Ikhtiar Penyintas untuk Bangkit Seusai Dilanda Gempa
Sebagian penyintas gempa Pasaman Barat mulai bekerja untuk mencari nafkah sekaligus mengalihkan kesedihan seusai diterpa bencana.
Nurul Huda (40) meracak sepeda motor bebeknya perlahan di jalan perkebunan. Setengah karung pupuk urea terikat di jok. Ia mengenakan setelan kemeja ungu lusuh, celana pendek, topi, dan sepatu bot. Tas berbahan karung berisi berbagai perkakas tersandang di bahu kanannya.
Nurul hendak ke kebun jagungnya, Minggu (13/3/2022). Ini pertama kalinya ia ke kebun sejak gempa bermagnitudo 6,1 mengguncang Pasaman Barat dan sekitarnya pada 25 Februari lalu. Sudah 16 hari kebun jagung seluas setengah hektar itu ditinggal begitu saja.
”Pagi ini hendak memupuk jagung. Usianya baru 25 hari. Cuma itu yang bisa diharapkan untuk biaya hidup keluarga,” kata Nurul, penyintas gempa Jorong Rimbo Batu, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat.
Baca Juga: Penyintas Gempa di Pasaman Barat Mulai Tempati Hunian Sementara
Pagi itu sebenarnya Nurul belum fit sepenuhnya. Ia sempat demam saat menginap di tenda posko pengungsian selama sebelas hari. Walakin, demi kelangsungan hidup istri dan tiga anaknya, ia upayakan bekerja di kebun yang berjarak sekitar 2 km dari rumahnya.
Istri dan anak-anak Nurul selamat saat gempa mengguncang. Sayangnya, rumah kayunya yang sudah berusia puluhan tahun hampir ambruk diguguh gempa, tak lagi bisa dihuni. Sepekan terakhir, ia dan keluarga tinggal di tenda keluarga depan rumah.
Selain mencari nafkah, bekerja membuatnya merasa lebih baik. Lama-lama suntuk juga ia di rumah, meskipun kebutuhan pokok masih dipasok pemerintah dan sukarelawan. ”Kerja ini yang akan menghilangkan rasa stres akibat gempa ini. Kalau di rumah saja, sering pusing. Bagus ke kebun, hilang suntuk,” ujarnya.
Marwan (53), penyintas gempa di Jorong Rimbo Batu, juga mulai ke kebun hari ini. Ia memanen kelapa sawit garapan mertuanya. Sudah setengah bulan sawit itu terlambat dipanen. Sebagian buahnya mulai busuk. Mestinya sawit dipanen Jumat (25/2) tetapi gempa melanda.
”Baru hari (Minggu) ini saya mulai kerja. Baru sepekan kembali ke rumah untuk bersih-bersih. Tiba di rumah demam, sudah empat hari ini. Sekarang masih demam. Sekarang coba-coba ke kebun untuk keluarkan polak (peluh),” kata pria yang karib disapa Iwan ini.
Menurut Iwan, perasaannya sebenarnya belum setenang sebelum gempa. Kekhawatiran terhadap gempa masih mengusik hatinya. Untungnya, Minggu pagi itu, Iwan dibantu adik ipar dan kawan adik iparnya panen sawit. Biasanya panen ia kerjakan sendiri.
Saat gempa hebat mengguncang, ia sedang di kebun. Dari kebun, ia melihat dan mendengar suara menggelegar dari Gunung Talamau. Iwan terduduk seketika. Beberapa menit kemudian, ia teringat anak-istri.
Istri dan dua anak Iwan selamat, tetapi rumahnya hancur. Sepertiga saja rumah beton itu yang masih berdiri. Sekarang anak-anak dan istri masih mengungsi di rumah adik iparnya di Simpang Empat, ibu kota Pasaman Barat.
Selain mendapat upah, kembali beraktivitas membuatnya merasa lebih baik. ”Kalau diperturutkan, stres jadinya. Di rumah tambah sakit-sakit. Saya biasa kerja. Dibawa duduk, sakit badan semuanya. Tidak keluar keringat. Lemah rasa badan. Makanya sekarang mulai ke kebun keluarkan keringat,” ujarnya.
Pun sama halnya dengan Asma (44), penyintas gempa di Jorong Tanjung Beruang, Nagari Kajai. Ia bersama suami dan dua anaknya baru kembali mengungsi dari rumah saudara di Simpang Empat. Tiga hari ini, keluarga ini membuka kembali usaha penatu (laundry) dan cucian sepeda motor.
