Seorang Santri di Aceh Jadi Korban Pemerkosaan Guru
Kekerasan seksual pada anak di Provinsi Aceh seperti tidak terbendung. Sepanjang 2018-2021 terjadi sebanyak 3.352 kasus. Sebanyak 392 anak menjadi korban pemerkosaan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Seorang santri berusia 18 tahun di sebuah pesantren di Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh menjadi korban pemerkosaan oleh seorang guru. Pelaku kini ditahan oleh kepolisian.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Timur Ajun Komisaris Miftahuda Dizha Fezuono, Kamis (14/4/2022), menuturkan, pelaku adalah seorang guru di pesantren, berinisial SF (27). Pemerkosaan terjadi pada 2018 dan November 2021.
Dizha mengatakan, modusnya saat korban hendak ke kamar mandi untuk membuang air kecil, pelaku membuntuti korban. Saat korban berada di kamar mandi, pelaku memaksa korban untuk melakukan hubungan intim. Korban juga pernah diperkosa di dalam kamarnya.
Korban adalah warga Sumatera Utara yang mondok di pesantren tersebut. Pada akhir 2021, orangtua korban melaporkan peristiwa tersebut kepada polisi. Setelah rangkaian pemeriksaan, termasuk keterangan dari psikolog dan pemeriksaan visum et repertum, akhirnya polisi menetapkan SF sebagai tersangka. Pelaku baru dapat ditangkap pada Jumat (8/4/2022).
Peristiwa tersebut menambah panjang daftar kasus pemerkosaan terhadap anak di Aceh Timur. Sebelumnya, pada Jumat (25/3/2022), polisi menangkap IW (60) dan MD (55) karena telah memerkosa perempuan di bawah umur. Bahkan, korban kini hamil delapan bulan.
Pelaku pemerkosaan tersebut dijerat dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dengan ancaman hukuman maksimal 200 bulan penjara atau cambuk maksimal 200 kali.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Aceh Timur Resmiwati mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi, sementara kemampuan untuk mencegah dan melindungi korban sangat terbatas. ”Yang muncul ke permukaan hanya puncaknya. Masih banyak kasus yang tidak terungkap,” ujarnya.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, kekerasan terhadap anak sepanjang 2018-2021 terjadi sebanyak 3.352 kasus. Dari beragam kasus, pelecehan seksual terjadi sebanyak 743 kasus dan pemerkosaan sebanyak 392 kasus.
Resmiwati menambahkan, anggaran pada instansinya terbatas sehingga kampanye tidak maksimal. Bahkan, mereka hanya punya satu tenaga konselor. ”Sementara, korban yang didampingi banyak. Kami butuh 4 konselor, tetapi keuangan hanya mampu mengontrak satu orang,” katanya.
Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati menuturkan, pemerintah daerah tidak berkomitmen melindungi anak dari kekerasan seksual. Hal itu terlihat dari lemahnya dukungan anggaran untuk dinas atau badan yang mengurus isu anak. Flower Aceh kerap mengadvokasi kasus perempuan dan anak.
Riswati mengatakan, persoalan kekerasan seksual pada anak belum menjadi arus utama dalam pembangunan di Aceh. Selain dukungan anggaran yang minim, regulasi juga lemah. Ancaman hukuman bagi pelaku dalam Qanun Hukum Jinayat dianggap tidak memberikan efek jera pada pelaku dan tidak memberikan perlindungan maksimal pada korban.
Lembaga sipil di Aceh yang bergerak di isu perempuan dan anak pun mendesak Pemprov Aceh dan DPR Aceh agar merevisi qanun itu dengan memperberat hukuman dan memberikan hak korban secara utuh.