Jambi Diminta Siapkan Larangan Tegas Industri Beli Solar Bersubsidi
Praktik membeli solar bersubsidi oleh 6.000-an angkutan batubara di Jambi harus dihentikan. Pemda diminta segera menerbitkan larangan tegas bagi industri menggunakan solar bersubsidi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jambi tak boleh membiarkan keuangan negara terus dibebani praktik pembelian solar bersubsidi oleh kalangan industri dan tambang batubara. Kebijakan tegas harus segera diterbitkan.
”Kondisi keuangan negara harus diselamatkan. Salah satunya dengan tegas melarang industri dan tambang batubara membeli BBM bersubsidi di SPBU,” ujar Pantun Bukit, pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Jambi, Selasa (5/4/2022).
Demikian pendapat Pantun menyikapi praktik masif pembelian solar bersubsidi di SPBU oleh angkutan hasil tambang batubara. Akibat dari hal itu, lanjut Pantun, masyarakat Jambi telah sangat dirugikan. ”Setiap hari, antrean panjang kendaraan di SPBU dipenuhi truk-truk batubara. Warga yang semestinya berhak membeli solar bersubsidi malah tidak kebagian,” ujarnya.
Hasil pendataan Dinas Perhubungan Provinsi Jambi menunjukkan jumlah angkutan batubara yang beroperasi di wilayah itu lebih dari 6.000 unit. Semua angkutan hasil tambang itu memanfaatkan solar bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya.
Padahal, di tengah kondisi defisit ekonomi, negara masih harus menyubsidi Rp 7.800 per liter solar di SPBU. Itu berarti triliunan rupiah uang negara terkuras hanya untuk menopang kebutuhan bahan bakar industri.
Di sisi lain, harga ekspor batubara terus meningkat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis harga batubara acuan pada April 2022 naik 41,5 persen dari Maret, menjadi 288,4 dollar AS per ton.
Menurut Pantun, dengan perkembangan harga yang sedemikian tingginya, sangat ironis jika investor batubara masih bergantung pada bahan bakar minyak bersubsidi. Belum lagi, investor tambang batubara juga masih bergantung pada jalan-jalan negara.
”Sejak digagas hampir 10 tahun silam, para investor batubara belum juga menyiapkan jalan khusus. Akibatnya, jalan negara kerap rusak karena dilewati ribuan angkutan tambang dengan muatan yang berlebih,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Polda Jambi Inspektur Jenderal Rachmad Wibowo menyebut, dengan hitungan rata-rata angkutan batubara itu membeli 100 liter per truk, diperkirakan aliran subsidi negara yang mengalir bagi angkutan hasil tambang besar itu mencapai Rp 1,26 triliun per tahun. Padahal, kontribusi sektor tambang batubara untuk Provinsi Jambi hanya bernilai Rp 39 miliar. Ketidakseimbangan itu menciptakan beban berat bagi negara dan daerah.
Kepala Biro Ekonomi Provinsi Jambi Johansyah mengatakan, pihaknya telah membuat rancangan aturan larangan bagi angkutan batubara membeli solar bersubsidi. Rancangan itu akan diterbitkan menjadi surat edaran gubernur. ”Drafnya sudah jadi. Saat ini masih disampaikan sekda (sekretaris daerah) untuk diteliti lebih lanjut,” katanya.
Setelah disetujui gubernur, rancangan surat edaran itu akan disosialisasikan terlebih dahulu kepada pada pemegang izin usaha pertambangan. ”Jadi, penerapannya setelah sosialisasi selesai,” ujarnya lagi.
Saat ini, sudah dua provinsi di Sumatera yang menerapkan larangan bagi kalangan industri membeli solar bersubsidi. Gubernur Sumut Edy Rahmayadi telah mengeluarkan surat edaran untuk mengatasi kelangkaan solar bersubsidi.
Dalam Surat Edaran Gubernur Sumut Nomor 541/3268 yang terbit 23 Maret 2022, Edy melarang kendaraan dinas milik instansi pemerintah, TNI, dan Polri menggunakan biosolar bersubsidi, kecuali kendaraan untuk layanan umum, seperti ambulans, mobil pemadam kebakaran, dan kendaraan pengangkut sampah. Begitu pula kendaraan pengangkut hasil perkebunan, pertambangan, dan kehutanan dilarang menggunakan solar bersubsidi. Aturan serupa diterapkan Gubernur Riau.
Kendaraan yang berhak membeli solar bersubsidi juga dibatasi pembeliannya. Kendaraan pribadi maksimal 40 liter per hari, angkutan orang atau barang roda empat maksimal 60 liter per hari, serta roda enam atau lebih 100 liter per hari. Jika solar bersubsidi digunakan dengan peruntukan yang tepat, kelangkaan biosolar diyakini akan teratasi dalam jangka panjang.