Kaveling Siap Bangun, Modus Pengembang Membabat Hutan Lindung di Batam
Program permukiman untuk warga miskin dijadikan modus oleh pengembang untuk membabat hutan lindung di Pulau Batam. Akibatnya, warga dirugikan dua kali, uang melayang, dan lingkungan rusak.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Program Kaveling Siap Bangun atau KSB di Batam telah distop sejak 2016. Namun, program permukiman untuk warga miskin itu masih terus dijadikan modus oleh pengembang untuk membabat hutan lindung di Pulau Batam, Kepulauan Riau.
Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol Badan Pengusahaan (BP) Batam Ariastuty Sirait, Selasa (15/3/2022), mengatakan, pihaknya sudah banyak mendapat laporan warga yang ditipu pengembang. Warga menjadi korban karena belakangan terungkap lahan yang mereka beli ternyata ilegal.
”Masyarakat silakan datang dulu untuk mengonfirmasi legalitas dokumen ke BP Batam. Jangan sampai sudah telanjur transaksi lalu muncul masalah, baru kemudian datang ke kami,” kata Tuty melalui pernyataan tertulis.
Ia meminta warga tidak mudah tergiur dengan iklan KSB yang menawarkan lahan dan hunian murah. Program permukiman untuk warga miskin itu telah distop BP Batam sejak 2016.
Namun, sampai kini program KSB masih saja dijadikan modus oleh pengembang untuk menipu warga. Banyak pengembang membabat hutan lindung lalu menjualnya dengan murah di bawah embel-embel KSB.
Pada 2020, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap tiga kasus pembabatan hutan lindung bakau di pesisir Batam untuk dijadikan KSB. Ketiganya terjadi di Kecamatan Nongsa dan telah diputuskan pengadilan sebagai kejahatan korporasi.
Kasus pertama adalah pembabatan hutan lindung bakau seluas 19,2 hektar. Terkait kasus itu, pengembang proyek KSB itu, PT Prima Makmur Batam, dijatuhi denda oleh pengadilan sebesar Rp 2,5 miliar.
Kasus kedua adalah pembabatan hutan hutan lindung bakau seluas 18 hektar. Pengembang proyek tersebut, PT Kayla Alam Sentosa, dijatuhi denda Rp 6 miliar.
Kasus ketiga juga terjadi di hutan lindung bakau. Pengembang proyek KSB di sana, PT Alif Mulia Jaya Batam, diputuskan pengadilan bersalah karena telah membabat hutan seluas 7 hektar. Perusahaan itu didenda Rp 6 miliar.
Salah satu kelompok masyarakat yang aktif melaporkan pembabatan hutan lindung Batam adalah Akar Bhumi Indonesia. Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mengatakan, setidaknya ada 48 kasus pembabatan hutan lindung di Batam.
”Hampir setengah dari 48 kasus itu adalah alih fungsi hutan menjadi KSB yang diduga ilegal. Mayoritas lokasinya berada di kawasan pesisir,” ujar Hendrik.
Akar Bhumi telah melaporkan 18 kasus pembabatan hutan lindung kepada Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK. Hendrik berharap pemerintah segera turun ke lapangan.
Menurut dia, kebanyakan pembeli KSB adalah warga miskin yang sebelumnya tinggal di rumah liar. Rumah liar adalah istilah pemerintah untuk menyebut permukiman warga yang berdiri di atas lahan yang tidak dialokasikan BP Batam sebagai lokasi perumahan.
Pada 2015, lembaga konsultan di Amerika Serikat, Demographia, menyebut, Batam adalah kota dengan peringkat pertama laju pendudukan tercepat di dunia. Penduduk Batam yang kini jumlahnya 1,19 juta orang bertambah 7,4 persen setiap tahun.
Urbanisasi besar-besaran di Batam yang terjadi sejak 1970-an akhirnya menimbulkan masalah. Warga mulai berebut ruang hidup dan sebagian harus mendirikan rumah liar di lahan yang tidak dialokasikan untuk permukiman.
”Untuk mengatasi KSB, BP Batam harus menyelesaikan masalah rumah liar dulu. Kalau itu tidak dilakukan, ibaratnya pemerintah itu seperti mencuci kaki tanpa melepas sepatu,” ucap Hendrik.