KRL Yogya-Solo, Penerus ”Kuda Putih” Menjalin Peradaban Dua Kota
Genap setahun, Kereta Rel Listrik Surakarta-Yogyakarta melayani penduduk dua kota. Angkutan massal itu membuktikan diri menjadi transportasi publik andalan warga. Perlahan, warga mulai meninggalkan kendaraan pribadi.
Genap setahun Kereta Rel Listrik Surakarta-Yogyakarta melayani warga, angkutan massal komuter itu membuktikan diri menjadi layanan transportasi publik andalan warga dua kota berdekatan tersebut. Selain melayani para pelaju, layanan kereta rute ulang-alik itu pun bakal diperjauh demi memudahkan akses wisatawan.
Ditilik dari sejarah, aktivitas penduduk dua kota budaya sekaligus wisata tersebut memanfaatkan kereta dengan rute ulang-alik Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Surakarta (Jawa Tengah) telah berlangsung lebih dari setengah abad. Pada 1960-an, layanan kereta komuter pertama kali hadir lewat kereta rel diesel bernama ”Kuda Putih”. Namun, operasional layanan tersebut terhenti pada 1980-an akibat minimnya suku cadang.
Layanan kereta komuter dilanjutkan dengan kereta rel diesel lain bernama Prambanan Ekspres atau yang lebih populer disebut Prameks pada 1994. Angkutan ini sangat populer dan ikonik. Bahkan, lahirlah komunitas para penumpang Prameks yang menyebut diri ”Pramekser”. Mereka adalah pelaju dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Setiap hari, mereka mondar-mandir dengan kereta demi menjalani aktivitas dari Surakarta ke Yogyakarta, begitu juga sebaliknya.
Diambilnya kebijakan elektrifikasi jalur kereta api Solo–Yogyakarta mengakibatkan operasional kereta diesel Prameks harus terhenti pada 2021. Beroperasi lebih dari 20 tahun, Prameks digantikan kereta komuter bersumber energi listrik, yakni Kereta Rel Listrik (KRL) Solo–Yogyakarta. Uji coba pelayanan dimulai sejak Februari 2021. Pada 1 Maret 2021, Presiden Joko Widodo meresmikan operasional layanan tersebut di Stasiun Yogyakarta.
Baca Juga: Kereta Rel Listrik, Asa Baru Pelaju Yogya-Solo
Penggantian angkutan dari Prameks ke KRL Surakarta–Yogyakarta menjadi salah satu upaya mendorong terciptanya transportasi massal ramah lingkungan. Ini didasari penggunaan listrik sebagai sumber energi utama angkutan. ”Saya kira moda transportasi di negara kita ke depan harus semuanya mengarah kepada kereta transportasi massal yang ramah lingkungan. Juga, kendaraan-kendaraan semuanya harus ramah lingkungan, yaitu (bersumber energi) listrik,” kata Presiden saat meresmikan operasional kereta tersebut.
Ikhtiar pemerintah mengembangkan kereta ramah lingkungan disambut baik publik. Antusiasme Pramekser beralih ke kereta listrik begitu tinggi. Itu terbukti dari capaian PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang mampu mencatatkan lebih dari 2,2 juta penumpang dalam setahun. Jumlah penumpangnya juga terus meningkat signifikan. Semula, jumlah penumpang harian hanya 2.000–3.000 orang, kini jumlahnya mendekati 15.000 penumpang per hari.
Jumlah penumpangnya juga terus meningkat signifikan. Semula, jumlah penumpang harian hanya 2.000–3.000 orang, kini jumlahnya mendekati 15.000 penumpang per hari.
Sejauh ini, waktu tempuh kereta tersebut lebih kurang 68 menit, dari stasiun keberangkatan hingga stasiun akhir. Waktu tempuhnya lebih cepat 10 menit daripada Prameks. Padahal, jumlah stasiun perhentiannya lebih banyak. Jika Prameks hanya berhenti di enam stasiun, KRL Solo–Yogyakarta berhenti di 11 stasiun.
