Belakangan, perang sarung marak terjadi di berbagai wilayah di Jateng. Hal semacam ini berbahaya karena bisa mengakibatkan luka, dan bisa dicegah dengan memperketat pengawasan serta mengedukasi anak.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
Sebelas anak berkalung sarung duduk bersimpuh di hadapan orangtuanya yang sedang duduk di sebuah kursi panjang di lobi Markas Kepolisian Sektor Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (8/4/2022) petang. Diiringi derai air mata, anak-anak berusia belasan tahun itu mencium punggung kaki orangtuanya sambil memohon ampun karena telah membuat keributan.
Seiring anak-anak mereka bersimpuh, para orangtua juga terisak. Beberapa dari mereka berusaha membangunkan anaknya, sebagian lagi langsung memeluk dan mengusap kepala anaknya sambil membisikkan kata-kata nasihat agar mereka tidak mengulangi perbuatannya.
Anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku SMP dan SMA itu diringkus polisi, Jumat pagi. Mereka warga Kelurahan Palebon di Kecamatan Pedurungan dan warga Kelurahan Sendangguwo di Kecamatan Tembalang. Kala ditangkap, mereka sedang saling sabet menggunakan sarung di Jalan Supriyadi, Kecamatan Pedurungan.
Peristiwa itu berawal dari adanya unggahan foto sekelompok remaja di media sosial. Unggahan itu kemudian dikomentari dengan tantangan berkelahi oleh seorang remaja dari kelompok lain. Karena terpancing, mereka sepakat bertemu untuk bertarung.
”Waktu itu, kami sedang kumpul-kumpul habis arawih terus diajak untuk perang sarung lawan kelompok dari Sendangguwo. Senjatanya pakai ini, ujungnya diikat. Lalu, (sarung) disabet-sabetin ke lawan," kata YF (16) sambil menunjukkan sarung yang melingkar di pundaknya.
YF mengaku menyesal telah terlibat dalam kegiatan tersebut. Ia berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Hal itu juga diungkapkan oleh sepuluh anak lain yang kala itu ikut terciduk.
Kepada masyarakat agar mewaspadai hal-hal yang terindikasi tidak baik, apakah pencurian, tawuran, dan hal-hal lain yang meresahkan
”Kami perwakilan dari anak-anak yang terlibat tawuran, dalam kesempatan ini saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat atas perbuatan saya yang telah merugikan orang lain, menganggu ketertiban, keamanan dalam masyarakat. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut,” ujar anak-anak itu serentak.
Seusai mendapatkan pembinaan, sebelas anak itu dikembalikan ke orangtuanya. Raut wajah cemas dari para orangtua yang sejak pagi sudah menunggu anaknya berganti dengan raut wajah penuh kelegaan.
Riana (49), terus-menerus menyalahkan dirinya karena ia melonggarkan pengawasan, hingga anaknya terlibat dalam perang sarung tersebut. Ia berjanji akan mengetatkan pengawasan terhadap anaknya setelah kejadian tersebut. Minimal sampai sebulan ke depan, Riana berencana melarang anaknya keluar rumah, terutama pada malam hari tanpa pengawasannya.
”Anak saya itu biasanya jarang keluar malam, kemarin itu kok ya pas keluar rumah. Saya juga tidak terlalu mengawasi (anak saya) karena sedang fokus merawat bapaknya yang sedang sakit," ucap Riana.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Ajun Komisaris Besar Donny Lumbantoruan mengatakan, peristiwa Jumat pagi tersebut bukan tarung sarung pertama yang terjadi di wilayahnya. Masih dalam pekan yang sama, tepatnya Selasa (5/4/2022), sembilan anak diringkus polisi akibat melakukan kegiatan serupa.
Menurut Donny, perang sarung tergolong sebagai perbuatan melanggar hukum dan dapat diproses secara hukum. Namun, para orangtua yang anak-anaknya terciduk memohon agar perkara tersebut diselesaikan di luar jalur hukum, yakni melalui restorative justice atau keadilan restoratif. Para orangtua dan anak-anak tersebut juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Diisi batu
Tak hanya terjadi di Kota Semarang, perang sarung juga terjadi di sejumlah daerah di kawasan pesisir pantura Jateng lainnya, seperti di Pekalongan, Tegal, dan Pemalang. Di Kabupaten Tegal, misalnya, perang sarung tidak hanya dilakukan dengan sarung yang diikat ujungnya, sarung juga diisi batu kemudian diikat. ”Senjata” jenis ini lebih berbahaya karena bisa melukai orang lain.
Hingga kini, sedikitnya delapan anak diringkus oleh petugas dari Polres Tegal dan diberi pembinaan. Sarung berisi batu yang mereka gunakan untuk tawuran juga disita. Setelah dibina, anak-anak tersebut diserahkan kepada orangtuanya masing-masing.
Peristiwa tersebut membuat Bupati Tegal Umi Azizah prihatin. Umi meminta agar pengawasan dilakukan oleh semua pihak di lingkungannya masing-masing.
”Kepada masyarakat agar mewaspadai hal-hal yang terindikasi tidak baik, apakah pencurian, tawuran, dan hal-hal lain yang meresahkan masyarakat. Para orangtua harus mewaspadai, ini menjadi kewajiban kita untuk melakukan kontrol dan antisipasi segala sesuatu yang menimbulkan keresahan masyarakat," tuturnya.
Kepolisian, baik di Kota Semarang maupun di Tegal, bertekad akan menggencarkan patroli di tempat-tempat rawan dan di jam-jam yang rawan untuk menekan terjadinya tawuran. Masyarakat yang mengetahui akan adanya tawuran atau indikasi tawuran diminta melaporkan ke kepolisian terdekat.
”Patroli siber juga akan kami lakukan karena selama ini tawuran itu bermula dari cekcok di media sosial. Trennya adalah, mereka saling berkomentar di suatu unggahan kemudian ada yang menantang, lalu bertemu untuk tawuran itu. Terkadang, mereka juga merekam bahkan melakukan siaran langsung di media sosial saat sedang tawuran untuk menunjukkan eksistensinya, ini berpotensi dicontoh kelompok lain," kata Donny.
Dihubungi secara terpisah, sosiolog Universitas Negeri Semarang, Fulia Aji Gustaman, menuturkan, tawuran dimungkinkan terjadi karena berbagai faktor, antara lain, faktor internal dan eksternal. Faktor internal biasanya muncul karena tingkat emosional tinggi dan kondisi psikis labil. Sementara itu, faktor eksternal muncul karena ada dorongan dari luar diri, seperti adanya dendam antarkelompok atau saling ejek antarkelompok.
”Secara umum, tawuran dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Karena saat ini momennya Ramadhan, mungkin mereka sedang menggunakan sarung itu untuk berpakaian. Dalam kondisi terdesak, mereka menggunakan sarung itu sebagai alat untuk mempertahankan diri sekaligus melumpuhkan lawannya," kata Aji.
Menurut Aji, pendekatan personal dan edukasi dapat dilakukan untuk mengatasi patologi sosial tersebut. Keluarga, lembaga pendidikan, hingga lembaga agama diharapkan mampu berperan maksimal dalam melakukan dua hal tersebut.
Perilaku menyimpang anak sebenarnya bisa dicegah jika keluarga dan lingkungannya menjalankan perannya dalam menjaga anak. Fenomena ini bisa jadi momentum semua pihak untuk meningkatkan kepekaan kepada orang-orang lain dan lingkungan sekitarnya.