Dengan kapal kayu kecil dan alat tangkap sederhana, nelayan di Natuna turun-temurun menangkap ikan hingga laut lepas. Ombak ganas mereka lawan, tetapi peraturan yang tidak adil menjadi momok.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Di tepi pantai di bawah rimbun nyiur, seorang laki-laki berbadan ceking mengumpat jengkel sambil meninju lunas sebuah kapal kayu yang belum jadi. Sebilah papan di bagian lambung bawah kapal retak karena ia salah memasang pasak.
Ia adalah Zulkifli (51), pembuat kapal kayu atau pompong di pesisir timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau. Siang itu, ia sedang membuat pompong dengan panjang 10 meter (m) pesanan seorang juragan atau tauke dari desa sebelah.
”Butuh (waktu) kira-kira 5 bulan sampai selesai. Ini sudah lebih dari dua bulan,” kata Zul sambil mengelap keringat di dahi, Selasa (29/3/2022).
Meskipun tinggal di pesisir, Zul bukan seorang nelayan. Dulu, ia lebih banyak bekerja di ladang sebagai petani cengkeh. Hanya sesekali ia ke laut dengan perahu dayung untuk menangkap ikan di sekitar pantai.
Namun, Zul sangat suka dan juga terampil bekerja dengan kayu. Oleh karena itu, 15 tahun lalu, ia memberanikan diri saat ada seorang nelayan meminta dibuatkan pompong.
”Sampai sekarang, pompong pertama yang saya buat itu masih dipakai (nelayan) untuk ke laut,” ujarnya tersenyum bangga.
Nelayan yang datang kepada Zul kebanyakan memesan kapal berukuran panjang antara 7 m dan 13 m. Kapal dengan berat 3 gross ton (GT) sampai 7 GT itu dibuat dari kayu-kayu yang tumbuh di hutan Gunung Ranai dekat pesisir timur Pulau Natuna Besar.
Kayu resak dan mengkusing digunakan untuk membuat bagian gading atau rangka kapal. Kayu dengan jenis yang sama juga dipilih untuk bagian lunas kapal. Alasannya, mengkusing dan resak lebih tahan air dibandingkan dengan kayu lain.
”Untuk bagian pompong yang jarang kena air, orang sini biasanya pakai kayu meranti yang harganya lebih murah sedikit,” katanya.
Zul, seperti juga pembuat pompong lain di Natuna, menggunakan kombinasi baut besi dan pasak kayu untuk menyatukan kayu-kayu tersebut. Baut besi untuk menyambung gading kapal. Adapun pasak kayu dipakai untuk merekatkan papan-papan yang membalut gading kapal.
Jurnalis dan penulis Philip Bowring dalam buku Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim mencatat, teknik pasak atau menyatukan papan dengan memasukkan potongan kayu ke dalam lubang telah dikenal pembuat kapal di pantai timur Semenanjung Malaya antara abad ke-3 dan ke-5.
Rustam menuturkan, pompong seperti buatannya biasanya bisa tahan dipakai melaut hingga 15 tahun. Bila dirawat dengan baik, pompong itu bahkan umurnya bisa bertahan hingga dua kali dari angka yang disebut semula.
”Yang penting dua tahun sekali dicat ulang. Lalu, kalau perlu, 5 tahun sekali bisa rehab dengan ganti bagian kayu yang lapuk,” tuturnya.
Nelayan tradisional di Natuna menggunakan pompong untuk menangkap ikan hingga perairan perbatasan di Laut Natuna Utara. Kapal kayu kecil itu mampu bertahan diterpa ganasnya ombak laut lepas.
Salah satu nelayan, Rustam (48), memiliki pompong berukuran 4 GT. Satu kali dalam satu minggu ia berlayar menangkap ikan di perairan yang berjarak lebih dari 100 mil dari garis pantai Pulau Natuna Besar.
Pompong Rustam usianya sudah 5 tahun. Ia menebus kapal itu dalam kondisi bekas satu tahun lalu dengan harga Rp 50 juta dari mertuanya.
”Sudah berkali-kali pompong ini saya pakai ke (perairan) perbatasan, sampai ketemu kapal-kapal asing yang sedang ngambil ikan di laut kita. Tak pernah kapal ini rusak,” kata ayah tiga anak itu, Sabtu (26/3/2022).
Rustam, seperti nelayan lain di Natuna, menggunakan pancing ulur (hand line) untuk menangkap ikan dasar atau demersal. Adapun untuk menangkap ikan di permukaan, para nelayan itu memakai pancing tonda (trolling line).
Dengan pompong kecil dan alat tangkap tradisional itu Rustam setiap hari menangkap ikan di Laut Natuna. Penghasilan sebagai nelayan lumayan, ia bisa membayar cicilan kapal dan juga menyekolahkan tiga anak.
Namun, Rustam kini sedang gundah mendengar rencana pemerintah yang akan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut. Itu adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
Dalam sistem kontrak itu, pemerintah menawarkan kuota penangkapan ikan kepada badan usaha perikanan dalam dan luar negeri minimal 100.000 ton per tahun dengan masa kontrak berlaku 15 tahun dan dapat diperpanjang. Pemerintah berencana menerapkan kebijakan itu di enam zona pada 11 WPP, termasuk di WPP 711 yang mencakup Laut Natuna dan Laut China Selatan.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, pemerintah seharusnya memprioritaskan pemberdayaan nelayan tradisional. Hal itu bisa dimulai dengan meningkatkan armada kapal nelayan dari sebelumnya 3-5 GT menjadi 15-20 GT. Bekali juga nelayan dengan alat yang lebih efektif, tetapi tetap ramah lingkungan, seperti pukat cincin (purse seine) mini, pancing rawai (long line), dan pukat cumi (lift nets).
”Nelayan tradisional Natuna berani berlayar sampai laut lepas hanya dengan modal pompong kecil dan alat tangkap sederhana. Pemerintah harus bantu agar ke depan nelayan lokal dapat lebih berdaya memanfaatkan lautnya,” kata Hendri, Selasa (29/3/2022).