Ponirin Meka Berpulang, ”Si Tangan Emas” Legenda Kiper Indonesia
Ponirin Meka menjadi bintang pada final Persib Bandung versus PSMS Medan pada 1983. Ia mengantar PSMS jadi juara setelah menepis dua tendangan adu penalti dramatis. Ia juga membawa timnas ke semifinal Asian Games 1986.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Ponirin Meka menjadi bintang besar pada laga final Persib Bandung versus PSMS Medan pada Divisi Utama PSSI 1983. Ia mengantarkan PSMS menjadi juara setelah menepis dua tendangan adu penalti yang sangat dramatis. Ia lalu membawa tim nasional ke semifinal Asian Games 1986 dan menjuarai SEA Games 1987.
Ponirin kembali membawa PSMS Medan menjadi juara liga nasional paling bergengsi pada 1985. Seperti mengulang sejarah, PSMS menang dalam laga adu penalti melawan Persib. Laga itu sekaligus menjadi pertandingan dengan penonton terbesar sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, yakni 150.000 orang.
Ponirin membawa kebahagiaan selama berhari-hari untuk Sumut. Banyak anak-anak yang lahir di masa-masa itu diberi nama Ponirin.
”Ponirin membawa kebahagiaan selama berhari-hari untuk Sumut. Banyak anak-anak yang lahir di masa-masa itu diberi nama Ponirin,” kata Indra Efendi Rangkuti, pemerhati sepak bola Sumatera Utara, mengenang Ponirin, Senin (11/4/2022).
Indra yang juga sahabat Ponirin itu sangat bersedih mendapat kabar dari istri Ponirin. Legenda kiper nasional Indonesia itu meninggal di rumahnya dalam usia 66 tahun di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Minggu (10/4/2022) sekitar pukul 16.30, karena penyakit jantung. Ponirin lahir di Tanjung Morawa, 2 Februari 1956. Setelah pensiun dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Ponirin beternak sapi dan membudidayakan ikan lele di kampung halamannya.
Indra bercerita, Ponirin adalah ”anak kampung” di Kebun Sei Merah, Tanjung Morawa, milik PT London Sumatera. Ia bermain sepak bola dengan menggulung daun pisang hingga menyerupai bola. Pada masa itu, banyak pemain-pemain PSMS Medan yang lahir dan besar dari kampung-kampung di kebun sawit dan karet.
Ponirin muda mengawali karier sepak bola di klub amatir PSSD, klub anggota PSDS Deli Serdang pada 1976. Setahun kemudian, ia dipanggil memperkuat PSDS sebagai kiper utama. Ia kemudian bergabung dengan tim PS Kinantan, Medan Putra, hingga Medan Utara, klub-klub anggota PSMS Medan.
”Kemampuan dan mental Ponirin lalu membuatnya dipanggil sebagai pelapis kiper utama PSMS Medan, Taufik Lubis,” kata Indra.
Pada semifinal turnamen Fatahillah Cup 1982, Pelatih PSMS Herman Tamaela mempercayakan Ponirin menggantikan Taufik Lubis yang cedera. Itu semacam uji mental pertama bagi Ponirin dalam laga nasional. Di semifinal itu, PSMS berhasil menaklukkan Persija Jakarta. ”Ponirin yang tampil gemilang pun membawa PSMS Medan sebagai juara setelah mengalahkan PSIS Semarang di laga final,” kata Indra.
Ponirin pun kemudian dipercaya sebagai kiper utama PSMS menggantikan Taufik Lubis yang mundur. Pertandingan penting dalam perjalanan sepak bola Ponirin adalah laga final PSMS Medan melawan Persib Bandung pada Divisi Utama PSSI, 10 November 1983.
Ketika itu, Persib Bandung dijagokan oleh banyak pihak. Dalam pemberitaan Kompas pada Kamis (10/11/1983) berjudul ”Pasar Taruhan Unggulkan Bandung” disebut, Medan diberikan voor satu. Artinya, kalau Medan kalah dengan skor 1-0 atau 2-1, petaruh yang mengunggulkan Medan akan tetap memenangi taruhan.
Berita lainnya juga menyebut petugas penjual tiket di Stadion Siliwangi Bandung bolak-balik ke Jakarta untuk menambah tiket yang ludes terjual. Menurut Indra, ketika itu 80 persen suporter di Stadion Utama Senayan merupakan pendukung Bandung. ”Ponirin menjadi pemain yang mendapat tekanan paling besar,” kata Indra.
