Pria di Barito Selatan Cabuli Anak Tiri Berumur 13 Tahun
Kalimantan Tengah masih darurat kekerasan seksual. Kasus demi kasus terus muncul, sementara korban perlu pendampingan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pria berinisial SN di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, mencabuli anak tirinya yang berumur 13 tahun sebanyak tiga kali. Kejahatan itu dilakukan saat ia menjemput korban sepulang sekolah dan di rumah saat istri dan keluarganya terlelap.
Kepala Kepolisian Resor Barito Selatan Ajun Komisaris Besar Yusfandi Usman menjelaskan, pihaknya menangkap SN (35) setelah mendapatkan laporan dari keluarganya. SN diduga mencabuli anak tirinya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak tiga kali.
Yusfandi mengatakan, peristiwa itu terjadi dua kali saat SN menjemput korban sepulang sekolah dan melakukan pencabulan di dalam mobil. Kejadian terakhir dilakukan pelaku di rumah pada malam hari ketika istri dan anggota keluarganya yang lain sedang tidur.
”Pelaku adalah ayah tiri korban, tinggal satu rumah. Kalau dari pengakuan korban, pelaku melakukan pencabulan saat di mobil dan di rumah,” kata Yusfandi saat dihubungi dari Palangkaraya, Kamis (31/3/2022).
Pelaku diduga memaksa korban dan mengancamnya agar tidak melaporkan kejadian itu ke ibunya. Walakin, lanjut Yusfandi, korban membuka suara dan memberi tahu ibu atau istri pelaku, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
Korban, lanjut Yusfandi, juga mengadu ke gurunya yang membantu untuk meyakinkan korban dan keluarga untuk melaporkan kejadian tersebut ke polisi. ”Pelaku saat ini sudah kami tahan dan dalam pemeriksaan mendalam bersama penyidik di Polres Barito Selatan,” katanya.
Yusfandi menjelaskan, korban saat ini mengalami syok dan trauma mendalam atas kejadian tersebut dan enggan ke sekolah. ”Peristiwa itu terjadi pada November tahun lalu, tapi baru dilaporkan saat ini,” katanya. Pelaku dijerat Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling rendah 5 tahun dan paling tinggi 15 tahun.
Sejak tahun 2020, Polda Kalteng menilai Provinsi Kalteng masih dalam kondisi darurat kekerasan seksual karena tingginya angka kasus tersebut. Pelakunya sebagian besar bahkan merupakan orang-orang dekat para korban.
Tahun 2020, Polda Kalteng mencatat, setidaknya terdapat 38 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kalteng. Jumlah itu meningkat di tahun 2021. Subdirektorat IV Remaja, Anak, dan Wanita Polda Kalteng mencatat, tahun 2021 jumlah kasus kekerasan seksual yang ditangani mencapai 85 kasus dan 22 kasus kekerasan fisik.
Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Barat menjadi dua wilayah dengan kasus kekerasan seksual terbanyak sepanjang tahun 2021, yakni masing-masing 11 kasus dan 15 kasus.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, meskipun hanya ayah tiri, seharusnya pelaku merupakan pelindung korban. Namun, perilaku pelaku justru sebaliknya hingga menjadi ancaman keluarganya.
Winda menambahkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan terus bertambah setiap saat di Kalteng. Hal itu membuat Kalteng belum keluar dari situasi darurat kekerasan seksual.
Menurut Winda, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan pelaku yang masuk penjara. Perlu ada banyak tindakan dan upaya untuk kenyamanan hidup korban. Dalam kondisi kasus pencabulan, korban yang masih di bawah umur akan dihantui trauma mendalam yang bisa membekas seumur hidupnya.
Menurut Winda, pendampingan terhadap korban harus dilakukan, bahkan seumur hidupnya. Upaya pendampingan bukan hanya datang dari pemerintah dan penegak hukum, tetapi yang paling utama dari orang terdekatnya. Keluarga perlu menjadi pendamping yang baik dengan memahami betul kondisi korban.
Dalam kasus kekerasan seksual, menurut Winda, pemerintah perlu menyediakan rumah aman yang memiliki fasilitas dan pelayanan kesehatan fisik dan mental bagi para korban. Rumah aman juga mampu menyediakan sarana edukasi untuk keluarga agar menghindari atau mengantisipasi kejadian berulang di masa depan.
”Rumah aman itu penting sekali. Sayangnya, di Kalteng ini hanya ada di Palangkaraya. Kami khawatir korban menjadi sosok yang brutal di masa depannya jika tidak ditangani serius psikologinya,” ujar Winda.