Surya, Sahabat Penyu Pantai Maligi
Berhenti menjadi penyelundup satwa dilindungi, Surya (34) berbalik arah menjadi pelindung kehidupan penyu di Pantai Maligi dari kebiasaan warga berburu dan memakan telur penyu.
Tujuh tahun Surya (34) berkecimpung dalam bisnis gelap penyelundupan satwa dilindungi. Namun, pada satu titik, ia sadar dan berbalik arah. Tiga tahun terakhir, ia bersama kawan-kawannya justru berjuang menyelamatkan kehidupan penyu di Pantai Maligi dari kebiasaan warga berburu dan memakan telur penyu.
”Kerja saya dulu menjual satwa dilindungi. Sekarang, saatnya menebus dosa-dosa lama,” kata Surya, ketika dijumpai di rumah sekaligus basecamp Pandah ArtGreen di Pantai Maligi, Jorong Pantai Indah, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Selasa (15/3/2022).
Tempat konservasi penyu yang didirikan Surya berada di Pantai Maligi. Titik itu terbentang sekitar 4 km dari basecamp di selatan hingga ke tempat penetasan penyu di utara. Sekitar 100-200 meter dari bibir pantai terbentang perkebunan kelapa sawit. Ada dua jenis penyu yang rutin bertelur di kawasan pantai ini: penyu lekang dan penyu sisik.
Selasa siang itu, pria yang sekarang menjadi penjual bahan makanan laut (seafood) dan pegiat ekowisata ini sedang beristirahat di rumah. Kegiatan konservasi penyu sedang longgar karena musim penyu bertelur telah lewat pada Desember lalu. Bulan lainnya musim penyu bertelur di pantai ini, yaitu April dan Juli atau Agustus.
Di sela-sela istirahat, Surya berupaya mengingat masa-masa kelam saat menjadi bagian dari jaringan penyelundup satwa dilindungi selama 2009-awal 2017. Pada periode itu, ia pernah tinggal di Riau, Sumbar, dan beberapa provinsi lainnya di Pulau Sumatera.
Menurut Surya, jaringannya menyelundupkan satwa dilindungi dari hutan-hutan di Indonesia, seperti harimau sumatera, cenderawasih, beruang, kucing emas, kuau, dan rangkong badak. Hewan-hewan itu dikirim ke Malaysia dan Thailand melalui jalur laut untuk diteruskan ke Bangladesh, pintu masuk satwa menuju Timur Tengah.
Pada masa itu, Surya beranggapan ia dan jaringannya adalah penyelamat satwa. Mereka membeli satwa hidup-hidup, misalnya harimau, yang terkena jerat babi yang dipasang warga di kebun dalam kawasan hutan. Dalam kebiasaan lama, harimau itu dibunuh, kulit dan tulangnya dijual.
”Pas kami datang, beli hidup saja. Kami pelihara bagaimana ia bisa hidup dan jinak, baru dijual ke orang kaya dan kolektor yang bisa memeliharanya karena hutan bukan tempat aman lagi,” ujar Surya.
Akan tetapi, pada akhirnya Surya menyadari alasan itu sekadar pembenaran. Apa dilakukan tetaplah melanggar hukum. Ia juga merasa uang hasil kejahatan itu tidak berkah, habis untuk berfoya-foya dan membeli narkoba. Masalah demi masalah turut menghampiri. ”Saya merenung. Sudahlah, berhenti. Sudah tidak benar ini,” ujar Surya.
Ia kemudian fokus memulai bisnis bahan makanan laut, seperti kepiting bakau, langkitang, ikan bawal, kerang, dan tiram. Di samping itu, ia bersama kawan-kawan juga membentuk komunitas di bidang pengolahan sampah laut menjadi kerajinan dan belakangan bernama Pandah ArtGreen.
Sahabat penyu
Setelah benar-benar lepas dari jaringan penyelundup satwa, bapak tiga anak ini akhirnya ”bersahabat” dengan penyu. Hal ini bermula atas keprihatinannya melihat kebiasaan warga berburu dan mengonsumsi telur penyu di Pantai Maligi.
”Sebelum konservasi dimulai, setiap musim penyu bertelur, pantai ramai seperti pasar malam. Telurnya diburu dan dimakan,” kata Surya. Atas dasar itu, pada akhir 2018, Surya mengajak kawan-kawannya di komunitas Pandah ArtGreen untuk menyelamatkan penyu di Pantai Maligi.
Langkah awal dimulai dengan membeli telur-telur penyu yang telanjur diambil warga, kemudian menetaskannya di tempat khusus. Surya belajar menangkar penyu dengan bertanya ke pegiat-pegiat lain yang telah lebih dulu memulai kegiatan ini. Selebihnya, ia belajar dari konten-konten video yang beredar di Youtube.