Dalam pertandingan itu, suporter Persib membentangkan spanduk besar bertuliskan ”Ponirah Terpidana”, judul film yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot yang saat itu sangat populer. Ponirah di film itu adalah pembawa sial. ”Bahkan, para suporter Persib berteriak dengan mempelesetkannya menjadi ’Ponirin terpidana’,” kata Indra.
Namun, teriakan itu tidak menjatuhkan mental Ponirin sama sekali. Ponirin menepis paling tidak tiga tendangan ke arah gawang sehingga pertandingan imbang 0-0 pada babak 2 x 45 menit ataupun perpanjangan 2 x 15 menit. Pertandingan pun dilanjutkan dengan adu penalti yang sangat dramatis.
Tendangan kapten Persib Bandung, R Giantoro, menjadi penentu malam itu. Di bawah tekanan 110.000 penonton di Stadion Utama Bandung, Ponirin berhasil menepis tendangan itu. PSMS pun keluar menjadi juara nasional Divisi Utama PSSI setelah mengalahkan Persib dengan skor akhir 3-2, gelar yang sudah tujuh tahun tidak didapat PSMS ketika itu.
Kompas menurunkan tiga berita tentang kemenangan itu, satu di antaranya secara khusus membahas kiper dengan judul ”Salam Khusus Buat Ponirin”. Pembicaraan tentang Ponirin pun berlanjut hingga beberapa hari berikutnya. Berita tentang Ponirin kembali terbit di halaman 1 dan berita utama di halaman olahraga Kompas dengan judul ”Surat dan Wesel Membanjir untuk PSMS Medan”, Senin (14/11/1983).
Surat-surat itu umumnya berupa ucapan selamat dari penggemar sepak bola. Beberapa di antaranya menyelipkan uang Rp 1.000 dan Rp 1.500. Terkumpul juga wesel dari warga dengan total Rp 6,5 juta. ”Suasana batin penggemar sepak bola Sumut ketika itu memang sangat bahagia,” kata Indra.
Pertandingan terbesar
Kekuatan mental Ponirin pun diuji kembali dalam laga final Divisi Utama PSSI 1985. Seperti mengulang sejarah, PSMS kembali berhadapan dengan Persib Bandung di babak final. Pertandingan itu menjadi pertandingan terbesar sepanjang sejarah sepak bola Indonesia dengan penonton lebih dari 150.000 orang.
Kompas (24/2/1985) mencatat, Guinness Book of Record terpaksa harus mengubah rekor pertandingan dengan penonton terbesar. Stadion penuh sesak hingga ke pinggir lapangan. ”Itu merupakan pertandingan dengan penonton terbesar sepanjang sejarah sepak bola Indonesia hingga hari ini. Jadwal pun harus diundur sampai setengah jam untuk menyiagakan aparat keamanan,” kata Indra.
Ponirin pun kembali tampil menjadi bintang besar malam itu. Pertandingan babak normal dan perpanjangan waktu berakhir imbang 2-2.
Dalam berita berjudul ”A Sing-sing So, Medan Juara Lagi!” disebutkan, Medan menang dengan skor akhir 4-3. Dalam drama adu penalti, Persib hanya mampu satu kali membobol gawang Ponirin melalui tendangan Ajat Sudrajat.
Penampilan memukau Ponirin pun membuatnya dipercaya sebagai kiper utama Indonesia di Asian Games 1986 di Seoul. Tim Indonesia melaju hingga semifinal. Indonesia kandas ketika berhadapan dengan tuan rumah.
Pada tahun berikutnya, Ponirin yang kemudian dijuluki ”Si Tangan Emas” memperkuat Indonesia di SEA Games 1987 di Jakarta. Ponirin hanya kebobolan satu gol selama turnamen dan berhasil mengantar Indonesia memperoleh medali emas setelah mengalahkan Malaysia, 1-0, di babak final.
Sunardi B, kapten PSMS Medan pada 1983, mengatakan, kepergian Ponirin adalah kehilangan bagi sepak bola nasional. ”Sebagai kiper, posisinya sangat penting saat bermain di PSMS dan tim nasional. Dia pemain dengan mental yang sangat kuat,” kata Sunardi ketika dihubungi Kompas.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pun hadir langsung dalam pemakaman Ponirin di Tanjung Morawa. Ia menyebutkan, warga Sumut dan sepak bola Indonesia sangat berduka atas kepergian Ponirin Meka.
”
Beliau adalah legenda sepak bola PSMS dan tim nasional,