Kemitraan Konservasi Jalan Tengah untuk Selesaikan Konflik TNGL Wilayah Langkat
Skema kemitraan konservasi yang memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan secara terbatas terus didorong untuk menyelesaikan konflik di Taman Nasional Gunung Leuser. Skema itu diharapkan jadi solusi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
STABAT, KOMPAS — Skema kemitraan konservasi yang tetap memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan secara terbatas terus didorong untuk menyelesaikan konflik di Taman Nasional Gunung Leuser, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Skema itu diharapkan bisa menjadi solusi menangani konflik yang sudah belasan tahun tanpa solusi.
”Selama ini pendekatan yang diambil untuk menyelesaikan konflik di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah penegakan hukum, tetapi tampaknya tidak menyelesaikan masalah. Skema kemitraan konservasi ini jadi jalan tengah, mudah-mudahan bisa menyelesaian konflik yang sudah belasan tahun terjadi,” kata Pelaksana Tugas Bupati Langkat Syah Afandin, Sabtu (19/3/2022).
Afandin mengatakan, skema kemitraan konservasi kembali dilaksanakan untuk lahan seluas 800 hektar di Desa Pir ADB, Kecamatan Besitang. Lahan itu akan dikelola sejumlah kelompok tani dengan menanam tanaman hutan dan jagung di sela-selanya. Lahan itu diharapkan bisa memberikan fungsi konservasi sekaligus ekonomi bagi warga desa penyangga.
Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi mengatakan, masyarakat didorong untuk memanfaatkan zona rehabilitasi di TNGL sekaligus menjaga hutannya. ”Kawasan ini bisa dimanfaatkan masyarakat, tetapi tidak boleh ada permukiman di kawasan ini,” kata Edy.
Kepala Balai Besar TNGL Ruswanto mengatakan, para petani dari desa penyangga TNGL itu akan bergabung dalam sejumlah kelompok tani. Kelompok tani itu pun akan bermitra dengan PT Daun Agro untuk menanam jagung dan melakukan fungsi konservasi dengan tanaman kehutanan, seperti petai, jengkol, dan durian.
”Kelompok tani yang sudah bergabung dengan TNGL pun akan membuat kesepakatan pengelolaan bersama Balai Besar TNGL,” kata Ruswanto.
Lahan seluas 800 hektar itu berada di zona rehabilitasi Resor Sekoci dan Sei Lepan TNGL. Zona rehabilitasi di resor itu seluas 4.000 hektar. Sebanyak 20 persen dari zona rehabilitasi itu atau sekitar 800 hektar dapat dimanfaatkan untuk kemitraan konservasi. Untuk mendukung fungsi konservasi di kawasan itu, masyarakat pun diminta untuk menebang sawit dan karet yang selama ini ditanam di area TNGL itu dan menggantinya dengan tanaman kehutanan.
”Kami akan terus koordinasi dan membuat kesepakatan. Konsepnya petani bercocok tanam di sini, tetapi tempat tinggalnya di luar. Sawit-sawit yang ada di kawasan ini juga akan dipangkas. Bersama dengan petani, kami akan hijaukan kembali kawasan ini,” kata Ruswanto.
Skema kemitraan koservasi merupakan bagian dari perhutaan sosial. Beberapa tahun belakangan ini Balai Besar TNGL sudah menjalankan skema ini sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik yang sudah terjadi belasan tahun, khususnya di Desa Pir ADB.
Pada September 2018, sebanyak 1.200 hektar zona rehabilitasi TNGL juga didistribusikan kepada kelompok tani di Desa Pir ADB. Masyarakat pun secara sukarela menebang sawit yang sebelumnya mereka tanam di area TNGL itu. Balai Besar TNGL juga berhasil mengambil kembali secara persuasif 75 hektar kawasannya yang telah dirambah selama 15 tahun, di Langkat, pada Februari 2017.
Sebelumnya, pendekatan hukum tidak menyelesaikan konflik. Tahun 2012, pemerintah membongkar perkebunan kelapa sawit dan karet warga di Desa Pir ADB dengan mengerahkan ribuan aparat. Namun, warga melawan dan membakar kantor Resor Sekoci TNGL.
Nina Ginting, warga Desa Pir ADB, mengatakan, mereka menerima solusi yang diberikan pemerintah karena tetap bisa memperoleh penghasilan dari pemanfaatan lahan. ”Kami pun akan lebih tenang karena bisa mengelola kawasan TNGL secara sah,” kata Nina.
Nina mengatakan, mereka akan membongkar tanaman sawit, karet, dan rumah yang ada di zona rehabilitasi TNGL. Mereka hanya akan bertani di zona itu, tetapi tinggal di luar kawasan TNGL. Dengan kemitraan konservasi, mereka tidak bisa hanya mengedepankan pertanian saja, tetapi harus memperhatikan fungsi konservasi kawasan.
Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (OIC) Fransisca Ariantiningsih mengatakan, skema kemitraan konservasi menjadi solusi untuk pemulihan kawasan sekaligus penyelesaian konflik perambahan di TNGL. ”Semoga saja pendekatan yang dilakukan pemerintah ini bisa menjadi solusi ke depan,” kata Fransisca.