Warga Diharapkan Mengawal Dinamika Pengelolaan Lahan
Deforestasi terus jadi ancaman Pulau Kalimantan. Banyak faktor jadi penyebab, mulai dari alih fungsi lahan ke aktivitas industri hingga program strategis nasional.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Tutupan hutan di Pulau Kalimantan dalam 20 tahun terakhir terus tergerus oleh aktivitas industri hingga program strategis nasional. Mulai dari food estate atau lumbung pangan hingga pemindahan ibu kota negara. Dinamika pengelolaan lahan itu kini dapat dengan mudah dikawal melalui MapBiomas Indonesia, sebuah platform yang menyajikan berbagai data terkait tutupan hutan di Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam kegiatan Diseminasi MapBiomas Indonesia: Dinamika Tutupan Lahan di Kalimantan, yang diselenggarakan Auriga Nusantara bersama beberapa lembaga lingkungan lain di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (24/3/2022).
Hadir sebagai narasumber utama Direktur Auriga Nusantara Timer Manurung, lalu beberapa penanggap, antara lain anggota DPD asal Kalteng, Agustin Teras Narang; peneliti dan pengamat kebijakan lingkungan Fatkhurohman; dosen dari Fakultas Kehutanan Universitas Palangka Raya, Yusuf Aguswan; dan pengendali ekosistem hutan Dinas Kehutanan Kalteng, Iwan Tunuel.
Timer Manurung menjelaskan, pada MapBiomas Indonesia 1.0, deforestasi di Pulau Kalimantan terekam dengan baik. Platform yang digagas oleh Auriga Nusantara bersama sembilan lembaga lingkungan di seluruh Indonesia itu menyajikan 10 kelas tutupan lahan, seperti perkebunan sawit, tambang, dan tambak yang berkorelasi erat dengan kawasan mangrove.
Dari data MapBiomas Indonesia tergambar perubahan tutupan hutan di Pulau Kalimantan selama 20 tahun terakhir. Terjadi penurunan sebanyak 14 persen luas kawasan hutan, baik hutan primer maupun mangrove, di Pulau Kalimantan sejak tahun 2000 hingga 2019. Pada tahun 2000, luas tutupan hutan di Pulau Kalimantan mencapai 34,04 juta hektar, lalu menjadi 29,19 juta hektar pada tahun 2019.
Rinciannya, di Kalimantan Barat luas tutupan hutan pada tahun 2000 mencapai 8,6 juta hektar dan turun menjadi 6,8 juta hektar pada tahun 2019. Sementara di Kalteng, luas tutupan hutan mencapai 10,14 juta hektar dan menjadi 8,23 juta hektar pada tahun 2019.
Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Selatan, yang pada tahun 2000 luas tutupan hutannya mencapai 1,38 juta hektar, lalu menjadi 1,16 juta hektar pada tahun 2019. Di Kalimantan Utara, kawasan hutan pada tahun 2000 mencapai 6,41 juta hektar, lalu pada tahun 2019 tersisa 6,05 juta hektar.
Di Kalimantan Timur, calon wilayah Ibu Kota Negara Nusantara, luas tutupan hutan pada tahun 2000 mencapai 7,91 juta hektar, lalu turun menjadi 7,32 juta hektar pada 2019. Kawasan hutan yang hilang termasuk wilayah mangrove.
Di Pulau Kalimantan, lanjut Timer, setidaknya terdapat tiga kelas tutupan lahan yang membuat perubahan pada tutupan hutan menurun drastis, yakni perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan hutan tanaman industri.
”Apa yang kami harapkan dari membuka data secara radikal ini hingga ke mentah-mentahnya itu adalah lahirnya dialog data untuk pengelolaan lahan lebih baik di Indonesia,” katanya.
Tidak hanya tutupan lahan, dinamika perubahan pada tutupan lahan yang terjadi di suatu daerah juga disediakan pada platform ini. Seperti perubahan pada kawasan hutan menjadi pertanian, lahan terbuka, perumahan, semak belukar, bahkan platform ini mampu merekam aktivitas pertambangan atau lahan terbuka di dalam kawasan hutan.
Dalam diskusi tersebut juga terungkap penurunan tutupan hutan di Pulau Kalimantan tak hanya terjadi karena aktivitas industri ataupun masyarakat, tetapi juga program strategis nasional, seperti lumbung pangan dan pemindahan ibu kota negara ke Kaltim.
Pengendali ekosistem hutan Dinas Kehutanan Kalteng, Iwan Tunuel, mengatakan, pemanfaatan wilayah dan kawasan di Kalteng untuk program strategis nasional, dalam hal ini lumbung pangan, sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, sedangkan Dinas Kehutanan Kalteng hanya memfasilitasi hal-hal teknis lain.
”Hutan ini kita kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, yang dikelola sesuai dengan aturan yang berlaku. Food estate merupakan kebijakan yang kebetulan ada di Kalteng,” kata Iwan.
Pemerhati kebijakan lingkungan Fatkhurohman mengungkapkan, dalam konteks program lumbung pangan, ada begitu banyak data yang digunakan tidak sesuai sehingga membuat pemerintah lebih banyak fokus mengalihkan fungsi kawasan hutan. Salah satunya dengan menggunakan kawasan eks proyek lahan gambut sejuta hektar 25 tahun lalu.
”Begitu banyak peraturan pemerintah yang dibuat terdahulu soal ini (food estate) toh gak digunakan, padahal itu data dan ada. Jadi, begitu banyak data kalau gak bisa memanfaatkannya untuk apa juga,” kata Fatkhurohman.
Selainlumbung pangan, rencana pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara juga menyita perhatian para pemerhati lingkungan. Mereka khawatir lingkungan akan menjadi korban berikutnya meski pemerintah menggadang-gadang menggunakan konsep kota hutan dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Direktur Eksekutif Save Our Borneo Habibi mengungkapkan, deforestasi yang masif sudah menjadi bukit kontradiktif kebijakan pemerintah dari zaman ke zaman. Semangat pemerintah untuk menghutankan kembali wilayah yang rusak di kawasan IKN seharusnya menular hingga ke seluruh Pulau Kalimantan.
”Perlu lebih dari sekadar semangat untuk memperbaiki kawasan hutan yang rusak. IKN diharapkan menjadi solusi untuk kawasan yang rusak itu, tak hanya di Kaltim, tetapi di seluruh Pulau Kalimantan,” ucap Habibi.
Melihat hal itu, Agustin Teras Narang menilai, MapBiomas Indonesia merupakan lompatan awal untuk menuju pemerintahan digital yang saat ini terus dikembangkan.
Melalui peta digital berbasis citra satelit ini, kita dapat memantau perkembangan suatu area dari masa ke masa, termasuk melihat bagaimana kondisi hutan terus berubah sebagai imbas pembangunan. Baik berubah menjadi perkebunan maupun area penggunaan lain.
”Ini merupakan suatu lompatan besar atau quantum leap yang cukup positif dalam konteks penyajian data. Sebab, selama ini kita memiliki kendala terkait data. Kehadiran MapBiomas diharapkan akan dapat membantu ketersediaan data dalam pengawalan kebijakan publik,” katanya.
Teras menambahkan, pada momen yang sama, DPD tengah mendorong Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Digital menuju era Governance 3.0 atau bahkan Governance 4.0. ”Dengan kehadiran IKN di Kalimantan, akan hadir tantangan dan peluang. MapBiomas akan membantu masyarakat, khususnya lembaga swadaya masyarakat, dalam mengawal pembangunan,” ujarnya.