Jatuh Bangun Warung Kopi di Pontianak Meniti Pandemi
Warung kopi di Pontianak selain sebagai ruang publik juga menjadi saksi jatuh bangun meniti pandemi Covid-19. Pelaku usaha menghadapi ketidakpastian, bahkan ada yang tutup. Ada pula yang sekadar bertahan.
Warung kopi di Pontianak selain sebagai ruang publik juga menjadi saksi jatuh bangun meniti pandemi Covid-19. Pelaku usaha menghadapi ketidakpastian, bahkan ada yang tutup. Ada pula sekadar bertahan bagi yang memiliki basis konsumen. Kini, geliat warung kopi perlahan kembali.
Deretan sepeda motor berjejer di parkiran sejumlah warung kopi di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (28/3/2022). Kondisi itu terlihat, baik siang maupun malam, terutama di sekitar pusat niaga Jalan Gajah Mada dan Tanjungpura.
Para barista yang pada umumnya menyajikan kopi dengan suguhan nuansa tradisional hingga yang memadukan nuansa tradisional dan modern kini sibuk melayani konsumen. Warung kopi sebagai ruang publik mulai dari hanya sekadar mengobrol ringan hingga serius mulai hidup.
Kondisi itu berbeda saat awal pandemi Covid-19 tahun 2020 dan tahun 2021 ketika kasus Covid-19 melonjak. Warung-warung kopi kala itu hanya terdiri dari barisan meja dan kursi kosong karena pelaksanaan pembatasan. Para pekerja warung kopi duduk dengan tatapan kosong. Saat itu, jika ada konsumen memesan kopi tidak boleh minum di tempat, tetapi dibawa pulang.
Beberapa pelaku usaha warung kopi juga bahkan ada yang menghadap wali kota Pontianak kala itu menyampaikan keluhan mereka. Omzet mereka turun drastis. Bahkan, ada yang menjual perhiasan demi membayar gaji karyawan. Ada juga yang terpaksa mengurangi jumlah karyawan.
Saat ada sedikit kelonggaran, mereka menyusun jarak aman pada kursi dan meja. Bahkan, ada yang memasang plastik pembatas di meja untuk memastikan konsumen aman meskipun jumlah pengunjung tetap berbeda dari sebelum pandemi.
Saat itu, Satgas Covid-19 Pontianak gencar melaksanakan pengawasan protokol kesehatan di sejumlah ruang publik salah satunya warung kopi. Bahkan, tidak jarang dilaksanakan tes usap (PCR) secara acak dan ditemukan ada pengunjung terpapar Covid-19.
Limin (42), pemilik warung kopi Aming Pontianak, mengatakan, saat itu situasi mencekam. Usaha dihadapkan pada ketidakpastian pada 2020 dan 2021. Namun, ia bersyukur masih bisa bertahan. Meskipun ada pembatasan, aktivitas ekonomi tidak ditutup 100 persen.
”Ibaratnya masih ada ruang untuk bernapas. Kebijakan waktu itu juga ada saatnya diperketat, ada saatnya agak dilonggarkan,” ujarnya.
Usahanya masih bisa bertahan karena sudah cukup lama berkecimpung dalam usaha warung kopi sehingga secara jenama atau brand sudah terbentuk. Tradisi usaha kopi dari sang ayah yang diawali dengan produksi kopi bubuk pada tahun 1970-an. Pada tahun 2002, Limin mulai mengembangkan dengan membuka usaha warung kopi. Komunitas atau konsumen tetap sudah terbentuk sehingga memiliki basis konsumen yang kuat.
Dalam situasi pandemi dua tahun lalu, ia tidak melakukan pemutusan hubungan kerja, melainkan efisiensi. Efisiensi yang dilakukan seperti pengurangan jam operasional, jumlah hari kerja diatur kembali dan ekspansi usaha ke berbagai daerah dihentikan.
”Dalam situasi kala itu yang paling realistis adalah yang penting bertahan,” ujarnya.
Omzet harian pada tahun 2020 turun sekitar 90 persen saat konsumen tidak bisa minum di tempat terutama saat PPKM darurat. Pernah juga terlambat tutup dari jam yang seharusnya sehingga pernah mendapat sanksi tidak boleh buka selama beberapa minggu dan tidak ada omzet sementara biaya operasional terus berjalan.
”Saat tes PCR acak, ketika ditemukan ada pengunjung terdeteksi positif Covid-19, warung kopi tutup sekitar seminggu saat itu. Masa-masa itu yang sulit dihadapi,” kata Limin.
Dalam usaha warung kopi tradisional, jika tidak ramai, maka tidak bisa menutupi biaya operasional. Sementara saat pendemi tidak boleh ramai dan harus menjaga jarak sesuai protokol kesehatan. Di satu sisi mendukung pemerintah menekan persebaran Covid-19 melalui penerapan protokol kesehatan, di sisi lain memikirkan bagaimana usaha harus tetap bertahan.
