Pengusaha Sulut Harapkan Subsidi Tarif Jalan Tol Manado-Bitung
Tarif perjalanan dari Manado hingga Terminal Peti Kemas Bitung untuk kendaraan golongan I Rp 44.000, sedangkan golongan II dan III dikenai tarif Rp 66.000. Tarif itu dianggap terlalu tinggi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sekalipun Jalan Tol Manado-Bitung telah dibuka seutuhnya sepanjang 39,8 kilometer, beberapa pengusaha di Sulawesi Utara masih menjadikan jalan nasional sebagai jalur logistik utama. Tarif tol yang mahal seharusnya dapat ditekan dengan subsidi dari pemerintah.
Dihubungi dari Manado, Senin (14/3/2022), Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulut Nicholas Lieke mengatakan, tarif jalan tol pertama di ”Bumi Nyiur Melambai” itu mahal, tetapi wajar. ”Mahal karena biayanya sangat terasa, apalagi kalau setiap hari kita pergi pulang antara Manado dan Bitung,” katanya melalui pesan teks.
Presiden Joko Widodo meresmikan ruas terakhir jalan tol tersebut, yakni Seksi Danowudu-Terminal Peti Kemas Bitung sepanjang 13,5 kilometer, pada 25 Februari lalu. Jalan tol itu akhirnya fungsional seutuhnya setelah mulai dibangun pada 2016 dengan dana APBN sebesar Rp 5,12 triliun yang dikucurkan secara tahun jamak.
Perusahaan yang mengelola jalan tol tersebut, PT Jasamarga Manado Bitung (JMB), telah menetapkan tarif yang berlaku sejak Sabtu (12/3/2022). Tarif perjalanan dari Manado hingga Terminal Peti Kemas Bitung untuk kendaraan golongan I sebesar Rp 44.000, sedangkan kendaraan yang lebih besar, yaitu golongan II dan III, dikenai tarif Rp 66.000.
Adapun kendaraan yang sumbu rodanya makin banyak, yakni golongan IV dan V, dikenai biaya Rp 88.000. Biaya inilah yang mesti ditanggung truk-truk peti kemas, termasuk yang hendak mengekspor produk olahan dari Sulut, seperti perikanan dan kelapa, ke pelabuhan.
Kendati mahal, Nicho menilai penetapan harga ini cukup wajar. ”Dana tersebut tentu diperlukan untuk pemeliharaan jalan serta untuk mengganti biaya pembebasan lahan dan pembangunan konstruksi. Pengusaha pun tetap bisa menggunakan jalan lama sebagai alternatif,” katanya.
Jalan yang ia maksud adalah Jalan Raya Manado-Bitung. Jarak tempuh dari Manado ke Terminal Peti Kemas Bitung di ruas jalan nasional itu pun hampir sama dengan Jalan Tol Manado-Bitung, yakni 39,8 km. Namun, waktu tempuhnya mencapai 1 jam 20 menit, jauh lebih lama ketimbang jalan tol yang hanya 30-45 menit.
Menurut Nicho, pemerintah provinsi sebaiknya memberikan subsidi agar lebih banyak pengusaha antusias menggunakan proyek strategis nasional tersebut. ”Sebaiknya ada subsidi dari pemerintah supaya perekonomian meningkat dulu, terutama di masa pandemi dan transisi menuju endemi ini,” ujarnya.
Abrizal Ang, pemilik PT Samudera Mandiri Sentosa, produsen ikan kaleng di Bitung, juga menyebut biaya tol masih terlalu mahal. Padahal, kendaraan yang digunakan perusahaannya untuk mendistribusikan barang dari Bitung ke Manado dan sekitarnya hanya kendaraan golongan II.
Ia pun memberi ilustrasi. ”Sebulan, saya isi solar Rp 300.000-Rp 400.000 sebanyak lima kali. Artinya, Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta untuk BBM (bahan bakar minyak). Lewat tol memang bisa turun jadi Rp 1,2 juta sebulan, tetapi biaya tolnya saja bisa lebih dari Rp 2 juta sebulan. Artinya, biaya (logistik) saya malah dua sampai tiga kali lipat sebelum ada tol,” paparnya.
Jika tarif tol tidak dikurangi, Abrizal akan lebih suka menggunakan Jalan Raya Manado-Bitung karena lebih murah. Waktu tempuh pun ia sebut bisa disiasati dengan cara berangkat lebih pagi karena ruas jalan tersebut tidak terlalu macet. Masih ada pula Jalan SBY yang lebih lebar untuk menghubungkan Airmadidi di Minahasa Utara ke Manado.
Ia pun berharap tarif kendaraan golongan II bisa ditekan agar tidak terlampau jauh dari tarif kendaraan golongan I. ”Menurut saya agak tidak masuk akal tarifnya. Ini tol pertama di Sulut, jadi seharusnya jangan terlalu mahal. Orang tidak akan mau lewat sana. Lebih baik murah, tetapi volume kendaraannya besar,” lanjut Abrizal.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama PT JMB Charles Lendra membantah anggapan tarif tol masih terlalu mahal. Hasil survei kemampuan membayar (ability to pay) pengguna jalan di Sulut mencapai Rp 1.260 per kilometer. Adapun tarif yang diberlakukan di Jalan Tol Manado-Bitung saat ini hanya Rp 1.111 per kilometer. ”Jadi masih lebih murah,” katanya.
Sepanjang 2021, jalan tol itu dilintasi 1,56 juta kendaraan atau 4.294 kendaraan setiap hari. Jumlah ini jauh dari pengguna seksi 1, 2, dan 3 Jalan Tol Ujung Pandang yang mencapai 45.144 kendaraan per hari. Dinas Perhubungan Sulut memperkirakan angka ideal pengguna jalan tol itu minimal 14.000 kendaraan per hari.
Menurut Charles, performa di Jalan Tol Manado-Bitung tidak bisa dibandingkan dengan jalan tol di tempat lain, apalagi di Jawa. Sebab, penduduk di Sulut hanya sekitar 2,6 juta orang, berbeda dengan Jawa yang menjadi rumah bagi lebih dari setengah populasi Indonesia.
Meski begitu, kata Charles, maksimalisasi operasionalisasi jalan tol dapat dicapai jika pemerintah memenuhi salah satu klausul dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol, yaitu membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dan realisasi simpul logistik ekspor di Terminal Peti Kemas Bitung.
”Harus dibangun agar sesuai rencana bisnis. Informasi yang kami dapatkan, saat ini Pemprov Sulut sedang mencari investor di KEK Bitung. Kami akan terus dorong pemprov dan Pelindo untuk mempercepat pembangunannya agar bisa membangkitkan lalu lintas,” ujarnya.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey yakin, jalan tol ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Sulut. Pada 2021, pertumbuhan ekonomi Sulut mencapai 4,17 persen, di atas rata-rata nasional yang mencapai 3,69 persen. Jalan tol ini pun ia sebut akan menopang berbagai sektor, termasuk pariwisata seiring pembangunan KEK Pariwisata Likupang.