Transportasi publik di Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya masih belum menarik bagi warga pengguna kendaraan pribadi. Alasannya, tidak ada jadwal yang pasti dan waktu antarbus yang lama
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kualitas angkutan massal di empat kota besar Pulau Jawa, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya jauh lebih baik dibanding angkutan kota konvensional. Namun, pelayanannya masih belum memenuhi impian pengguna sekaligus melawan persepsi buruk para pengguna kendaraan pribadi.
Keberadaan bus rapid transit (BRT) belum mampu menarik warga Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta yang mayoritasnya pengguna sepeda motor pribad. Hasil penghitungan lalu lintas selama satu jam pada ruas jalan di pusat kegiatan masing-masing kota menunjukkan bahwa sepeda motor masih menjadi moda transportasi yang dominan.
Penghitungan di Semarang dilakukan Selasa (1/3); Surabaya, Rabu (2/3); Yogyakarta, Jumat (4/3); dan Bandung, Senin (7/3). Selama satu jam seluruh kendaraan bermotor yang melintasi ruas jalan dihitung jumlahnya. Dari sini, terlihat komposisi sepeda motor berada di atas angka 70 persen dibanding semua moda kendaraan. Semarang (71,7 persen); Bandung (73,4 persen); Yogyakarta (75,4 persen), dan Surabaya (77,7 persen).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 total jumlah sepeda motor di empat kota sebanyak 13,6 juta unit atau naik 6,1 persen dibandingkan tahun 2018. Sementara jumlah mobil di tahun sama 2 juta unit atau naik hingga 8,6 persen.
Kemacetan
Besarnya kendaraan pribadi diyakini menjadi salah satu kontributor utama kemacetan kota. Menggunakan aplikasi Here Maps API, tingkat kemacetan di empat kota dapat dihitung.
Ini dilakukan dengan membandingkan luas cakupan area yang dapat dijangkau dalam waktu 30 menit dari pusat kota saat jam sibuk dan jam lengang. Semakin rendah kecepatan lalu lintas, akan semakin pendek jarak yang ditempuh selama 30 menit perjalanan. Sebaliknya, semakin tinggi kecepatan lalu lintas, jarak yang ditempuh semakin jauh. Jika saat jam sibuk dan lengang, tidak ada perbedaan jarak tempuh selama 30 menit, maka dianggap tidak ada kemacetan di kota itu.
Untuk Surabaya, titik pusatnya ditentukan di Gedung Grahadi, Bandung di Gedung Sate, Semarang di Simpang Lima, sedangkan Yogyakarta di Monumen Tugu. Dari sini terlihat bahwa secara rata-rata empat kota tersebut berkurang kecepatannya di saat jam sibuk sebesar 22-36 persen dibandingkan saat lengang. Pelambatan paling besar dialami Surabaya (36 persen), dari kecepatan 19,7 km per jam menjadi 12,6 km per jam. Diikuti oleh Bandung, dari 19,8 km per jam menjadi 13,4 km per jam. Lalu Semarang dari kecepatan 18,7 km per jam menjadi 13,5 km per jam. Perbedaan paling kecil antara saat jam sibuk dan lengang adalah Yogyakarta; dari kecepatan 22,9 km per jam menjadi 17,8 km per jam.
Belum puas
Namun, dengan kondisi kemacetan ini, kualitas angkutan umum yang tersedia belum memuaskan warga empat kota. Warga masih mengeluhkan jumlah armada, headway atau jarak waktu antartransportasi massal, integrasi dan konektivitas.
Bagi warga pengguna kendaraan pribadi, seperti Arini (28) warga Yogyakarta, hal yang paling mengganjal adalah jadwal bus yang tak jelas dan waktu tunggu yang terasa lama. Dengan jadwal bus yang jelas, calon penumpang bisa mengetahui kapan bus akan tiba, bukan sekadar menunggu tanpa kepastian.
Kondisi Trans Jogja saat ini tidak memiliki jadwal pasti. Waktu tunggu antarbus atau headway masih dianggap Arini terlalu lama. Jaringan layanan bus dan jumlah halte yang kurang dirasa membuat Arini tidak mudah untuk mencapai seluruh pusat kegiatan di kota.
Kombinasi dari seluruh problem tersebut membuatnya masih memilih menggunakan sepeda motor. “Di Yogyakarta kemana-mana lebih cepat naik motor dari pada naik bus,” kata Arini.
