Penganiaya Bocah TK hingga Tewas di Kartasura Diduga Alami Trauma Kekerasan
Pelaku yang diduga menganiaya bocah hingga tewas di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, diduga mengalami trauma kekerasan. Mereka adalah kakak sepupu korban.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SUKOHARJO, KOMPAS — Kematian UF (7), bocah dengan lebam di sekujur tubuh, menggegerkan warga di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Aparat kepolisian menetapkan dua kakak sepupu korban sebagai tersangka dalam dugaan kasus penganiayaan tersebut. Tindakan brutal diduga dipicu trauma tersangka yang mengalami kekerasan serupa dari orangtuanya.
UF (7), bocah yang baru menginjak bangku taman kanak-kanak (TK) tersebut, dilaporkan tewas pada Selasa (12/4/2022) sore. Ia merupakan warga RT 001 RW 002, Dusun Blateran, Desa Ngabeyan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.
”Atas insiden tersebut, kami menetapkan dua orang tersangka, yaitu FNH (18) dan GS (24). Keduanya merupakan kakak sepupu korban. Mereka semua tinggal pada satu alamat yang sama,” kata Kepala Kepolisian Resor Sukoharjo Ajun Komisaris Besar Wahyu Nugroho Setyawan di Markas Polres Sukoharjo, Rabu (13/4/2022).
Kejadian tersebut bermula saat FNH menyebut UF baru saja mengambil uang dari warung kelontong yang dikelola keluarga mereka. FNH memberikan hukuman dengan menendang kedua kaki UF secara bersamaan. UF terjatuh dengan kepala lebih dahulu membentur ke lantai.
Benturan tersebut mengakibatkan UF lemas. Ia sempat ditolong kakak iparnya dengan diberi makanan dan obat. Namun, kondisinya tak kunjung membaik. Begitu dibawa ke rumah sakit, dokter menyatakan, UF telah meninggal.
”Di luar peristiwa tersebut, ternyata ada kejadian serupa juga sebelumnya. Pelakunya adalah kakak beradik ini, yaitu FNH dan GS. Namun, GS tidak mengingat tanggal kejadiannya,” kata Wahyu.
Penganiayaan yang dilakukan GS bermacam-macam, mulai dari pemukulan menggunakan tangan kosong sampai gagang pel. Sementara itu, FNH juga pernah memukul UF dengan tongkat bambu dan pemukul kasur dari rotan. UF juga pernah dihukum dengan diikat tangannya menggunakan tali rafia.
Wahyu mengungkapkan, alasan kedua tersangka menganiaya korban ialah tidak dipatuhinya perintah yang diberikan kepada korban dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, korban pernah dipukul karena tidak menurut sewaktu diminta menghapal Al Quran. Namun, paling sering korban dianiaya karena dituduh mengambil uang dagangan dari warung mereka.
”Korban dianggap banyak nakalnya dan tidak menurut jika diberitahu. Maka, dilakukan tindakan-tindakan kekerasan tersebut,” kata Wahyu.
Tindakan kekerasan tersebut, ungkap Wahyu, berlangsung sejak Februari lalu. Itu berawal dari kepergian ibu kedua tersangka, yang juga bude korban, ke Jakarta. Sang ibu merantau ke Ibu Kota untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Keputusan itu diambilnya setelah bercerai dengan suaminya tahun lalu.
Atas tindak penganiayaan tersebut, FNH dikenakan Pasal 80 Ayat 3 juncto Pasal 76 C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 351 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara. Sementara GS dikenai Pasal 80 Ayat 1 juncto Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 3,5 tahun penjara.
Trauma
Selanjutnya, Wahyu menyebutkan, pihaknya juga memerlukan pendalaman lebih lanjut tentang alasan-alasan yang menyebabkan tersangka berbuat sebrutal itu kepada sepupunya sendiri. Ada dugaan, mereka pernah mengalami perbuatan serupa dari orangtuanya.
”Ada pengalaman pendidikan yang cukup keras dari orangtuanya. Itu menyebabkan trauma atau dia merasa cara mendidik itu memang seperti itu. Tetapi, ini memerlukan pendalaman lagi,” kata Wahyu.
FNH mengaku menyesali perbuatan yang dilakukannya kepada korban. Ia mengaku lepas kendali saat menendang korban. Tidak ada dalam benaknya pertimbangan bahwa tindakannya akan merenggut nyawa korban. Ia juga tak memungkiri, semasa kecil, kerap diberi hukuman kekerasan serupa oleh sang ayah.
”Waktu kecil sering dihukum seperti itu sama bapak. Sering dipukul. Diikat di pohon malam. Dipukul di seluruh badan,” kata FNH.
GS menyampaikan hal serupa. Perlakuan kekerasan dialaminya dari sang ayah dan pendidiknya sewaktu menimba ilmu di pondok pesantren. Sedikit banyak, diakuinya, perbuatannya dipicu pengalaman-pengalaman tersebut. Namun, pemukulan dengan benda, sebutnya, semula hanya digunakan untuk memberikan ancaman kepada korban jika tidak menurut apabila diberitahu kakak-kakaknya.