Data dari DP3A Aceh, kekerasan terhadap anak sepanjang 2018-2021 terjadi sebanyak 3.352 kasus. Dari beragam kasus, pelecehan seksual terjadi sebanyak 743 kasus dan pemerkosaan 392 kasus.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Seorang anak berusia 15 tahun di Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, menjadi korban pemerkosaan oleh dua lelaki dewasa. Korban kini hamil delapan bulan. Kasus ini menjadi potret lemahnya perlindungan terhadap anak di Aceh.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Aceh Timur Ajun Komisaris Agusman Nasution, Rabu (6/4/2022), menuturkan, kedua pelaku, yakni IW (60) dan MD (55), ditahan di polres.
Pelaku merupakan tetangga korban. Pelaku membujuk korban dengan memberikan sejumlah uang. Kedua pelaku tidak saling mengetahui telah memerkosa orang yang sama.
Korban adalah anak yatim, sementara ibunya bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Malaysia. Korban tinggal bersama kakaknya yang telah berkeluarga. Korban putus sekolah karena ekonomi lemah.
Agusman mengatakan, korban diperkosa beberapa kali pada Agustus 2021. ”Pelaku memperdaya korban dengan memberikan sejumlah uang,” kata Agusman.
Pada pertengahan Januari 2022, kakak korban melihat perubahan bentuk tubuh pada adiknya. Setelah didesak, korban mengaku telah diperkosa. Hasil test pack menunjukkan korban positif hamil.
Melapor
Kakak korban mengabarkan kasus itu kepada ibunya di Malaysia. Ibunya baru bisa pulang ke Aceh Timur pada Maret 2022. Setelah tiba di kampung, ibu korban langsung melaporkan kasus yang dialami putrinya kepada polisi.
”MD ditangkap Jumat, 25 Maret 2022, malam di sebuah gubuk di kebun sawit dan IW diringkus di sebuah bengkel,” kata Agusman.
Kepala Dinas Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani mengatakan, kasus tersebut sangat mencabik rasa kemanusiaan. Dia berharap pelaku dihukum berat.
Dikatakan, perlindungan anak menjadi tugas bersama. Pihaknya melakukan kampanye pencegahan dan mendampingi korban. Persoalannya, jumlah tenaga psikolog terbatas sehingga pendampingan tidak maksimal.
Kami akan memastikan korban mendapatkan pendampingan hingga setelah melahirkan.
Menurut dia, pencegahan dan penegakan hukum harus diperkuat. Pencegahan dilakukan dengan memaksimalkan peran keluarga dan aparat desa. Sementara untuk memberikan efek jera, hukuman harus diperberat.
Nevi menuturkan, korban merasakan penderitaan yang berat, yaitu diperkosa hingga hamil kemudian dihadapkan pada stigma negatif dari warga. ”Kami akan memastikan korban mendapatkan pendampingan hingga setelah melahirkan,” ujarnya.
Untuk itu, semua kebutuhan medis proses persalinan akan dibantu oleh pemerintah melalui dinas-dinas terkait. Pemerintah juga memfasilitasi hak administrasi anak tersebut.
Disebutkan juga, jika tanggung jawab perlindungan terhadap anak hanya dibebankan kepada pemerintah, pemerintah tidak akan mampu. Sebab, sebagian besar kasus-kasus itu terjadi di ranah privasi dengan pelaku orang-orang terdekat korban.
Dia mencontohkan, ada kasus anak diperkosa oleh paman, ayah tiri, dan ayah kandung. Guru yang dianggap sebagai pengayom juga ada yang menjadi pelaku pelecehan seksual.
”Banyak faktor pemicu, salah satunya karena pelaku sering mengakses konten pornografi melalui telepon. Beberapa kasus, pelaku menggunakan narkoba,” kata Nevi.
Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati mengatakan, kasus kejahatan seksual terus terjadi, tetapi nyaris tidak ada upaya memperkuat perlindungan dan penanganan korban.
Riswati menilai komitmen pemerintah dalam melindungi anak dari kejahatan seksual sangat lemah. ”Alokasi anggaran minim, psikolog kurang, dan hukuman masih lemah,” ujar Riswati.
Di Aceh, pelaku kekerasan seksual pada anak diadili dengan Qanun Hukum Jinayah dengan maksimal hukuman 200 bulan penjara. Qanun tersebut kini sedang dalam proses revisi untuk memperberat hukuman terhadap pelaku.
Data dari DP3A Aceh, kekerasan terhadap anak sepanjang 2018-2021 terjadi sebanyak 3.352 kasus. Dari beragam kasus, pelecehan seksual terjadi sebanyak 743 kasus dan pemerkosaan 392 kasus.