Pemindahan ibu kota atau di masa lalu pusat peradaban, misalnya Medang atau Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, terkait dengan beragam alasan yang salah satu di antaranya perekonomian untuk semakin berkembang.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO, DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Presiden Joko Widodo menekankan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta di Jawa menjadi Nusantara di Kalimantan bukan sekadar alasan keamanan, ketersediaan lahan, melainkan juga untuk memenuhi keadilan sosial atau pemerataan ekonomi.
Beragam alasan itulah yang mungkin juga mendasari pemindahan pusat kerajaan masa Hindu-Buddha di Jawa. Namun, ekonomi bisa menjadi motif kuat seperti diasumsikan sebagai alasan pemindahan Medang atau Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur abad ke-10.
Sejarah meyakini sosok paling berperan dalam pemindahan Medang ialah Sindok. Dalam Prasasti Sangguran (2 Agustus 928) dari Malang, nama raja tertera ialah Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottugga. Juga tercantum nama pejabat kerajaan, yakni Rakryan Mapatih (mahamantri) i Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama.
Dalam Prasasti Gulung-gulung (20 April 929) di Malang tertera nama raja baru, yakni Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa. Artinya, tidak sampai setahun dari pembuatan Prasasti Sangguran, sudah terjadi suksesi kekuasaan dari Wawa kepada Sindok.
Prasasti Turyyan (24 Juli 929) di Malang menyebutkan, Sindok menetapkan makadatwan atau wilayah keraton di Tamwlang yang jika dikaitkan dengan toponimi saat ini, antara lain, Tembelang (Jombang) atau Tembalang (Blitar) alias Jatim.
Dari prasasti, keberadaan abhiseka atau ritus suci pemberian gelar dharmo (dharmma) menandakan Sindok menduduki singgasana melalui perkawinan, sedangkan tungadewa sebagai pernyataan diri sebagai wakil dewa di dunia atau diperdewa. Sindok adalah menantu Wawa. Padahal, dalam Prasasti Lintakan (12 Juli 919) dari Yogyakarta, nama raja tertera ialah Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tlodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa. Di sini Sindok bergelar Rakryan i Halu, sedangkan Rakyan i Hino ialah Pu Ketuwijaya.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Ismail Lutfi, mengatakan, menarik untuk menelisik kiprah Sindok karena belum diketahui lelulurnya. Namun, di masa Tlodong dan Wawa, sosok Sindok sudah menjadi pejabat penting kerajaan. ”Saya menduga pergantian kekuasaan dari Tlodong berlanjut Wawa atas bantuan Sindok,” ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Jatim itu.
Selanjutnya, nasib Wawa tiba-tiba berakhir, sedangkan Sindok memindahkan Medang ke Jatim. ”Yang menjadi pertanyaan, suksesi dari Wawa menuju Sindok apakah karena Wawa meninggal secara wajar atau ada kudeta dari Sindok?” ujar Lutfi.
Sindok juga memunculkan dinasti sendiri, yakni Isana. Padahal, Isana sudah muncul sebagai bagian dari nama Sindok ketika masih menjadi pejabat tinggi kerajaan. Isana disepadankan dengan Rajasa atau raja gunung. ”Mengapa Sindok harus memunculkan wangsa sendiri meskipun pergantian nama-nama raja masa Medang mengarah pada satu pengertian, yakni raja gunung,” kata Lutfi.
Akses
Selama berkuasa kurun 929-947, Sindok memindahkan Tamwlang ke Watugaluh. Pemindahan lokasi kerajaan diyakini masih berada dalam wilayah Jatim saat ini. Pola pemindahan kembali ditempuh oleh peradaban selanjutnya termasuk saat Nusantara masih sebagai Hindia-Belanda dan saat ini Indonesia.
Jakarta berada di Jawa bagian barat dalam zona waktu Indonesia barat (WIB). Nusantara yang dipilih sebagai nama ibu kota di Sepaku berada di Kalimantan dalam zona waktu Indonesia tengah (Wita).
Dalam masa Hindia-Belanda, Batavia (Jakarta) pernah direncanakan pindah ke timur, yakni Bandung, Semarang, atau Surabaya. Di awal kemerdekaan, Ibu Kota sempat pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Ada benang merah bahwa pemindahan suatu pusat pemerintahan atau di masa lalu kerajaan bergerak ke timur.
