Ubi Nuabosi, Unggulan Petani Ende Terancam Gagal Panen
Hasil pertanian unggulan Kabupaten Ende terancam gagal panen karena tanaman ubi terserang hama jamur yang ada di dalam tanah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
ENDE, KOMPAS — Petani singkong atau ubi nuabosi yang tersebar di tiga desa di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, terancam gagal panen. Umbi membusuk setelah memasuki masa panen. Sejumlah usaha keripik singkong berbahan baku ubi nuabosi di Ende pun terancam berhenti beroperasi.
Keunggulan ubi ini adalah tanpa serat, rasa gurih, dan empunk. Umbi ini menyebar ke sejumlah kabupaten/kota di NTT. Usaha keripik singkong nuabosi pun terancam.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ende, Marianus Alexander, dihubungi di Ende, Selasa (29/3/2022), mengatakan, serangan hama ubi nuabosi Ende ini merupakan pertama kali. Curah hujan melimpah sehingga tanaman singkong atau ubi yang berada di dataran rendah terendam air beberapa hari sehingga menyebabkan jamur.
Jamur tersebut ada di dalam tanah, merusak umbi yang sedang berproses. Jamur terbentuk setelah singkong itu terendam air hujan, maka ancaman gagal panen sangat tinggi.
”Sementara ubi masih sebagai andalan ekonomi para petani Ende, khususnya tiga desa yang membudidayakan ubi jenis ini, yakni Ndetu Ndora, Ndetu Ndora Dua, dan Ndetu Ndora Tiga. Total lahan yang terserang hama jamur ini sekitar 80 hektar,” kata Marianus.
Keunggulan singkong nuabosi ini empuk, tanpa serat, rasa gurih, dan isi umbi berwarna putih. Ubi jenis ini hanya bisa hidup dan berkembang di Ende. Sejumlah peneliti sulit menemukan penyebab keunggulan itu.
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang, misalnya, melakukan penelitian pada 2010 mengenai keunggulan ubi ini, apakah bisa ditanam dan menghasilkan umbi dengan cita rasa yang sama, ternyata tidak. Umbi dengan cita rasa seperti itu hanya bisa didapatkan di tiga desa itu.
Nama nuabosi terkait nama salah satu kampung adat di Desa Ndetu Ndora. Masyarakat tiga desa itu selalu menggelar ritual adat di kampung itu untuk berbagai keperluan, termasuk memohon hasil pertanian melimpah, termasuk ubi nuabosi, warisan leluhur.
Kerugian yang dialami petani sekitar Rp 500 juta-Rp 700 juta per musim tanam. Ubi ini sebagai makanan pokok masyarakat Ende, selain pisang, jagung, dan padi. Tiga desa itu juga penghasil cengkeh dan cokelat. Namun, ubi lebih unggul karena langsung dikonsumsi masyarakat dan produksi jauh lebih banyak dibandingkan tanaman lain.
Selain curah hujan tinggi, lokasi yang sama ditanami ubi berulang-ulang, pola tanam yang tidak sesuai, pemilihan bibit, pengolahan tanah dilakukan secara teratur, sanitasi atau kebersihan kebun, tanam secara bergilir, dan pemupukan.
”Petugas penyuluh lapangan sedang melakukan pendampingan petani terkait budidaya singkong ini,” kata Marianus.
Singkong nuabosi ini juga beredar di Maumere, Sikka, Flores Timur, dan sampai di Kupang. Penjualan nuabosi di Kupang lebih marak ketimbang kabupaten lain di NTT. Sejumlah petani membawa langsung singkong dengan kapal feri dan kapal perintis menuju Kupang dalam jumlah 200 kg-500 kg. Mayoritas masyarakat Ende di Kupang membutuhkan singkong jenis itu. Cara menjaga singkong ini agar tetap awet, yakni dibenamkan di dalam tanah agar tidak mudah rusak.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pulau Bunga Flores, Philipus Kammi, mengatakan, hasil penjualan umbi yang diperoleh setiap kepala keluarga petani di tiga desa itu Rp 30 juta-Rp 50 juta per musim panen. Tahun ini pendapatan petani menurun menjadi Rp 5 juta-Rp 10 juta.
Jika sejak awal tanam, petani langsung mendapatkan bimbingan dari instansi teknis, tentu gangguan hama jamur seperti itu bisa dihindari. Meski lahan itu berada di dataran rendah, perlu dibuat selokan air sehingga saat terjadi banjir, air tidak menggenangi lahan pertanian itu.
Petani singkong Desa Ndentu Ndora, Aurelia Rimbu (45), mengatakan, Sungai Rowo Bere yang berada sekitar 30 meter dari lahan singkong petani, meluber masuk ke lahan pertanian warga. Jika sungai itu dinormalisasi dan dibangun tanggul di sepanjang bantaran sungai, air tidak melimbas ke lahan warga.
”Umbi dari lahan 30 are ini biasanya saya kirim ke Kupang menggunakan kapal feri. Setiap musim panen, sekitar 100 kg umbisaya kirim ke sana. Namun, tahun ini tidak ada pengiriman,” ujarnya.
Gagal panen ubi nuabosi tahun ini berdampak pula terhadap produksi keripik singkong nuabosi yang dijalankan sejumlah pengusaha keripik di Ende. Keripik hasil produksi Ende ini biasanya dijual di daratan Flores, Kupang, Sumba, dan bahkan dikirim ke luar NTT, sepertiSurabaya dan Denpasar
Petugas penyuluh lapangan melakukan pendampingan petani terkait budidaya singkong ini. (Marianus Alexander)
Pengusaha keripiki singkong ”Madani”, Ende dengan bahan baku ubi nuabosi, Ibrahim Hasan, mengatakan, bahan baku ubi nuabosi memang sulit didapat. Namun, ia masih bisa memproduksi keripik pisang dan emping jagung. Hanya, sebagian konsumen masih memesan keripik singkong nuabosi.
Kesulitan mendapatkan minyak goreng ini membuat Ibrahim merumahkan sekitar 40 karyawannya dan mempekerjakan sekitar 20 orang. ”Kalau dulu saya produksi 800 kg keripik, sekarang hanya 200-300 kg keripik. Kesulitan utama, minyak goreng. Kalau ada minyak goreng, mahal berapa pun saya beli, tetapi saat ini kosong sama sekali,” katanya.