Pada penetasan pertama, kata Surya, ada 230 tukik yang berhasil dirilis. Pelepasan ini disaksikan ratusan orang, baik warga sekitar maupun tamu wisatawan. Momen ini sekaligus menjadi kesempatan kampanye ke masyarakat. ”Warga sangat antusias. Ada yang menceletuk, ‘Ooh, ini yang selama ini kita makan’,” ujar Surya.
Pada tahap selanjutnya, Surya tidak lagi membeli telur penyu dari warga. Ia khawatir hal itu menjadi kebiasaan dan justru membuat telur penyu menjadi komoditas dan semakin dicari. Ia dan kawan-kawan berpacu dengan warga untuk menemukan telur penyu lebih dulu.
Antusiasme masyarakat saat melihat pelepasan tukik menjadi modal bagi Surya melakukan edukasi lebih lanjut. Sosialisasi tentang bahaya memakan telur penyu, yang mengandung logam berat dan dapat memicu keracunan, terus digalakkan. Warga juga diberi pemahaman akan manfaat keberadaan penyu, misalnya untuk ekowisata.
Jalan yang ditempuh Surya dan kawan-kawan bukannya tanpa rintangan. Kegiatan baru itu mengusik segelintir pihak. Sejumlah teror dilancarkan, salah satunya mencampakkan telur-telur penyu dari tempat penetasan.
Menurut Surya, ada semacam kecemburuan sosial karena tempat konservasi itu sering dikunjungi wisatawan dari luar daerah. Apalagi, pria asal Sumatera Utara itu adalah orang sumando (semenda) atau pria yang menikah dengan perempuan setempat di Jorong Pantai Indah.
Walakin, rintangan itu tidak mematahkan semangat Surya. Kegiatan konservasi penyu dan sosialisasi ke masyarakat terus berjalan. Hingga pelepasan terakhir pada Januari lalu sudah 4.300 tukik berhasil dilepasliarkan ke laut.
”Sekarang lebih dari separuh warga berhenti memakan telur penyu. Memang belum bisa 100 persen karena memakan telur penyu sudah jadi budaya. Yang terpenting, eksploitasinya tidak berlebihan,” ujarnya.
Sejak akhir 2020, Surya dan kawan-kawan mulai menerapkan metode penetasan telur penyu di sarang aslinya (in situ). Persentase telur penyu menetas dengan metode in situ sekitar 95 persen, sedangkan di tempat penetasan 70 persen.
Cara ini, kata Surya, diterapkan di lokasi yang dinilai aman, yaitu tidak mencolok dan jauh dari permukiman. Lokasi kemudian disamarkan agar tidak ditemukan warga dan ditandai dengan GPS.
Ekowisata
Kegiatan konservasi penyu di Pantai Maligi dilakukan secara swadaya. Untuk menunjang keberlanjutan kegiatan, pelepasliaran tukik dikemas sebagai salah satu paket ekowisata. Warga dan wisatawan tidak dikenakan tiket, tetapi komunitas membuka keran donasi.
Menurut Surya, kegiatan konservasi penyu membuat Pantai Maligi dikenal banyak orang. Hal ini kemudian menumbuhkan kegiatan berbasis ekowisata lainnya, seperti penanaman bakau dan cemara laut, wisata kuliner, dan wisata memancing.
Sedikit-banyaknya warga sekitar juga mendapatkan tambahan penghasilan dari kunjungan wisatawan. Selain itu, kata Surya, kawasan Pantai Maligi mulai tersentuh oleh program pemerintah, seperti penanaman mangrove dan pembangunan jembatan.
”Warga semakin sadar tentang pentingnya keberadaan penyu ini dijaga. Itu yang menjadi daya tarik orang datang ke sini. Ekowisata bisa jadi tambahan penghasilan di samping aktivitas melaut,” kata Surya.
Surya pun mendorong pemerintah setempat untuk membuat cetak biru pengembangan pariwisata di Pantai Maligi. Menurutnya, kawasan ini mesti tetap dipertahankan dengan konsep ekowisata bagi wisatawan minat khusus, bukan wisatawan massal.
Surya
Lahir: Gunung Bayu, Simalungun, Sumatera Utara, 28 Oktober 1987
Pekerjaan: Pegiat ekowisata; pedagang bahan makanan laut
Alamat: Jorong Pantai Indah, Nagari Persiapan Maligi, Kecamatan Sasak Ranah Pasisia, Pasaman Barat
Organisasi:
- Pendiri dan pembina komunitas Pandah ArtGreen
- Sekretaris Forum Pegiat Wisata Pasaman Barat
Penghargaan:
- Juara Pemuda Pelopor tingkat Pasaman Barat bidang pelestarian sumber daya alam dan pariwisata (2019)
- Juara Pemuda Pelopor tingkat Sumatera Barat bidang pelestarian sumber daya alam dan pariwisata (2019)
- Penghargaan sosok penyelamat penyu dari Dinas Lingkungan Hidup Pasaman Barat (2020)