Sindok melakukannya 1.000 tahun lebih awal dengan memindahkan Medang dan mendirikan keraton baru di Tamwlang. Namun, pemindahan Medang bukan sekadar karena desakan keamanan seperti yang diterima selama ini, yakni letusan gunung (Merapi) dan huru-hara terutama dengan Sriwijaya. Lutfi meragukan motif utama pemindahan Medang di akhir masa kekuasaan Wawa atau oleh Sindok karena situasi keamanan. ”Saya lebih cenderung pada motif ekonomi,” katanya.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jatim Zakaria Kasimin mengatakan, jauh sebelum pemindahan oleh Sindok, raja-raja Medang sudah melihat potensi wilayah Jatim. Di wilayah Jateng tidak ada sungai besar yang bermuara ke laut untuk memperlebar pengaruh. Dengan memanfaatkan sungai, paradigma Kerajaan Medang berubah dari agraris menjadi perdagangan.
”Mungkin karena lebih menekankan pada perdagangan sehingga Medang di era Sindok dan penerusnya tidak terlalu banyak menaruh perhatian dengan membangun candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan,” kata Zakaria.
Pada masa pra-Medang, di Malang, Jatim, sesuai Prasasti Dinoyo (760), pernah berdiri Kerajaan Kanjuruhan (Kanuruhan) dekat dengan Sungai Brantas. Pada masa Medang berkembang, Kanjuruhan menjadi bawahan meski belum bisa disepakati dan belum terbukti situasi itu terjadi akibat perang atau penaklukan. Saat pemerintahan Dyah Balitung, dibuatlah Prasasti Telang (11 Januari 903) tentang keberadaan desa-desa untuk penyeberangan di Bengawan Solo.
Arkeolog BPBC Jatim, Wicaksono Dwi Nugroho, menambahkan, peran Bengawan Solo besar bagi perkembangan Kerajaan Medang era Sindok dan seterusnya. Sungai yang bermuara di Selat Madura di Gresik itulah yang turut mendorong perkembangan wilayah pesisir utara, yakni Tuban dan Gresik. Kerajaan Medang di Jatim berakhir dengan kematian Dharmawangsa Teguh (1007) dan diteruskan oleh sang menantu, yakni Airlangga, yang mendirikan Kahuripan.
Mungkin karena lebih menekankan pada perdagangan sehingga Medang di era Sindok dan penerusnya tidak terlalu banyak menaruh perhatian dengan membangun candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan.
Wicaksono melanjutkan, di akhir Kahuripan, Airlangga terpaksa membagi kerajaan menjadi dua, yakni Janggala dan Pangjalu (Kadiri). Urat nadi ekonomi Janggala ditopang oleh Bengawan Solo, sedangkan Pangjalu disokong oleh Sungai Brantas. Sejarah kemudian menjadi saksi, kerajaan-kerajaan besar Nusantara dari Jatim, yakni Singhasari lalu Majapahit, amat berkembang karena memaksimalkan fungsi sungai (Bengawan Solo dan Sungai Brantas) untuk kepentingan interaksi terutama ekonomi atau perdagangan secara maritim.
Pamong budaya dan mantan Kepala BPCB Jatim Andi Muhammad Said sepakat dengan pemikiran bahwa pemindahan kerajaan terutama Medang dari Jateng ke Jatim lebih ditekankan kepada upaya memperbesar pengaruh melalui akses interaksi, yakni sungai. Dengan memanfaatkan sungai, kerajaan bisa berinteraksi, menanamkan pengaruh, dan terutama menarik manfaat ekonomi yang amat besar untuk pembangunan dan mencapai kejayaan.
Dalam konteks saat ini, Kalimantan masih diyakini memiliki sumber daya alam berlimpah daripada Jawa yang nyaris babak belur akibat eksploitasi. Pemanfaatan alam besar-besaran memang masih dan terus terjadi di Kalimantan. Apalagi, salah satu alasan pemindahan ibu kota untuk pemerataan ekonomi. Apakah kejayaan itu akan terwujud dalam wajah Ibu Kota Nusantara? Mungkin waktu dan kepemimpinan negara yang menjawabnya.