Artinya, sejumlah stasiun yang sebelumnya tak terlirik justru dimanfaatkan kembali pada era kereta listrik. Stasiun-stasiun tersebut juga tergolong kecil, seperti Stasiun Brambanan, Srowot, Ceper, Delanggu, dan Gawok. Aktivasi stasiun kecil sebagai tempat perhentian KRL ikut menambah aksesibilitas dan pilihan penumpang.
Lebih cepat
Setidaknya hal itulah yang dirasakan oleh Runny Wijayanti (40), pelaju asal Kabupaten Bantul, DIY. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pegawai Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, yang berkantor di wilayah Kabupaten Sukoharjo. Ia menjadi pelaju sejak 2011. Namun, fasilitas kereta komuter baru dimanfaatkannya mulai 2013. Tambahan stasiun perhentian membuatnya semakin dekat dan cepat menjangkau kantor.
”Sebelumnya, saya harus turun di Stasiun Purwosari. Sekarang, saya bisa turun di Stasiun Gawok. Itu jauh lebih cepat. Waktu saya buat pulang juga tidak terburu-buru karena stasiun kepulangan jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor, Dari awalnya butuh waktu 15 menit, jadi hanya perlu 5 menit,” kata Runny.
Di masa pandemi Covid-19, Runny juga mengapresiasi ketegasan petugas di dalam gerbong. Mereka tak segan-segan mengingatkan penumpang yang menggunakan masker secara tidak benar. Ketegasan tersebut dinilainya penting untuk menekan potensi penularan Covid-19 di dalam kereta.
”Ketegasan petugas ini yang membuat saya jadi berani bepergian dengan KRL. Aman dari ancaman penularan Covid-19 menjadi sesuatu yang dicari sekarang. Saya apresiasi betul ketegasan para petugas,” kata Runny.
Kesigapan petugas juga disoroti penumpang rutin KRL lainnya, Hangga Chris Hendrawan (38). Pelaju asal Yogyakarta itu merasa cukup puas dengan pelayanan petugas selama ini. Beberapa kali, ia melihat petugas bergerak cepat begitu melihat penumpang yang kesulitan. Semisal, penyandang disabilitas, warga lanjut usia, ataupun ibu hamil. Imbasnya, kursi prioritas dapat benar-benar dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Bagi Hangga, nilai tambah KRL ialah ketepatan waktu kedatangan kereta. Bahkan, itu menjadi salah satu hal terpenting untuk angkutan massal. Ketepatan waktu membuatnya bisa leluasa mengatur perjalanan.
”Jarang sekali ada masalah dengan jadwal. Sejauh ini, saya belum pernah mengalami keterlambatan. Buat pekerja seperti saya, ketepatan waktu ini sangat penting. Saya juga tidak pernah terlambat dengan KRL,” kata Hangga.
Meski demikian, Hangga berharap jumlah perjalanan kereta bisa ditambah. Saat ini, baru ada 20 perjalanan per hari dengan rute Yogyakarta-Solo dan sebaliknya. Penambahan jumlah perjalanan memperbanyak pilihan penumpang menentukan jadwal bepergian.
Jarak kedatangan antarkereta, tambah Hangga, juga hendaknya dipersingkat agar waktu tunggu tak terlalu lama. Sejauh ini, rata-rata waktu tunggu kereta sekitar 30 menit. Namun, ada juga yang waktu tunggunya bisa mencapai 60 menit.
Koordinator Pramekser Solo Jogja, Eka Indarto, menuturkan, secara umum, layanan KRL Surakarta-Yogyakarta cukup memuaskan. Layanan yang diberikan mampu memenuhi ekspektasi publik. Pihaknya meyakini kehadiran layanan tersebut bisa ikut mendorong percepatan peralihan paradigma publik untuk lebih memilih menggunakan angkutan massal daripada menambah sesak jalan dengan kendaraan pribadi masing-masing.