Sejak bergelut dalam bisnis warung kopi, baru kali ini ia mengalami gejolak pasar yang besar. Kini, seiring kasus Covid-19 mulai melandai dan terdapat pelonggaran, perlahan pasar mulai membaik MMeskipun belum bisa menyamai omzet saat sebelum pandemi. Demikian juga dengan Anderi Purnomo (42), pemilik warung kopi Siti. Warung kopi tersebut berdiri sejak tahun 2016. Saat pandemi, terutama periode tahun 2020-2021, omzet turun hingga 90 persen. Bahkan, ia sempat memberhentikan dua karyawan.
Yang paling susah, saat konsumen tidak bisa minum di tempat. Apalagi konsep warung kopi miliknya tidak pesan kopi untuk dibawa pulang, melainkan minum di tempat. Jika pesan secara daring, konsumen kemungkinan merasa rugi.
Baca juga : Revolusi dari Kedai Kopi
Pernah suatu ketika selama dua minggu kala itu hanya boleh pesan kopi, tetapi untuk dibawa pulang. Hasilnya hanya ada satu konsumen yang membeli selama dua minggu. Sebab, ketika pesan secara daring, meskipun harga kopi susu di warung hanya Rp 8.000 per gelas, jika dipesan menggunakan ojek daring bisa menjadi Rp 19.000 karena ada biaya pengendara ojek daring yang ditanggung konsumen.
”Saat itu pendapatan dari warung kopi tidak bisa diharapkan,” ujar Purnomo.
Sebelum pandemi omzet harian sekitar Rp 600.000. Saat pandemi Rp 70.000-Rp 80.000. Bahkan, tidak ada sama sekali. Rekan-rekan dia sesama pengusaha warung kopi ada yang tutup usahanya dan hingga kini belum berani membuka kembali. Saat pandemi tahun 2020 dan 2021 sulit memprediksi pendapatan.
Pada akhir 2021 perlahan mulai bisa bangkit. Namun, varian baru muncul beberapa bulan lalu sehingga masih memerlukan kewaspadaan meskipun sudah lebih baik dibandingkan tahun 2020 dan 2021. Omzet harian beberapa bulan ini sudah bisa Rp 300.000.
Dengan apa yang ia alami selama 2020 dan 2021, membuat dia lebih waspada menatap ke depan. Ke depan ia bisa lebih bersiap untuk menghadapi ketidakpastian. Setelah Covid-19 ke depan tidak menutup kemungkinan ada masalah lain. Ia menyisihkan penghasilan menghadapi ketidakpastian.
Basis konsumen
Basis konsumen warung kopi pada umumnya adalah komunitas, mulai dari komunitas literasi, sepeda, sepeda motor dan film bahkan ada komunitas ibu-ibu arisan. Warung kopi terutama yang jauh dari pusat perniagaan biasanya harus bisa menggandeng komunitas sebagai basis konsumen. Apalagi jika warung kopi terletak pada akses yang agak sulit dijangkau.
Warung kopi semacam ”base camp” komunitas. Ada yang menjadikan warung kopi sebagai tempat diskusi dalam literasi. Komunitas film juga pertemuan kerap di warung kopi. Demikian juga yang berkecimpung dalam bidang desain.
Saat pandemi, aktivitas komunitas di luar redup. Biasanya ada acara nonton bareng film dari komunitas film. Namun, saat pandemi tidak ada karena dikhawatirkan terjadi kerumunan. Ketika tidak ada aktivitas itu, maka pertemuan secara langsung di warung kopi juga sepi.
Warung kopi milik Purnomo lebih banyak menjadi tempat komunitas. Limin, pemilik warung kopi Aming juga mengatakan banyak komunitas terbentuk di warung kopi miliknya. Bahkan, ada yang semula tidak saling mengenal, ketika sering berjumpa di warung kopi menjadi satu komunitas, misalnya bergabung dalam komunitas sepeda.
Menolak nestapa
Pandemi di sisi lainnya juga membuka peluang tak terduga. Sitha (39), pemilik 1O1 Coffee House, mengatakan, pada tahun 2020 kondisi bisnisnya sempat kacau. Ia mulai membuka warung kopi pada tahun 2018. Awalnya ia menyewa ruko di Jalan Gusti Hamzah (lebih dikenal dengan nama daerah Pancasila) selama dua tahun.
Sementara di waktu bersamaan, ia sedang membangun kedai kopi pribadi di daerah Ujung Pandang, Pontianak Kota. Ia tidak memperpanjang sewa ruko dan memutuskan fokus membangun kedai. Apalagi biaya sewa ruko mahal ditambah lagi tidak bisa berjualan karena tutup akibat pandemi. Sementara di sisi lain ia harus menggaji tukang yang sedang membangun kedai kopi.
Ia akhirnya perlahan pindah ke kedai kopi miliknya pada Maret 2020 meskipun kala itu kedai yang dibangun tersebut belum sepenuhnya selesai. ”Namun yang penting bisa tetap jualan dulu,” kata Sitha.