Kepastian waktu
Headway yang terlampau lama memang dinilai menjadi salah satu persoalan yang paling banyak dikeluhkan warga pengguna. Menurut pakar transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Hera Widyastuti hal paling utama untuk bisa menarik pengguna kendaraan pribadi adalah kepastian waktu, bukan sekadar headway. Jika, headway lebih dari tiga menit maka harus ada jadwal kedatangan bus yang pasti.
Dengan jadwal yang pasti, maka headway lebih dari 3 menit pun, masyarakat bisa menyusun jadwal kegiatannya dengan lebih pasti.
"Contohnya, headway KRL Jabodetabek itu lebih dari tiga menit tetapi penggunanya masih mau menunggu karena ada jadwal yang pasti. Kalau tanpa jadwal dan headway di atas lima menit, psikologi orang mulai resah karena kita tidak tahu kapan bus selanjutnya datang,” kata Hera.
Dari perhitungan Kompas langsung di lapangan, headway BRT di empat kota berkisar 8-30 menit. Pemantauan di Halte Simpang Lima Semarang, yang dilewati 5 koridor bus, menunjukkan bahwa rata-rata headway setiap koridor adalah 7,9 menit. Lalu, di Halte Mangkubumi Yogyakarta yang dilewati 3 koridor, bus lewat rata-rata 11,3 menit. Selanjutnya, di lalu lintas Gedung Grahadi Surabaya, yang juga dilalui 3 koridor, rata-rata headway-nya adalah 18 menit. Sementara itu, di Jalan Surapati Bandung, yang hanya dilewati Trans Metro Bandung (TMB) Koridor 3, headway-nya mencapai 30 menit.
Dengan kepastian waktu menjadi faktor yang krusial, jalur khusus menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Tanpa jalur yang terpisah, jadwal tidak bisa dipatuhi. Jalur khusus pun tidak harus dalam bentuk struktur keras seperti jalur dengan pembatas permanen. Namun bus harus diprioritaskan penggunaan ruang jalannya.
Lembaga Kerja Sama Teknis Jerman (Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit/GTZ) pada tahun 2005, melalui dokumen Modul Angkutan Bus Cepat, menentukan definisi bus rapid transit sebagai bus dengan kualitas tinggi yang berbasis sistem transit yang cepat, nyaman, dan berbiaya murah untuk mobilitas perkotaan. Syarat utama BRT adalah memiliki jalur khusus, terpisah dari kendaraan lain.
Namun tidak hanya persoalan waktu saja. Menurut Direktur Institute for Transportaion and Development Policy Asia Tenggara Faela Sufa, untuk memenuhi standar BRT yang ideal, perlu integrasi antarmoda yang baik di setiap halte. Integrasi antarmoda angkot dan bus menurut Faela menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah daerah. "Bagaimana mengintegrasikan angkot pada perbaikan sistem angkutan umum yang dilakukan oleh pemerintah," jelasnya.
Apresiasi
Meski demikian, ada juga warga memberikan apresiasi pada layanan angkutan umum, khususnya bagi warga yang sudah rutin menggunakan angkutan umum. Nugroho (32) karyawan swasta di Yogyakarta telah menjadi pengguna Trans Jogja sedari awal, sekitar 2009-2010. Menurutnya, Trans Jogja terasa lebih aman, nyaman, dan terjangkau ketimbang menggunakan sepeda motor.
“Saya pernah kecelakaan saat menggunakan sepeda motor dulu. Trans Jogja itu nyaman, harga juga terjangkau. Bensin seliter sudah hampir Rp 10.000, saya pulang-pergi hanya Rp 7.000,” kata Nugroho saat ditemui di halte Trans Jogja, Jumat (4/3/2021) akhir pekan lalu.
Menggunakan armada bus ukuran medium, Trans Jogja menyuguhkan kenyamanan baru. Penumpang dapat menikmati perjalanan dengan kabin bus yang bersih dan sejuk. Awak kabin cukup ramah menginformasikan setiap halte yang hendak dilewati. Begitu juga petugas di halte yang menanyai tujuan hampir setiap penumpang dan mengarahkan bus yang harus dinaiki.
Nanang (40) karyawan di kawasan Kenjeran, Surabaya, telah rutin menggunakan Suroboyo Bus setiap pulang kerja selama hampir tiga tahun terakhir. Selain itu, Suroboyo Bus lebih praktis ketimbang angkot konvensional. Untuk mencapai Terminal Purabaya atau Bungurasih, angkot konvensional harus ganti satu kali.
Menurutnya, sistem pembayaran yang dapat menerima botol plastik bekas telah memudahkan karyawan seperti dirinya. “Suroboyo Bus ini kan sebutannya ‘bis botol’, jadi hitungannya gratis,” ujarnya. (SPW/PUT/XNA)