Laju Deforestasi Hutan Aceh Tak Terkejar Kemampuan Rehabilitasinya
Laju deforestasi hutan di Aceh mencapai 19.443 hektar pada periode Juni 2020-Juni 2021. Sementara kemampuan merehabilitasi hanya 1.000 hektar per tahun. Pemulihan lahan perlu upaya sangat keras.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sepanjang Juni 2020 hingga Juni 2021, laju deforestasi hutan di Aceh mencapai 19.443 hektar. Sementara kemampuan merehabilitasi hanya 1.000 hektar per tahun. Oleh karena itu, pencegahan deforestasi, penindakan pelaku hingga ke pemodal, dan penyadaran masyarakat pentingnya menjaga hutan harus diperkuat.
Anggota Tim Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Khairul Amri, Selasa (22/3/2022), menuturkan, hasil pengamatan HAkA dalam setahun pada 2020-2021, Aceh telah kehilangan tutupan hutan seluas 19.443 hektar.
”Paling tinggi deforestasi ada di Kabupaten Aceh Tengah. Disusul Aceh Timur dan Aceh Utara,” kata Amri.
Analisis dilakukan menggunakan Google Earth Pro dan citra planet dengan tingkat akurasi mencapai 96 persen.
Amri menuturkan, perambahan dan pembalakan liar menjadi pemicu deforestasi. Titik deforestasi terbesar ada di 21 kabupaten dan kota di Aceh. Deforestasi di dalam kawasan hutan mencapai 52 persen, sedangkan 42 persen berada di luar kawasan hutan.
Sebelumnya, analis Hutan dan Lahan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Krueng Aceh, Ridwan Iriadi, dalam forum Evening Talk dengan tema ”Deforestasi Hutan Aceh, Kita Bisa Apa?”, Senin (21/3/2022), mengatakan, luas lahan kritis di Aceh saat ini mencapai 251.000 hektar. ”Sementara yang sanggup kami rehab dalam setahun hanya 1.000 hektar,” kata Ridwan.
Artinya, laju kerusakan hutan dengan kemampuan merehab tidak sebanding. ”Dengan kerusakan 251.000 hektar, butuh waktu 250 tahun untuk bisa merehab semua dengan catatan tidak ada kerusakan tambahan,” kata Ridwan dalam diskusi yang digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan dan Aceh Green Conservation memperingati Hari Hutan Internasional, 21 Maret itu.
Ridwan mengatakan, sebaran titik lahan kritis berada dalam hutan dan di luar hutan. Titik kerusakan paling banyak di Aceh Tengah. Data dari BPDASHL sekaligus mengonfirmasi data yang dirilis Yayasan HAkA.
Ulama-ulama di akar rumput harus diajak untuk berdakwah tentang lingkungan. (Muhammad Nasir)
Ridwan mengatakan, para pihak harus berkolaborasi untuk mencegah kerusakan dan memulihkan area yang sudah telanjur dirambah. Ridwan khawatir perusakan hutan dapat menimbulkan bencana alam.
”Bentuk geografis lahan adalah pemberian Tuhan. Misalnya, lahan dengan kemiringan jika dipaksa dibuat menjadi datar akan mendatangkan risiko bencana,” ujar Ridwan.
Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nasir mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan kerusakan hutan di Aceh masih masif. Ekonomi warga yang tinggal di kawasan hutan yang masih buruk menjadi alasan bagi warga untuk merambah hutan.
Namun, dalam praktik perambahan hutan, warga akar rumput dimanfaatkan oleh cukong kayu untuk menebang. ”Saat ada penindakan hukum yang ditangkap penebang dan pengangkut, sementara penampung kayu tidak pernah ditindak,” ujar Nasir.
Nasir mengatakan, penegakan hukum harus tegas hingga menyasar pada pemodal. Di sisi lain, warga di sekitar hutan juga harus diberi kesempatan mengelola hutan tanpa merusak fungsi hutan.
Saat ini, pemberian izin kelola hutan dengan skema perhutanan sosial dan hutan desa dianggap menjadi solusi tepat. Warga kini terlibat menjaga hutan dan mendapatkan nilai ekonomi dari hasil hutan bukan kayu.
Selain penindakan pelaku perambahan, gerakan penyadartahuan juga penting. Menurut Nasir, nilai-nilai kearifan lokal atau hukum adat dalam mengelola hutan harus diperkuat kembali. Sanksi sosial melalui hukum adat terkadang memberikan daya kejut lebih kuat daripada hukum formil.
”Kampanye melalui pendekatan agama juga perlu. Ulama-ulama di akar rumput harus diajak untuk berdakwah tentang lingkungan,” kata Nasir.
Staf Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Teuku Rizki Afriandi mengatakan, lahan yang terlanjur dibuka oleh warga dijadikan perhutanan sosial. Pemerintah menghindari konflik dengan warga yang merambah hutan, sebab dapat memicu resisten terhadap pemerintah. Jalan terbaik melibatkan warga mengelola kawasan hutan. Dia berharap pola tersebut dapat mengembalikan fungsi hutan.