Ia mengatakan kepada karyawannya jika ingin tetap bekerja, untuk makan dan tinggal masih bisa. Namun, ia tidak berani menjanjikan bisa memberi gaji secara penuh. Karyawan pun memahami. Pandemi Covid-19 saat itu mengkhawatirkan masyarakat, para karyawan diminta orangtuanya pulang ke daerah masing-masing.
Kedai kopi milik Sitha akhirnya ia operasikan tanpa memiliki karyawan. Dalam kondisi seperti itu, ia tidak tinggal diam. Maka ia mencari kegiatan agar minimal orang tidak lupa dengan 1O1 Coffee House.
Ia dan rekan-rekan pengusaha warung kopi mengisi kegiatan dengan donasi kopi kepada tenaga medis di rumah sakit. ”Tanpa kami sadari kegiatan itu nge-branding-nya lumayan,” ujar Sitha.
Setelah itu, ia mendapat program dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalbar berupa memberi pelatihan barista. Ia juga mendapatkan tenaga kerja baru dari pelatihan barista tersebut. Dalam program itu ada pelatihan materi dan magang.
Peserta diajari menjadi barista di kedai kopi milik Sitha. Setelah itu, Sitha memberi tahu rekan-rekannya sesama pemilik kedai kopi apakah mau menerima peserta yang telah dilatih tersebut untuk magang di kedai kopi milik rekan-rekannya. Karena sudah dilatih, mereka mau menerima peserta magang.
Anak-anak yang magang tersebut juga tanpa disadari Sitha, ternyata turut mempromosikan biji kopi produksi 1O1 Coffee House. Maka, selain menjadi kedai kopi, 1O1 Coffee House juga menjual bahan baku berupa biji kopi ke kedai-kedai lainnya hingga sekarang.
Beberapa peserta yang dilatih itu juga ada yang bekerja di 1O1 Coffee House. Para peserta lainnya juga ada yang sudah mendapat pekerjaan di kedai lain. Di balik pandemi itu juga menjadi titik balik untuk bangkit, setelah sempat terkena dampak pandemi.
Menurut Sitha, dalam kondisi sesulit apapun tetap harus berusaha dan tidak boleh diam. Persaingan kedai kopi di Pontianak luar biasa. Meskipun demikian, ia tidak menjadikan kedai kopi lainnya saingan, melainkan mitra.
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menuturkan, jumlah usaha warung kopi di Pontianak yang terdata sejauh ini sekitar 800 warung kopi. Kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah (PAD) mendekati 30 persen dari sekitar Rp 75 miliar.
Warung kopi juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sebagai gambaran warung kopi kecil bisa menyerap tenaga kerja 2-5 orang. Untuk kedai kopi besar bisa menyerap tenaga kerja di atas 50 orang.
Pemerintah mendukung usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) termasuk warung kopi di dalamnya dengan menyiapkan infrastruktur yang memadai. Jalan-jalan utama Pontianak dibenahi agar akses pengunjung dari satu lokasi ke lokasi lainnya lancar sehingga pengunjung bisa menjangkau sudut-sudut pusat usaha.
Perkembangan warung kopi tidak terlepas dari Sungai Kapuas di Kalbar yang menjadi jalur transportasi pada masanya. Dari sana lahir tradisi minum kopi di sekitar Pelabuhan Pontianak. Tradisi itu kemudian menyebar ke berbagai sudut Kalbar.
Penulis buku tentang warung kopi, Ahmad Sofian, mengatakan, keberadaan warung kopi di Pontianak ada beberapa fase. Pada awalnya, warung-warung kopi ada di pasar yang kini Pasar Tengah. Hal itu bisa dilihat dari salah satu surat kabar lama tanggal 16 Februari 1924. Bahkan sebelum itu juga bisa dilacak keberadaan warung kopi di pasar tahun 1893.
”Fase pertama ada di sekitar pasar dan pelabuhan,” kata Sofian.
Selanjutnya, ada pergerakan masyarakat dari Pasar Tengah (Kapuas Besar) ke sekitar daerah Jalan Gajah Mada dan Tanjungpura. Penyebaran warung kopi karena perluasan kota. Selain itu kemungkinan karena faktor kebakaran besar di Pasar Tengah tahun 1950-an.
Seiring dengan perkembangan Kota Pontianak berdampak pada pergeseran persebaran masyarakat. Warung kopi bergeser selain di Pasar Tengah juga menyebar ke pasar-pasar lainnya. Bahkan, tahun 2000-an warung kopi menyebar dekat permukiman sehingga mudah menjangkau konsumen.
Selanjutnya, ketika film mengenai kopi meledak, secara penyebaran, bentuk warung dan cara penyajian serta jenis kopi ada perkembangan. Jika dulu disebut warung kopi, kini banyak yang menggunakan istilah coffee shop dengan berbagai sajian yang bervariasi lebih bernuansa modern.
Baca juga : Saat Warung Kopi di Pontianak Merana