Penyandang Disabilitas di Cirebon Melawan Stigma dengan Berkarya
Hidup di tengah keterbatasan fisik sempat membuat penyandang disabilitas di Cirebon terpuruk. Kini mereka bangkit, membuktikan diri setara bukan hanya angan-angan. Namun, keberpihakan pemerintah masih terus ditunggu.
Seorang warga lanjut usia yang juga penyandang disabilitas mengeluh kepada ketua rukun warga tentang akses layanan kesehatan. Alih-alih membantu, Ibu RW itu menanyakan kartu tanda penduduk si lansia dengan nada tinggi. Pria sepuh itu hanya diam, menggelengkan kepala.
Jangankan ke kantor dinas kependudukan dan pencatatan sipil, berjalan ke luar rumah saja ia tak kuasa. Merasa iba, Ibu RW lalu menyampaikan aspirasi si penyandang disabilitas kepada kepala desa setempat. Tokoh masyarakat pun mengusulkan musyawarah desa (musdes).
Dalam pertemuan itu terungkap, jumlah penyandang disabilitas di desa mencapai 70 orang dan 200 lansia. Kepala desa berjanji mendata kelompok rentan itu dan melaporkannya kepada dinas sosial agar mendapatkan bantuan. Namun, berganti pekan, bantuan itu tak kunjung datang.
Kalau kita tidak merangkul warga disabilitas, siapa lagi? Isu disabilitas ini isu bersama. (Ulya)
Akhirnya sejumlah warga mengadu kepada bupati. ”Ini sudah dirapatkan di desa belum? Datanya valid belum?” tanya bupati melempar laporan warga ke pemerintah desa. Bupati juga meminta warga berkoordinasi dengan dinsos yang membidangi hal itu, bukan ke kepala daerah langsung.
”Kurang valid apa lagi, Pak? Ini warganya dibawa ke sini. Kalau (pengaduannya) dilempar begini, nanti lansianya mati duluan,” ucap Bu RW kecewa. Sayangnya, pertemuan itu tak membuahkan hasil. Dinsos juga tidak memberi kepastian soal tindak lanjut pengaduan warga.
Baca juga : Popon Siti Latipah, Pembuka Pintu Kesetaraan
Peristiwa itu tidak nyata, tetapi merupakan permainan peran (role playing) dalam rangkaian pelatihan terkait modul disabilitas dan lansia. Kegiatan itu digelar Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Kamis-Sabtu (10-12/3/2022), di Kota Cirebon, Jawa Barat.
Acara yang didukung oleh Pemerintah Jepang melalui United Nation Population Fund (UNFPA) ini juga berlangsung di Yogyakarta, Situbondo, Bekasi, dan Kupang. Terdapat sekitar 20 peserta untuk setiap wilayah. Peserta adalah penyandang disabilitas, anggota lembaga, dan pegiat desa.
Pelatihan berisi soal kesetaraan dan keadilan jender, advokasi masyarakat rentan, hingga perencanaan serta penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas dan lansia. Ada yang mengusulkan pelatihan menjahit hingga rumah aman. Acaranya santai dan diselingi candaan.
Misalnya, saat satu kelompok salah menuliskan reformulasi menjadi reformasi. Padahal, mereka tengah membahas cara membuat formula anggaran desa untuk penyandang disabilitas. ”Kok reformasi? Mau kembali ke Orde Baru? Tiga periode?” ucap salah satu peserta yang diikuti tawa peserta lainnya.
Baca juga : Dago hingga Pasupati, dari Kursi Roda sampai Kekayaan Maritim Nusantara
Di balik keceriaan itu, kekhawatiran tetap menghampiri mereka. Rusdin (37), misalnya, menganggap permainan peran itu sebagai fakta. ”Kenyataannya, (penyandang) disabilitas enggak pernah dilibatkan dalam musdes. Padahal, disabilitas yang paling tahu kebutuhannya,” ujarnya.
Akibatnya, penyandang disabilitas sulit mengakses program pemerintah. ”Saya sama ibu yang sudah lansia dan stroke saja enggak dapat bantuan sosial Covid-19. Kami sudah didata sama desa, tapi bansosnya belum dapat. Katanya sih dari pusat,” kata Rusdin yang pakai kaki kanan palsu.
Rusdin terlahir normal. Namun, sejak kelas 4 SD, warga Losari, Cirebon, ini terserang kusta. Perlahan, penyakit itu melemahkan otot-ototnya. Jari tangannya tak lagi selaras atau disebut keriting. Sejumlah orang menstigmanya menderita kutukan berbahaya.
Tamat SMP, ia terpaksa berhenti sekolah setahun karena harus berobat. ”Saya tidak diterima di lingkungan sekolah. Wali murid enggak mau saya di sana. Saya hanya berangkat sebulan sekali. Lulus SMA saya mengurung diri di rumah sekitar 10 tahun,” kenangnya sambil menunduk.
Ia hanya keluar rumah jika kebutuhan mendesak, seperti berobat. Jaket menutupi tangannya. Ketika tamu datang ke rumahnya, keluarganya memintanya masuk kamar. ”Bahkan, saya sempat menyalahkan Tuhan. Kenapa Tuhan enggak adil? Saya mau bunuh diri tiga kali,” ucapnya.
