Merayakan Hidup di Atas Makam
Apa jadinya jika permakaman menjadi tujuan beberapa komunitas seperti sastra dan penggandrung kuburan? Demikianlah kenyataannya. Pekuburan kini tak hanya menjadi arena bermain anak lantaran minimnya ruang terbuka hijau.
Permakaman lazim dianggap mistis. Namun, di sejumlah lokasi, selain untuk berziarah, orang datang ke permakaman justru menjadi tempat merayakan hidup. Mereka singgah untuk bermain, baca puisi, sampai menyelisik sejarah.
Tempat Pemakaman Umum (TPU) Prumpung, Jakarta, Kamis (24/3/2022), lebih ramai dari biasanya. Lewat tengah hari bolong saja, pedagang kembang dari air mawar sudah berseru-seru menawarkan dagangannya. Saat mentari kian tergelincir ke ufuk barat dan hawa berangsur teduh, tampaklah peziarah yang berdatangan.
Penjaja makanan dengan gerobaknya berimpit di sisi jalan selebar 2 meter. Mereka berbagi jalur dengan pejalan kaki, sepeda motor, bahkan angkutan kota. Warga setempat turut berlalu lalang. Maklum saja, pekuburan itu dikepung permukiman padat.
Zubaidah (50) terlihat memanjatkan doa dengan khusyuk. Warga Jatinegara, Jakarta, itu menziarahi ayah, ibu, mertua, nenek, dan bibinya. Ia dan beberapa familinya bermunajat sekitar 1,5 jam hingga hampir pukul 18.00. Seraya mengobrol, mereka membersihkan makam.
”Lama juga nyekar soalnya lumayan banyak makam yang didatangi. Saya rutin nyekar mendekati bulan puasa. Sebelum dan pas Lebaran juga nyekar,” ujarnya. Zubaidah bertutur di sela jerit kawanan anak yang wira-wiri. Mereka bermain bola, miniatur parasut, sampai petasan.
Zubaidah sudah tak ambil pusing dengan ulah bocah-bocah itu. Di belakang TPU Prumpung, belantara beton menjulang dengan mal, perkantoran, dan apartemen. ”Wajar, namanya juga anak-anak kekurangan tempat bermain. Lapangan enggak ada. Dilarang juga percuma. Saya konsentrasi saja berdoa,” ucapnya.
Suasana remang-remang ditingkahi doa sebelum azan dari pengeras suara masjid. Seorang bapak malah asyik mengajari anaknya bermain layang-layang. Suara bocah-bocah masih riuh rendah meski hari menjelang gelap. Bahkan, kambing-kambing berkeliaran. Luntur sudah keangkeran kuburan-kuburan itu.
Di TPU Karet Bivak, Jakarta, suasananya tak jauh berbeda. Peziarah sudah berjajar di peristirahatan terakhir kerabatnya. Di sana-sini, pembersih makam sibuk menggarap order merawat kuburan. Penjual makanan ringan tak mau ketinggalan mengais rezeki.
Netti Suhaeti (53) merapal ayat-ayat suci di makam ibunya. Selama 1 jam hingga pukul 11.30, ia menyekar bersama keponakan, kakak, dan tiga cucunya. ”Saya enggak cuma datang sebelum Ramadhan dan setelah shalat Idul Fitri. Kalau lagi pengin, nyekar juga,” ucapnya.
Tak jauh dari warga Tanah Abang, Jakarta, itu, beberapa anak bersenda gurau. Kadang, mereka mengaduh hingga berteriak-teriak. ”Kalau secara umum, enggak terganggu. Sedikit, ya, tapi kalau benar-benar niat pasti pikiran enggak teralihkan,” kata Netti.
Di TPU itu, sepasang anak laki-laki asyik bernyanyi dengan nyaring sembari memutar-mutar potongan kayu. Sempat juga mereka mengorek tong sampah. Mulai sore, banyak anak bermain bola, merpati, layangan, atau sekadar berlarian. Permakaman di sela deretan pencakar langit itu juga bersebelahan dengan permukiman.
Di TPU Joglo, Jakarta, Daerudin (62) menyekar ayahnya. Warga Pengadegan, Jakarta, itu tak lama di makam. Ia hendak melanjutkan doa di rumah saja. “Tiap hari udah ngedoain engkong. Waktu (Covid-19) masih tinggi, enggak berani. Kata cucu, makam dikunci,” ujarnya.
Komunitas Sastra
Bukan hanya bocah-bocah yang berhimpun di permakaman. Berbeda dengan mereka yang mengeksplorasi ruang-ruang rekreatif namun bisa dipahami lantaran ketiadaan fasilitas sosial, beberapa komunitas mampir ke pekuburan untuk memenuhi hasrat positifnya.
Yoga Sastra, misalnya, berdeklamasi di makam para pujangga. Baru akhir Januari lalu, klub itu membaca karya-karya Chairil Anwar. Di TPU Karet Bivak, tujuh orang berekspresi lewat 16 puisi, seperti “Aku”, “Karawang Bekasi”, “Doa”, “Diponegoro”, dan “Cerita buat Dien Tamaela”.
Komunitas yang berdiri sejak tahun 2021 itu sebenarnya penggemar yoga dan sastra. Setelah senam, mereka biasa membahas novel, cerpen, atau puisi. “Kami pengin saja baca karya Chairil,” ujar Kurnia Effendi, anggota Yoga Sastra yang kerap disana Kef.
