Reog Diklaim Malaysia, Pemerintah Belum Proaktif Lindungi Warisan Budaya
Pengajuan klaim Malaysia atas reog sebagai warisan budaya tak benda perlu memecut Indonesia agar lebih aktif melindungi seluruh warisan budaya. Pemerintah dinilai belum terlalu peduli pada warisan budaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah didorong lebih banyak melakukan perlindungan hukum terhadap warisan budaya Nusantara. Perlindungan hukum akan menekan risiko klaim seperti Malaysia yang sedang mengajukan reog sebagai warisan budaya kepada UNESCO atau badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
”Indonesia sering menghadapi klaim-klaim seperti ini sehingga perlu menjadi refleksi bersama mengapa sampai ada bangsa lain yang mengklaim warisan budaya milik Indonesia,” kata dosen Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, Puji Karyanto, Senin (11/4/2022).
Malaysia mengajukan reog Ponorogo kepada UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Padahal, reog berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Pengajuan oleh Malaysia, lanjut Puji, perlu menjadi pelajaran penting agar Indonesia tidak abai dengan kekayaan budaya, yakni seni tradisi. ”Jangan-jangan (reog) memang lebih hidup di mereka (Malaysia) daripada di sini,” katanya.
Puji melanjutkan, Indonesia tidak bisa menghindari perkembangan paradigma warga dunia. Saling klaim warisan budaya memaksa bangsa-bangsa perlu aktif mendaftarkan seluruh warisan budaya untuk mendapatkan pengakuan UNESCO. Dengan pengakuan, klaim dari bangsa lain bisa gugur. Namun, Indonesia kurang aktif, apalagi agresif, untuk mendata dan mendaftarkan warisan budaya.
Menurut Puji, klaim dari Malaysia terkait keniscayaan bahwa kebudayaan reog Ponorogo juga berkembang di negeri jiran tersebut. Hal ini tidak bisa dihindari dan diabadikan karena Indonesia dan Malaysia bertetangga serta berada dalam rumpun budaya serupa, yakni Melayu. Di Malaysia, seni budaya reog dilestarikan dan dikembangkan oleh keturunan warga Ponorogo yang menetap dan beranak pinak di sana.
Klaim dari Malaysia terkait keniscayaan bahwa kebudayaan reog ponorogo juga berkembang di negeri jiran tersebut. Hal ini tidak bisa dihindari dan diabadikan karena Indonesia dan Malaysia bertetangga serta berada dalam rumpun budaya serupa, yakni Melayu.
Untuk itu, lanjut Puji, Indonesia juga perlu mendorong generasi muda merasa menghargai dan memiliki warisan budaya. Seniman dan budayawan mesti beradaptasi dan berkembang sehingga warisan tetap menarik untuk dilihat, dipelajari, dan hidup dalam keseharian masyarakat, termasuk generasi muda. Pemerintah disarankan lebih aktif menempuh jalur perlindungan hukum atau legal dengan mendaftarkan warisan-warisan budaya.
Puji menyatakan, reog ialah seni tari dari Ponorogo. Dalam seni tradisi ini ditampilkan jathil, warok, barongan, klono sewandono, dan bujang ganong yang diiringi seperangkat instrumen atau ensambel khas, yakni kendang, kempul, kethuk kenong, slompret, tipung, dan angklung.
Secara terpisah, pengurus Paguyuban Singo Mangku Joyo Surabaya, Yoyok Setiono, mengatakan, sikap Malaysia mengklaim reog sebagai warisan budaya tak benda amat sembrono dan menyakiti perasaan bangsa Indonesia, terutama warga Jatim, khususnya Ponorogo. Yoyok juga jengkel dengan Pemerintah Indonesia karena sebenarnya klaim reog oleh Malaysia sudah diketahui bertahun-tahun lalu. Namun, pemerintah tak kunjung mendaftarkan reog sebagai warisan budaya tak benda Indonesia kepada UNESCO.
Yoyok mengatakan, meski jengkel dan kecewa, ia amat yakin Malaysia tidak akan bisa membuktikan kepada UNESCO bahwa reog merupakan bagian budaya bangsa tersebut. Bukti-bukti otentik keberadaan reog cuma ada di Ponorogo. Namun, klaim Malaysia tidak boleh dianggap enteng, apalagi diabaikan. Klaim bangsa lain menandakan bahwa Indonesia belum terlalu peduli terhadap kekayaan warisan budaya tak benda yang amat banyak.