 desa), dan Babul Makmur (1 desa).
”Tingginya curah hujan membuat debit air sungai naik sehingga sejumlah titik tanggul jebol,” kata Ilyas.
Tidak ada korban jiwa, tetapi ratusan warga mengungsi karena rumah mereka rusak. Hingga Jumat (15/5/2022) siang lumpur dan bebatuan masih memenuhi permukiman.
Dihubungi terpisah, Kepala BPBD Aceh Tenggara Nazmi Desky menuturkan, sebuah jembatan permanen sepanjang 12 meter di Kecamatan Semadam putus setelah dihantam banjir bandang. Akibatnya, sampai saat ini arus transportasi di jalan nasional tersebut yang menghubungkan Kutacane dengan Kabupaten Karo, Sumatera Utara, belum dapat dilalui kendaraan.
”Kami sedang berusaha memasang jembatan darurat agar bisa dilewati. Untuk sementara arus transportasi dialihkan ke jalan lain,” kata Nazmi.
Nazmi menambahkan, pihaknya telah menyediakan posko untuk warga terdampak banjir, tetapi sebagian besar warga mengungsi ke rumah keluarga.
Sejumlah alat berat dikerahkan untuk membersihkan material yang berada di badan jalan. Alur sungai yang tersumbat material bandang juga dikeruk agar air dapat mengalir kembali.
Aceh Tenggara termasuk kawasan paling rawan terjadinya bencana banjir bandang. Secara topografi, kabupaten itu terdiri dari pegunungan dan banyak sungai. Permukiman warga berada di dataran rendah di kaki-kaki lereng.
Dengan curah hujan di kawasan Aceh Tenggara berkisar 3.000-4.000 mm per tahun, potensi banjir dan longsor kian besar. Saat hujan terjadi dalam jangka lama, lereng kerap runtuh menimbun permukiman.
Pada saat yang sama, tutupan hutan kian berkurang karena alih fungsi dan pembalakan liar memperbesar potensi bencana. Sebagian besar kawasan Aceh Tenggara masuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser.
Banjir bandang terparah terjadi pada April 2017. Sebanyak 12 desa di tiga kecamatan luluh lantak diterjang air bah. Sebanyak 507 rumah rusak, 2 warga meninggal, dan 2.821 warga mengungsi. Banjir bandang dengan skala lebih rendah juga terjadi pada 2018 dan 2019.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh Ahmad Solohin menyebutkan penyebab banjir di Aceh Tenggara dipicu banyak faktor, seperti bentuk topografi, curah hujan, jenis tanah, kondisi sungai, dan pola pemanfaatan lahan.
Ahmad mengatakan, pengelolaan lahan tidak sesuai dengan fungsi dapat mempercepat bencana alam. Pada lereng-lereng yang terjal seharusnya ditanami tumbuhan keras agar daya ikat tanah menjadi kuat. Namun, di Aceh Tenggara tidak sedikit lahan pada lereng ditanami tanaman muda.
Ahmad juga meminta penegakan hukum terhadap pelaku perambahan dan pembalakan liar ditindak agar hutan tidak semakin rusak.