Rasa percaya dirinya berangsur tumbuh ketika mengikuti pelatihan menjahit yang dilaksanakan Forum Komunikasi Disabilitas Cirebon (FKDC). Di sana, ia berjumpa sejawat. Ada yang tak bisa melihat, mendengar, dan berjalan. Namun, mereka tetap berdaya dengan potensinya.
Rekannya yang berjalan menggunakan tangan, contohnya, mampu membuat taman hidroponik dan membuka warung. Adapun Rusdin kini mengajar di sekolah luar biasa di Losari. Ia juga tengah menjalani semester tujuh pendidikan tinggi di kampus swasta di Brebes, Jawa Tengah.
Ulya (24), peserta lainnya, juga tidak ingin larut dalam stigma orang lain. Sejak usia lima tahun, ia divonis disabilitas fisik. Namun, orangtuanya mendukungnya terus sekolah. ”Nak, meskipun disabilitas, kamu tetap harus lanjut pendidikan,” katanya menirukan pesan almarhum ayahnya.
Mahasiswa di kampus swasta di Kota Cirebon ini percaya, kesenjangan pendidikan menjadikan penyandang disabilitas kian rentan. Itu sebabnya, Ulya yang tak lancar bicara dan berjalan ini tak ambil pusing dengan pandangan orang lain. Termasuk sindiran, dia lamban saat naik tangga.
Dekannya bahkan pernah menyarankan agar dia masuk fakultas ekonomi, bukan pendidikan sesuai keinginannya. ”Menurut mereka, aku tidak punya kemampuan mengajar. Mereka melihat fisik aku. Dekan itu melihat aku tidak masuk kriteria guru yang harus banyak gerak,” ungkapnya.
Kini, warga Ligung, Kabupaten Majalengka, itu membuktikan bahwa keterbatasan fisiknya tak menghalanginya berkarya. Ia bergabung dalam Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, hingga kader pengawas partisipatif Bawaslu Kabupaten Cirebon.
”Tahun lalu, aku juga terpilih jadi duta pemuda Kota Cirebon untuk tim riset ADB (Asian Development Bank). Aku juga masuk dalam Jaringan Orang Muda untuk Kerja Layak dan Inklusif,” ungkapnya. Ia turut menyuarakan pentingnya pelatihan karier untuk penyandang disabilitas.
Alasannya, penyandang disabilitas yang lulus SLB kerap dinikahkan atau hanya di rumah. Bersama Umah Cirebon Inklusi, Ulya juga mendampingi sejumlah kelompok disabilitas. Salah satu tugasnya, mendata difabel yang belum punya KTP dan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
”Kalau kita tidak merangkul disabilitas, siapa lagi? Isu disabilitas ini isu bersama,” ujarnya. Ia berharap penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi diberdayakan sesuai potensinya. Terlebih untuk perempuan disabilitas yang menampung stigma berlapis.
Baca juga : Diperkosa, Perempuan Penyandang Disabilitas di Cirebon Butuh Perlindungan
Awal Maret lalu, polisi menangkap seorang kakek berinisial K (64) yang memerkosa perempuan disabilitas berumur 25 tahun. ”Banyak kasus serupa terjadi di Cirebon,” kata Sa’adah, Manajer Program Women Crisis Center Mawar Balqis, lembaga pendampingan perempuan dan anak.
Menurut dia, kasus kekerasan seksual selama ini masih dianggap aib, terlebih untuk penyandang disabilitas. Keluarga enggan melapor karena persoalan akses layanan, ketersediaan juru bahasa, hingga terstigma negatif. Orangtua korban juga kerap disalahkan karena tidak menjaga anaknya.
Ia mendorong seluruh elemen masyarakat melindungi perempuan disabilitas. Keluarga, misalnya, harus sering berkomunikasi dengan anaknya untuk menyampaikan bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh. Lingkungan juga harus saling mengawasi dan mendukung.
Bahrul Fuad, anggota Komnas Perempuan, perlindungan terhadap penyandang disabilitas dapat dimulai dari desa. Selain lingkupnya lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota, desa juga mandiri dalam anggaran dan perencanaan. Setiap desa bisa mengelola lebih dari Rp 1 miliar per tahun.
Akan tetapi, lanjutnya, sebagian besar desa belum mengalokasikan anggaran untuk kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas. Penyebabnya, aparat desa belum punya perspektif inklusif, sitem penganggaran yang kaku, hingga tidak melibatkan kelompok disabilitas dalam perencanaan.
Difabel kerap distigma tidak berpendidikan dan tidak produktif. ”Padahal, itu, kan, asumsi yang tidak berdasar. Teman-teman disabilitas juga punya potensi,” kata doktor sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang beraktivitas dengan kursi roda itu.
Rusdin dan Ulya hanya sedikit contoh dari penyandang disabilitas yang melawan stigma. Mereka membuktikan, difabel juga berhak mengakses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Namun, dibutuhkan dukungan berbagai pihak untuk melindungi posisi disabilitas yang semakin rentan.
Baca juga : Beban Ganda Penyandang Disabilitas demi Dapatkan Vaksinasi