Media sosial telah tumbuh dan berkembang menjadi ruang publik yang kerap dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebarluaskan paham radikal. Diperlukan literasi digital untuk menangkal paham radikal dan terorisme.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Media sosial yang telah tumbuh dan berkembang menjadi ruang publik kerap dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebarluaskan radikalisme pada generasi muda. Literasi digital menjadi keharusan untuk menangkal paham radikal dan terorisme agar jangan sampai anak-anak muda terhanyut di dalamnya.
Hal itu mengemuka dalam dialog kebangsaan dengan tema ”Merawat Keberagaman Menangkal Radikal Terorisme Menuju Indonesia Harmoni”, yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Warung NKRI, Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (22/3/2022) sore.
”Literasi digital di dunia maya adalah sebuah tantangan yang tidak mudah. Dan tentunya, ini adalah sebuah ruang publik yang baru. Tidak mungkin menghindarkan para remaja dan anak muda dari media sosial, tetapi mereka harus bisa memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan informasi yang positif,” kata Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar.
Menurut Boy, anak muda harus bertabayun atau meminta arahan dari para ulama dan guru agama apabila mendapatkan informasi yang berkaitan dengan narasi agama di media sosial. Informasi yang didapatkan jangan ditelan sendiri.
”Kalau didiamkan sendiri bisa-bisa seperti Zakiah Aini (ZA), perempuan muda berusia 26 tahun yang masuk ke halaman Markas Besar Polri dan menodongkan senjata. Pada dirinya terjadi proses radikalisasi karena sering mengakses media sosial,” ucapnya.
Teror penembakan ZA di Markas Besar Polri terjadi setahun yang lalu, yakni pada 31 Maret 2021. Perempuan muda terduga teroris itu akhirnya tewas ditembak setelah terlebih dahulu menyerang polisi dengan senjata api.
Boy mengatakan, sudah menjadi tugas pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk membangun sebuah peradaban yang baik di dunia maya ataupun media sosial. Sebab, penggunaan media sosial tidak bisa lepas dari akhlak orang-orang yang memanfaatkannya walaupun media sosial sudah diatur secara hukum.
”Sebagian anak bangsa (mereka) telah dibawa ke jalan yang keliru. Pada akhirnya mereka semua mengalami kondisi yang menyedihkan. Maka, perlu upaya bersama untuk mencegah radikalisme dan terorisme,” ujarnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Banjarmasin Ahmad Khairuddin menuturkan, saat ini semangat berkeislaman atau semangat belajar agama Islam semakin meningkat. Bahkan, antusiasme belajar agama Islam sekarang ini sangat tinggi. Namun, pemahaman setiap orang pada Islam bisa berbeda-beda.
”Kadang-kadang pemahamannya beragam,” kata Ahmad. Ada yang paling ekstrem kiri, ekstrem kanan, bahkan ada yang sangat radikal. Semua penuh dengan proganda-progandanya masing-masing,
Menurut Khairuddin, orang yang belajar agama Islam harus memahami karakteristik Islam dan menyadari bahwa Al Quran adalah panduan bagi umat Islam. Namun, tidak semua yang tertulis di dalam Al Quran itu jelas sehingga perlu ada tokoh agama yang menjelaskannya. ”Agama itu ada di tengah-tengah, jangan sampai mengajak sesuatu yang berlebihan,” ujarnya.
Jangan memahami ayat-ayat suci hanya sepotong-sepotong atau dengan maksud, tendensi, atau kepentingan tertentu. (Adam Noor Syarkawi)
Menyeluruh
Menurut Adam Noor Syarkawi, salah satu tokoh Islam di Kalsel, orang perlu belajar pada guru agama yang benar, yang membawa pada kebaikan dan keselamatan. ”Hendaklah belajar secara keseluruhan. Jangan memahami ayat-ayat suci hanya sepotong-sepotong atau dengan maksud, tendensi, atau kepentingan tertentu,” katanya.
Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik Pemprov Kalsel Sulkan, saat membacakan sambutan tertulis Gubernur Kalsel Sahbirin Noor, mengingatkan, hal yang patut diwaspadai dari gerakan terorisme adalah pengaruhnya yang dapat menginspirasi siapa pun untuk melakukan kekerasan dan aksi teror di mana pun berada.
”Penggunaan agama sebagai topeng perjuangan politik kelompok radikal telah berhasil memperdaya dan meracuni pikiran generasi muda, baik dengan iming-iming surga, misi suci, materi, maupun kegagahan di medan perang,” katanya.
Kelompok radikal dan teroris juga cerdas memanfaatkan kekuatan teknologi dan informasi, khususnya media sosial sebagai alat propaganda. Hal itu membuat anak muda begitu mudah bergabung dengan kelompok teroris akibat pengaruh propaganda dan jejaring pertemanan di media sosial.
”Saya mengimbau kepada semua masyarakat, khususnya generasi muda di Banua (Kalsel), untuk meningkatkan kewaspadaan dan membentengi diri dari pengaruh kelompok berpaham radikal,” ucapnya.