Usahawan di Sumbar Dorong Pengawasan Distribusi Biosolar dan Penambahan Kuota
Kelangkaan solar bersubsidi memicu tersendatnya arus pengiriman barang dan peningkatan biaya operasional di Sumbar. Pemprov Sumbar telah mengajukan penambahan kuota.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pelaku usaha logistik dan bongkar muat di Sumatera Barat mendorong pemerintah dan pemangku kebijakan lain untuk meningkatkan pengawasan distribusi solar bersubsidi dan menambah kuota. Kelangkaan solar bersubsidi memicu tersendatnya arus pengiriman barang dan peningkatan biaya operasional.
Hingga Jumat (25/3/2022), berdasarkan pantauan Kompas, antrean truk angkutan untuk mendapatkan solar bersubsidi di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Padang masih terjadi. Para sopir truk mengeluh menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan biosolar. Para sopir sengaja antre sebelum pasokan biosolar datang karena takut kehabisan.
Ketua Asosiasi Logistik dan ForwarderIndonesia (ALFI) Wilayah Sumbar Isra Dharma Suyandra mengatakan, kelangkaan solar bersubsidi terjadi akibat pengurangan kuota dan itu berdampak signifikan terhadap kegiatan pengiriman barang.
Kelangkaan solar bersubsidi, kata Suyandra, membuat sopir menghabiskan banyak waktu, mulai dari semalaman, sehari-semalam, hingga lebih dari sehari, untuk mendapatkan bahan bakar. Dampaknya, biaya operasional sopir bertambah untuk mengantre.
Selain itu, target ritase dalam sebulan tidak akan tercapai lagi karena keterlambatan pengiriman. Terjadi pula penambahan biaya penumpukan kontainer di pelabuhan akibat lamanya waktu mengantre mendapatkan bahan bakar.
Dampak lain, antrean truk di SPBU yang menjalar hingga ke jalan juga memicu kemacetan. Arus logistik terganggu karena truk terjebak kemacetan di titik-titik antrean tersebut. ”Semua itu memicu distribusi barang terganggu. Pada saatnya kondisi ini akan memicu kenaikan harga barang. Apalagi sekarang hendak masuk bulan Ramadhan,” kata Suyandra, Jumat sore.
Menurut Suyandra, kelangkaan solar bersubsidi ini sebenarnya terjadi setiap tahun, biasanya pada akhir tahun. Namun, tahun ini dampak kelangkaannya lebih terasa dan berlangsung pada awal-awal tahun. Jika kondisi ini berlangsung hingga akhir tahun, sangat memberatkan para pelaku usaha logistik.
Suyandra menyebutkan, saat ini para pelaku usaha logistik sedang menghadapi dilema. Mereka tidak bisa menaikkan harga pengiriman karena solar bersubsidi masih dipasok pemerintah. Namun, fakta di lapangan, biosolar yang sekarang dijual seharga Rp 5.150 per liter itu sulit didapat.
Beralih ke Dexlite, yang harganya Rp 13.250 per liter, lanjutnya, sebenarnya bisa saja dilakukan jika semua pelaku usaha logistik sepakat. Langkah itu lebih gampang dan memberi kepastian berusaha. Walakin, konsekuensinya adalah kenaikan harga barang di tengah masyarakat.
Ia pun berharap pemerintah dan pemangku kebijakan mencarikan jalan keluar. ”Kami berharap kuotanya ditambah. Kelancaran dan ketersediaan solar bersubsidi mesti dijaga. Mesti dipastikan juga itu digunakan oleh pihak yang berhak,” katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Wilayah Sumbar HM Tauhid. Kelangkaan solar bersubsidi membuat arus pengiriman barang tersendat, salah satunya karena antrean pembelian bahan bakar di SPBU.
”Keterlambatan menambah biaya operasional. Biasanya bongkar muat di pelabuhan selesai empat hari, jadi tertunda hingga 6-8 hari. Biaya operasional jadi membengkak,” kata Tauhid.
Tauhid mendorong pemerintah dan pemangku kebijakan lain meningkatkan pengawasan penyaluran solar bersubsidi agar tepat sasaran, tidak bocor ke pembeli dengan jeriken untuk kebutuhan komersial atau mobil mewah.
Selain itu, jika memang pasokan solar bersubsidi tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan, kuotanya mesti ditambah. ”Harus ada evaluasi,” ujarnya.
Pengurangan kuota
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumbar Herry Martinus mengatakan, kelangkaan solar bersubsidi di lapangan memang dipicu oleh berkurangnya kuota. Tahun 2022 ini, kuota solar bersubsidi untuk Sumbar mencapai 417.241 kiloliter. Jumlah tersebut berkurang sekitar 3 persen dibandingkan tahun 2021. Penurunan kuota juga terjadi di provinsi lain karena kondisi keuangan negara.
Dinas bersama Pertamina dan Himpunan Wiraswata Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) sudah melakukan upaya penertiban distribusi mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Bahan bakar jenis tertentu ini tidak boleh digunakan oleh truk dengan jumlah roda lebih dari enam yang mengangkut hasil perkebunan dan pertambangan.
”Surat edaran BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi) hanya membolehkan truk membeli maksimal 200 liter setiap pembelian. Kami melalui Surat Edaran Gubernur Nomor 500 Tahun 2022 menurunkan batas maksimal, hanya boleh membeli 125 liter, supaya tidak terjadi penyimpangan,” ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Herry, pelaksanaan surat edaran itu tidak sesuai harapan sebab hanya ditujukan bagi pengusaha SPBU. Dinas telah berupaya menyosialisasikan ke masyarakat melalui spanduk di SPBU tentang kendaraan yang tidak berhak membeli solar bersubsidi.
Selanjutnya, dinas berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Sumbar mulai menindak secara pidana penyalah guna solar bersubsidi. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumbar sedang menyiapkan spanduk konsekuensi hukum atas penyalahgunaan solar bersubsidi.
Bahan bakar jenis tertentu ini tidak boleh digunakan truk dengan jumlah roda lebih dari enam yang mengangkut hasil perkebunan dan pertambangan.
”Ini upaya terakhir. Jika pelaku masih tidak mengindahkan, kami akan lakukan upaya penegakan hukum. BPH Migas juga mendukung proses tersebut,” ujarnya.
Selain pengawasan, kata Herry, Pemprov juga sudah mengajukan penambahan kuota solar bersubsidi kepada BPH Migas pada 4 Maret lalu. ”Kami mengusulkan penambahan untuk tahun ini menjadi 460.035 kiloliter. Awal tahun kami mengusulkan 525.922 kiloliter, tapi cuma disetujui 417.241 kiloliter. Sekarang kami usulkan lagi penambahan. Kami menunggu jawaban BPH Migas,” ujarnya.
Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Stefanus Satake Bayu Setianto mengatakan, Polda sudah mengadakan rapat koordinasi lintas sektor dengan Dinas ESDM Sumbar. Pertemuan dengan pimpinan Pertamina juga dilakukan. Sejauh ini stok solar bersubsidi memadai.
Untuk pengawasan, kata Satake, Polda Sumbar dan jajaran juga melakukan patroli ke distributor dan SPBU. Ini dilakukan agar solar bersubsidi tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak berhak.
”Sejauh ini belum ada temuan kasus penimbunan. Jika ada, akan kami tindak secara hukum. Kami juga minta masyarakat melapor jika menemukan penyalahgunaan,” ujar Satake.
Ia menambahkan, Polda Sumbar juga bekerja sama dengan pengelola SPBU untuk mengedukasi pihak industri agar tidak ikut menggunakan solar bersubsidi.