Sepeda motor masih menjadi pilihan utama masyarakat meski ongkosnya lebih mahal ketimbang angkutan umum massal. Layanan angkutan umum massal yang belum luas dan jadwalnya belum dapat diandalkan menjadi penyebabnya.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, KRISTI DWI UTAMI, HARIS FIRDAUS, AGNES BENEDIKTA SWETTA BR PANDIA, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
Suatu ketika Ilham (23) pekerja swasta di Semarang, harus meminjam uang ke kakaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gaji Ilham perbulan hanya Rp 1,5 juta, jauh di bawah upah minimum regional Kota Semarang sebesar Rp 2,8 juta. Sebulan Ilham menghabiskan sekitar Rp 800.000 untuk biaya transportasi ke tempat kerjanya menggunakan sepeda motor.
Biaya sebesar itu untuk cicilan kredit sepeda motor, bahan bakar dan perawatan. Rumah Ilham jauh dari simpul transportasi publik Semarang. Sepeda motor akhirnya menjadi pilihan utamanya untuk berangkat kerja.
Dia berharap, ada moda angkot yang bisa menghubungkan kawasan rumahnya dengan jaringan utama Trans Semarang. “Kalau mau naik angkutan kota, dari rumah harus jalan kaki dulu sekitar dua kilometer. Angkutan umum itu lewatnya juga tidak bisa diprediksi. Kalau sedang terburu-buru, agak repot,” katanya.
Tanpa jaringan pengumpan yang luas, Ilham kehilangan peluang untuk menghemat pengeluarannya. Dalam sebulan, biaya pulang-pergi menggunakan Trans Semarang selama lima hari kerja hanya sekitar Rp 200.000 per bulan.
Transportasi publik akan dipilih ketika layanan rutenya menjawab kebutuhan warga. Saat masih bersekolah, Dika (19) setiap hari menggunakan bus rapid transit (BRT) Trans Semarang, dari halte dekat rumahnya hingga ke sekolah. Sebulan, mungkin orang tuanya hanya mengeluarkan Rp 100.000 untuk ongkos transportasi Dika.
Namun karena cakupan layanan angkutan umum massal di Semarang masih sempit, setelah bekerja Dika justru harus menggunakan sepeda motor ke tempatnya bekerja di kawasan Sayung, Demak. Dalam sebulan dia harus mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp 800.000 yang terdiri dari biaya bahan bakar dan cicilan kredit sepeda motornya.
Jika ada rute bus yang mencapai tempatnya bekerja, pengeluaran Dika untuk transpor perbulan mungkin hanya sekitar Rp 200.000.
Tak pasti
Selain cakupan layanannya yang terbatas, waktu tempuh angkutan umum membuat warga tetap mengandalkan sepeda motor meski biaya transpor perbulannya jadi lebih mahal. Panji (30), warga Kota Bandung yang tinggal di Kecamatan Panyileukan, harus menempuh 8 kilometer menuju kantornya di Jalan Merdeka, setiap harinya menggunakan sepeda motor. Karyawan bank swasta ini harus melewati sejumlah kemacetan dan arus lalu lintas yang padat setiap pagi dan sore.
Tidak hanya lelah selama perjalanan, biaya perawatan dan bahan bakar yang keluar setiap harinya juga tidak sedikit. Panji merogoh kocek setidaknya Rp 400.000 per bulan untuk membeli bensin. Selain itu, dia juga terpaksa mengeluarkan biaya perawatan sepeda motor hingga Rp 150,000, dan Rp 50.000 untuk membayar parkir setiap bulannya.
Namun memilih berpindah dari satu angkot ke angkot lainnya menurut Panji tidak efisien. Belum lagi ongkos setiap angkot mencapai Rp 5.000 sekali naik. Selain itu, kondisi angkot tidak begitu nyaman dan berdesakan sehingga Panji harus kembali membersihkan diri setelah perjalanan.
"Kalau pakai motor, dalam 40 menit saya sudah sampai kantor. Memang mahal, tapi lebih tepat waktu. Kalau tiga kali naik angkot, bisa satu jam lebih. Apalagi angkot sering ngetem Waktu tempuhnya jadi mistis, tidak jelas,” ujarnya tertawa.