Kebanyakan anggota membaca dua puisi. Budhi Kurniawan paling semangat. Ia hafal di luar kepala dengan membaca enam puisi tanpa buku. Yudhi Widdyantoro menambahkan kisah Chairil yang menyatakan cinta namun bertepuk sebelah tangan. Spontan, kegalauan itu mengundang seruan baper anggota-anggota lain.
Panas terik tak menyurutkan semangat mereka melanggengkan karya-karya sang maestro dengan leluasa saat TPU Karet Bivak masih sepi. ”Kami menyebutnya ziarah sastra. Seolah, kami duduk dekat-dekat bareng Chairil yang tersenyum. Mungkin juga meradang karena kami sempat membahas asmaranya,” kata Kef sambil tertawa.
Gairah Chairil hidup 1.000 tahun lagi sekaligus menunjukkan harapan karya-karyanya juga dikenang hingga satu milenium, bahkan lebih. “Beberapa teman sampai menitikkan air mata. Bangga campur terharu. Seperti bercengkerama saja dengan Chairil,” ucap Kef.
Masih di TPU Karet Bivak, Yoga Sastra juga sempat menyambangi makam Pramoedya Ananta Toer. Mereka menjadwalkan berkunjung ke makam sastrawan lain setiap tiga bulan. Sejumlah nama pun mengemuka, seperti Sapardi Djoko Damono, Hamka, dan Iwan Simatupang.
Yoga Sastra bermula ketika Kef, Aryani Tina S, dan Endah Sulwesi berjalan kaki setiap akhir pekan. Yudhi yang melatih yoga melihat foto mereka lalu bergabung. “Teman-teman lain jadi ikut. Sampai sekarang enggak banyak anggotanya, hanya 13 orang. Supaya tulisan bagus, seniman, kan, harus sehat juga,” ucapnya.
Penggemar kuburan
Sementara Indonesian Graveyard justru menggandrungi permakaman, khususnya untuk mengamati kuburan bersejarah. Komunitas itu umpamanya blusukan ke Kulon Progo, DI Yogyakarta, untuk mendatangi makam Pakualam V hingga IX, pertengahan Maret 2022.
”Permakaman itu dimulai dari tahun 1900. Kami juga melihat empat kuburan warga yang tua, tapi sudah enggak terawat,” kata pendiri Indonesia Graveyard, Ruri Hargiyono. Ia pun asyik memperhatikan kekunoan kuburan itu dari batunya. Makam Kebo Kenanga dari zaman Majapahit bisa pula dihampiri.
“Ada makam spesial karena bentuknya kayu jati bertumpuk-tumpuk. Ukirannya bagus banget dan detail. Belum pernah ketemu seperti itu. Jadi, dibela-belain walau jauh,” ucapnya. Ruri datang bersama tujuh temannya. Mereka sepakat berkumpul lagi saat bulan puasa nanti sekalian ngabuburit.
Indonesia Graveyard berawal ketika Ruri mengikuti aplikasi perbincangan grup penggemar sejarah. Ia kerap mengunjungi tujuan-tujuan historis, termasuk kuburan. “Jadi suka nisan tua karena enggak cuma pergi, tapi saya bisa menelusuri sejarah, tradisi, sampai kultur. Tahu gaya nisan juga,” ujar Ruri.
Ia dan Deni Priya mendirikan Indonesia Graveyard pada tahun 2017. Media sosial Indonesia Graveyard lambat laun diikuti banyak warganet. Ruri malah bingung saat mereka ingin ikut ke permakaman, bahkan diminta menggelar wisata berbayar (open trip). “Ibaratnya, itu rumah orang. Kalau kebanyakan tamu, sopan enggak, sih. Makanya, anggota Indonesia Graveyard sampai sekarang cuma delapan orang,” ujarnya.
Ia tak pelit berbagi informasi jika netizen hendak ke permakaman. Ruri pun sangat gembira jika ditandai di medsos dalam unggahan mengenai kunjungan ke pekuburan. “Ada yang kasih tahu, mereka sengaja ke kuburan buat Indonesia Graveyard. Waduh, saya langsung terbang ke langit ketujuh,” katanya sembari tersenyum.
Setiap tiga pekan, ia bisa mengunjungi empat permakaman sekaligus, masing-masing berisi hingga 1.000 kuburan. Ruri juga pernah diminta membantu warga Australia dan Inggris. “Mereka mencari makam leluhurnya. Sudah dicari, tapi enggak ketemu,” katanya.
Konsultan Independen Program Pembangunan PBB Paramita Iswari menganggap keterbatasan fasilitas sosial sudah menjadi realitas di kota-kota besar. “Permukiman mepet. Jalan sudah seperti gang senggol dan RTH (ruang terbuka hijau) jadi minim. Pantas saja anak-anak nongkrong di kuburan,” ucapnya.
Sebagian warga juga mengalihkan tujuannya ke lahan negara meski sudah dipagar. Paramita meminta perencanaan kota seimbang sehingga tak hanya berorientasi ekonomi. “Perhatikan humanisme juga. Sering, atas nama pembangunan, yang lain dikalahkan,” ujarnya.
Begitulah, orang datang ke permakaman bukan lagi melulu untuk berduka. Adakalanya justru untuk merayakan hidup. Mari kita coba mengenang yang mati dengan rasa optimistis karena bisa jadi mereka juga bahagia di sana.