Usaha mikro, kecil, dan menengah berupa emping dan keripik dengan bahan baku lokal di Nusa Tenggara Timur terancam bangkrut akibat kelangkaan minyak goreng.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
ENDE, KOMPAS — Kelangkaan dan mahalnya minyak goreng selama lebih dari satu bulan terakhir membuat usaha keripik dan emping berbahan baku lokal di Kabupaten Ende dan Kota Kupang terancam bangkrut. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM terpaksa mencari siasat agar tetap dapat beroperasi di tengah kesulitan mendapatkan minyak goreng. Pemerintah daerah pun diharapkan menggelar operasi pasar murah minyak goreng di beberapa titik.
Pengusaha keripik ”Madani” Ende, Ibrahim Hasan, saat dihubungi, Selasa (12/4/2022), mengatakan, sejak 2012 puhaknya memproduksi keripik singkong, pisang, dan berbagai jenis kue berbahan baku produksi pertanian lokal di Ende. Keripik singkong dari bahan ubi nuabosi sangat diminati konsumen. Bahkan, ubi nuabosi ini dijual sampai ke Kota Kupang dan sejumlah kabupaten di daratan Pulau Flores.
”Usaha ini benar-benar terancam. Sebelum minyak goreng langka dan mahal, usaha ini diterpa pandemi Covid-19 sehingga saya mengurangi 40 karyawan dari total 80 karyawan. Saatminyak goreng langka, saya kurangi lagi menjadi 20 karyawan saja. Sebanyak 60 karyawan yang dirumahkan itu akan saya panggil lagi jika pasokan minyak goreng normal dan harga menurun di pasaran,” kata Ibrahim.
Dia menjelaskan, produksi keripik sebelum pandemi Covid-19 sebanyak 2 ton per hari, setelah pandemi Covid-19 menurun menjadi 1 ton. Saat ini hanya tersisa 500 kilogram setelah minyak goreng langka di pasaran. Keripik singkong itu diolah dalam 11 jenis rasa yang berbeda. Selain itu, ia juga memproduksi keripik pisang.
Karena produksi yang semakin minim itu, pelanggan yang selama ini memesan rutin produksi ”Madani” dari Bajawa, Labuan Bajo, Maumere, Larantuka, Sabu, dan Kota Kupang tidak dapat terlayani lagi kecuali pelanggan di Ende dan Mbay. Sebelum pandemi Covid-19, hampir 70 persen produksi makanan ringan ”Madani” terjual di daratan Flores.
”Dulu wisatawan yang berkunjung ke Danau Kelimutu, Patung Bung Karno, dan obyek wisata lain di Ende tidak luput berbelanja kerupuk produksi di sini. Mereka datang langsung ke lokasi pengolahan, menyaksikan proses pengolahan, mengambil gambar, dan belanja. Saat ini pun ada wisatawan yang datang, tetapi tidak leluasa berbelanja seperti dulu. Pembelian dibatasi, yakni 1-2 kantong keripik saja,” kata Ibrahim.
Minyak goreng kemasan mulai dijual di pasar, tetapi harganya masih tinggi. Untuk merek Bimoli, misanya, dijual dengan harga Rp 75.000 per 2 liter, sedangkan merek-merek lain dijual dengan harga Rp 37.000–Rp 50.000 per 2 liter. Adapun minyak goreng curah tidak lagi dijual di pasar-pasar tradisional di NTT.
Meski minyak goreng mahal, Ibrahim mengaku tetap mengutamakan kebersihan dan kesehatan produksi ”Madani”. Minyak goreng itu hanya dipakai dua kali menggoreng, setelah itu disisihkan. ”Kalau ada yang menggoreng berkali-kali dengan minyak goreng yang sama, saya tidak seperti itu,” kata Ibrahim.
Pengusaha emping jagung dengan merek ”Sukiran” di Kelurahan Sikumana, Kota Kupang, Samuel Santoso, mengatakan, sejak dua bulan terakhir pihaknya mengurangi produksi dari 100 kg per hari menjadi 50 kg per hari. Banyak masalah terkait dengan usaha emping jagung ini, mulai dari bahan baku jagung, ancaman pandemi Covid-19, dan minyak goreng yang langka di pasaran.
Sebelum pandemi, emping jagung ”Sukiran” masuk ke sejumlah swalayan dan pusat perbelanjaan di Kupang, bahkan sampai ke Timor Leste. Kini, ia hanya memproduksi untuk melayani kebutuhan tokonya di Kota Kupang.
”Saya tidak lagi memasang target, yang penting masih beraktivitas. Saat ini mencari minyak goreng harga murah tidak ada lagi. Semua pasar tradisional, toko, dan swalayan yang selama ini dengan mudah kita dapatkan minyak goreng, sekarang sangat sulit. Kalaupun ada, harganya melambung sampai Rp 75.000 per 2 liter,” kata Santoso.
Data dari Bank Indonesia Cabang NTT menyebutkan, jumlah UMKM di NTT sebanyak 400.000 unit tersebar di 22 kabupaten/kota. Sebanyak 20.000 UMKM sudah menjual produk mereka secara daring, sementara 3.80.000 usaha lain masih menjual secara luring.
Anggota DPRD NTT, Viktor Mado, mengatakan, pemprov, pemkot, dan pemkab sebaiknya melakukan operasi pasar minyak goreng di beberapa titik. Ini untuk menekan harga minyak goreng yang masih tinggi di pasaran. Bantuan langsung tunai atau BLT dari pemerintah tidak menjangkau semua lapisan masyarakat sehingga operasi pasar diprioritaskan bagi warga miskin, terutama pelaku UMKM yang tidak kebagian BLT.
”Anggaran daerah memang terbatas, tetapi pemda bisa bekerja sama dengan Bulog untuk operasi pasar di tengah situasi seperti ini. Dulu harga beras pun terus bergerak naik, tetapi setelah digelar operasi pasar rutin, harga beras sekarang relatif stabil,” katanya.