”Kelak, ini (KRL) akan mengubah pemikiran banyak orang. Ini modal apabila nantinya kota semakin maju dan penduduknya bertambah banyak. Orang Surakarta tidak perlu pindah ke Yogyakarta hanya untuk bekerja. Cukup dengan KRL, mereka tetap bisa menjalankan aktivitasnya,” kata Eka.
Baca Juga: KRL Solo-Jogja, Era Baru Transportasi Antarkota di Indonesia
Selama ini, lanjut Eka, pengelola juga aktif berkomunikasi dengan komunitas pengguna untuk optimalisasi layanan transportasi tersebut. Perwakilan komunitas juga diajak dalam uji coba layanan sebelum beroperasi penuh. Kritik yang disampaikan komunitas pun ditanggapi cepat mengingat komunikasi dijalin intens lewat media sosial Whatsapp.
”Mereka memosisikan KRL bukan sekadar bisnis atau jualan. Benar-benar ini pelayanan yang diberikan untuk masyarakat,” ucap Eka.
Adapun Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyatakan, KRL Surakarta-Yogyakarta merupakan wujud keadilan publik yang diberikan pemerintah dalam hal transportasi. Pasalnya, pemerintah tak hanya membangun infrastruktur saja, seperti jalan tol, tetapi juga mendorong penggunaan angkutan massal lewat pengembangan kereta listrik.
Untuk itu, kata Tulus, optimalisasi penggunaan layanan transportasi butuh terus ditingkatkan. Peningkatan itu mulai dari okupansi, waktu tunggu antarkereta, hingga rute perjalanan yang hendaknya diperpanjang lagi.
Integrasi layanan
Menurut Tulus, integrasi layanan juga termasuk keunggulan KRL yang menonjol. Di Stasiun Solo Balapan, misalnya, angkutan KRL setidaknya terkoneksi dengan dua angkutan massal lain, seperti kereta bandara menuju Bandara Adi Sumarmo dan bus karena sudah ada jembatan penghubung stasiun dan Terminal Tirtonadi. Ada juga keberadaan jejaring teman bus, ”Batik Trans Solo”, yang dapat melayani penduduk untuk berkeliling di wilayah Kota Surakarta.
”KRL menjadi salah satu wujud konkret layanan transportasi yang terintegrasi dengan konektivitas tinggi. Sekali lagi, kami sangat mengapresiasi dan mudah-mudahan ini menjadi transportasi andalan bagi warga Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya,” kata Tulus.
Baca Juga: Gerak Cepat Kereta Listrik Indonesia
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan, pengembangan layanan KRL Surakarta-Yogyakarta tidak akan berhenti meski catatan-catatan apik sudah ditorehkan. Pihaknya berencana memperpanjang rute layanan kereta agar tersambung sampai ke Kutoarjo di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dan Madiun di Jawa Timur. Proyek itu ditargetkan bisa terwujud dalam waktu lima tahun ke depan.
Pada 2022, lanjut Budi Karya, perpanjangan elektrifikasi jalur kereta api dimulai dari Stasiun Solo Balapan, Jebres, hingga Palur. Rute tersebut panjangnya 6,2 kilometer. Stasiun Jebres juga tengah dibangun sebagai depo kereta rel listrik. Stasiun itu nantinya akan menjadi tempat perawatan dan peningkatan kualitas layanan kereta.
”Angkutan kereta harus dikoordinasikan dan disambung dengan moda angkutan lain karena angkutan massal menjadi andalan masyarakat. Harapannya, nanti seperti di Jakarta, KRL bisa mengangkut hingga 1,2 juta orang per hari,” kata Budi Karya.
KRL Ssurakarta-Yogyakarta menjadi titik awal pembangunan transportasi masa depan yang berkelanjutan. Bukan sekadar penggunaan sumber energi ramah lingkungan, layanannya benar-benar dirasakan memudahkan mobilitas warga. Satu per satu warga diharapkan meninggalkan kendaraan pribadi, beralih ke angkutan massal.