Jika dihitung, ongkos menggunakan angkot bisa saja lebih mahal dibanding sepeda motor. Namun, jika dihitung dengan angsuran kendaraan yang mencapai Rp 998.100 per bulan, kondisi ini sangat memberatkan Panji yang hanya bergaji Rp 3.550.000 per bulan. “Untung angsuran sudah lunas karena saya tidak mau ambil lama-lama. Tetapi kalau dihitung dulu waktu masih kredit motor, bisa dikatakan lebih mahal menggunakan sepeda motor,” ujarnya.
Bagi Rafi (24), warga Surabaya, sepeda motor tetap menjadi pilihan meski pengeluarannya mencapai 32 persen dari penghasilan bulanannya. "Saya kapok naik angkot. Perjalananan lama, kebanyakan 'ngetem'," tutur karyawan layanan kebersihan ini, Rabu (16/3/2022).
Rafi belum pernah lagi mencoba naik angkutan umum, termasuk naik Suroboyo Bus ataupun Trans Semanggi, angkutan massal baru di Surabaya. Tahun 2020 lalu dia membeli sepeda motor secara kredit. Setiap hari dia menempuh perjalanan 50 kilometer pulang pergi dari rumahnya di Candi, Sidoarjo, menuju tempat kerjanya di kawasan Gubeng, Surabaya.
Biaya bahan bakar sepeda motor per hari dan ongkos angkot sebenarnya di kisaran yang sama, yakni Rp 20.000 sehingga per bulan dia mengeluarkan Rp 500.000. Namun karena menggunakan sepeda motor, Rafi harus mengeluarkan tambahan biaya untuk cicilan motor sebesar Rp 700.000 dan servis motor sekitar 150.000 setiap bulannya.
Lebih lama
Waktu naik angkutan umum yang lama juga membuat Bayu Yanuar (39), warga Dusun Jurang Jero, Desa Giripeni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, DIY, menggunakan sepeda motor untuk berangkat dan pulang kerja. Selama 6 hari seminggu, Bayu harus menempuh perjalanan sekitar 30 km ke kantornya yang berlokasi di Jalan AM Sangaji, Kota Yogyakarta. “Kalau naik sepeda motor, saya butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari rumah ke kantor,” kata karyawan swasta itu.
Bayu memilih menggunakan sepeda motor karena angkutan umum butuh waktu dua kali lama lebih lama. Selain itu, dia juga kesulitan mendapat angkutan umum saat pulang malam dari kantor. Hal ini karena jumlah bus jurusan Wates-Yogyakarta yang beroperasi hingga malam hari sangat terbatas.
Setiap hari, dia harus mengeluarkan Rp 10.000 hingga Rp 15.000 untuk membeli bahan bakar sepeda motor. Dalam sebulan, dia mesti mengeluarkan uang Rp 240.000-Rp 360.000 untuk biaya bahan bakar sepeda motor.
Selain itu, Bayu juga harus mengeluarkan biaya servis sepeda motor sebesar Rp 200.000-Rp 300.000 perbulan. Saat awal membeli sepeda motor, dia juga harus membayar uang cicilan sebesar Rp 600.000 per bulan. Namun, sejak beberapa tahun lalu, cicilan sepeda motornya sudah lunas.
Porsi biaya untuk sepeda motornya sekitar 15-20 persen dari total pengeluaran Bayu perbulan. Selain biaya sepeda motor, setiap bulan Bayu juga harus membiayai berbagai kebutuhan, misalnya keperluan rumah tangga, biaya sekolah, cicilan rumah, dan sebagainya. Sementara itu, penghasilan Bayu sekitar Rp 4 juta per bulan atau sekira dua kali besaran UMR Kota Yogyakarta.
Sebenarnya menurut Bayu, tarif bus dari Wates ke Gamping sekitar Rp 4.000 untuk sekali jalan. Sementara itu, tarif Trans Jogja Rp 3.500. Oleh karena itu, untuk perjalanan pulang pergi ke kantor dalam sehari, biaya yang harus dikeluarkan Bayu jika naik angkutan umum adalah Rp 15.000 atau sama dengan biaya membeli bahan bakar sepeda motor.
Namun, jika rutin menggunakan angkutan umum, diabisa menghemat biaya servis sepeda motor. Bayu sebenarnya ada keinginan untuk beralih menggunakan angkutan umum asalkan waktu perjalanannya lebih cepat dan beroperasi hingga malam hari.