Penanganan tengkes di NTT, termasuk penggunaan anggarannya, agar dievaluasi. Bahkan, masih ada organisasi perangkat daerah tidak memahami apa itu tengkes.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi tamparan keras bagi penanganan tengkes yang belum ideal di Nusa Tenggara Timur. Padahal, dana ratusan miliran rupiah sudah digelontorkan untuk menangani masalah ini.
Permasalahan tengkes masih membelit Timor Tengah Selatan. Menurut Studi Status Gizi Indonesia 2021, prevalensi tengkes di sana mencapai 48,3 persen atau yang tertinggi dari 246 kabupaten/kota di 12 provinsi yang menjadi prioritas penanganan. Angka itu lebih dua kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menoleransi pada kisaran 20 persen.
Kondisi itu memperburuk wajah NTT yang kini tercatat sebagai daerah dengan prevalensi tengkes tertinggi nasional. Dari 22 kabupaten/kota, 15 daerah berada di zona merah atau prevalensi di atas 30 persen dan tujuh daerah lainnya di zona kuning atau prevalensi 20-30 persen. Tak ada kabupaten/kota di NTT masuk zona hijau (10-20 persen) atau biru (di bawah 10 persen).
Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda pada Jumat (25/3/2022) mengatakan, kunjungan Presiden adalah tamparan keras bagi penanganan tengkes di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan NTT. Dalam sejumlah kesempatan, Presiden sudah sering mengingatkan penanganan masalah ini.
”Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang sudah dilakukan tim pencegahan dan penanganan stunting di NTT selama ini? Padahal, untuk hal ini digelontorkan uang hingga lebih dari Rp 100 miliar,” kata Vinsen. Sejak tahun 2019, anggaran untuk penanganan tengkes di NTT sekitar Rp 165 miliar.
Vinsen mendorong Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat untuk mengevaluasi penanganan tengkes di NTT. Menurut dia, penanganan tengkes selama ini lebih fokus pada pemberian makanan tambahan. Aspek pencegahan, seperti edukasi kepada calon pengantin hingga deteksi dini ibu hamil, belum ideal.
Ketua Kelompok Kerja Percepatan Penanganan dan Pencegahan Stunting Provinsi NTT Sarah Lery Mboeik mengatakan, pihaknya sudah mendesain berbagai program kerja untuk penanganan tengkes. Program itu terintegrasi di sejumlah dinas sesuai tugas dan fungsinya. ”Namun, banyak OPD (organisasi perangkat daerah) belum bekerja maksimal. Ada OPD yang tidak paham apa itu stunting,” ujarnya.
Sarah juga menekankan, penanganan tengkes tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tokoh masyarakat, adat, dan tokoh agama. Menurut dia, dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk berperan aktif. Dengan begitu, target penurunan angka tengkes di NTT pada 2024, menjadi 10 persen, dapat tercapai. Terkait penggunaan anggaran penanganan tengkes, Sarah mengatakan, pihaknya tidak langsung mengelola anggaran tersebut. Anggaran dikelola setiap OPD sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Seperti contoh, anggaran untuk pengadaan air bersih menjadi tanggung jawab dinas pekerjaan umum atau penanganan ibu hamil menjadi ranah dinas kesehatan.
Sebelumnya, saat berkunjung ke Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Timor Tengah Selatan, Presiden menyampaikan, sumber daya manusia sangat menentukan maju tidaknya sebuah negara. Tanpa kerja terpadu dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi, pemerintah pusat, dan seluruh masyarakat, target penurunan tengkes sulit diraih.”Saya kira kalau intervensinya terpadu, termasuk urusan air di NTT yang bukan perkara mudah juga dikerjakan terpadu, semuanya akan membuat target 14 persen tercapai,” kata Presiden. Angka 14 persen itu adalah target nasional pada tahun 2024 (Kompas, 25/3/2022).