Tiga hari membuka usaha, jumlah pendapatan Asma dan suami belum kembali normal. Belum semua pelanggan kembali mencuci baju dan sepeda motor di tempatnya. Walakin, ia tidak patah semangat. Menurut dia, yang peting berusaha.
”Kalau tidak kami buka usaha kami, bagaimana hidup selanjutnya. Tidak mungkin berpangku tangan, berharap bantuan saja. Kalau kita tidak mengubah keadaan, ia tidak akan berubah,” kata Asma.
Bertahan di pengungsian
Akan tetapi, belum semua warga sesiap Nurul, Iwan, dan Asma. Sebagian lainnya, masih dihantui trauma dan bertahan di posko pengungsian. Gempa susulan masih dirasakan warga. Bahaya lain masih mengintai, terutama di kawasan kaki Gunung Talamau, yang masih rawan longsor.
Amardan (56), penyintas gempa di Jorong Timbo Abu, Nagari Kajai, masih bertahan di posko pengungsian Timbo Abu Ateh. Ia mengungsi di tenda bersama istri, anak, menantu, dan para cucu. Amardan juga belum sanggup untuk bekerja seperti biasa. Kebutuhan harian keluarga ini masih bergantung pada bantuan dari posko.
”Sekarang saya belum sanggup bekerja merawat kebun ubi, jagung, dan karet. Kebun belum pernah saya lihat sejak gempa. Masih lemas. Lemas tulang, perasaan masih berduka. Belum siap mental,” kata Amardan, yang rumahnya luluh lantak.
Efrida (35), penyintas gempa lainnya Jorong Timbo Abu, begitu pula. Ia bersama suami dan tiga anaknya juga masih bertahan di posko pengungsian. Rumahnya tak bisa lagi dihuni.
”Sawah dan ladang di kaki gunung belum tentu nasibnya. Takut kami ke sana, nanti tiba-tiba longsor dan galodo (banjir bandang). Gempa susulan juga membuat hati rusuh jika kembali ke rumah,” ujarnya.
Baca Juga: Ratusan Penyintas Gempa Pasaman Barat Bertahan di Posko Pengungsian Timbo Abu
Ketua Posko Pengungsian Timbo Abu Ateh Dodi Indrayani mengatakan, hingga Sabtu (12/3) kemarin, masih ada 63 tenda di posko pengungsian ini yang dihuni sekitar 600 orang. Warga masih bertahan di tenda karena trauma dan tidak punya tempat tinggal. Baru 20 persen pengungsi kembali ke rumah.
”Rasa aman, trauma, dan tempat tinggal itu faktor paling besar yang membuat masyarakat bertahan di tenda posko pengungsian. Mereka pindah ke tenda sekitar rumah atau hunian sementara asalkan aman. Puing-puing yang menggantung di rumah berbahaya bagi anak-anak,” kata Dodi.
Sebelumnya, Pemkab Pasaman Barat mengarahkan warga di posko pengungsian kembali ke rumah. Warga yang rumahnya tidak bisa dihuni dibekali tenda, disusul kemudian dibuatkan hunian sementara.
Wakil Bupati Pasaman Barat Risnawanto, Kamis (10/3) lalu, mengatakan, pengungsi diarahkan pulang atas sejumlah pertimbangan, salah satunya pemulihan ekonomi keluarga. Di kampung, warga punya kebun, sawah, dan sumber mata pencarian lainnya, tidak mungkin ditinggal begitu lama.
”Di rumah, mereka bisa memperbaiki kebun, kalau ada hasilnya bisa dijual untuk tambahan ekonomi keluarga,” katanya. Selain itu, di rumah, warga juga bisa membersihkan puing-puing sehingga bisa segera dibangun atau diperbaiki pada saat tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Ke depannya, kata Risnawanto, warga bakal mendapatkan bantuan uang tunggu dan bantuan perbaikan rumah. Prosesnya menunggu pendataan selesai untuk diajukan ke pemerintah pusat.
Data Pemkab Pasaman Barat, hingga 10 Maret 2022, menyebutkan, gempa tersebut menyebabkan 13 warga meninggal, 45 warga luka berat, dan 336 warga luka ringan.
Sementara itu, jumlah pengungsi di posko jauh berkurang. Pada 4 Maret jumlahnya 14.723 orang, pada 10 Maret tinggal 3.072 orang. Alasan warga bertahan di posko pengungsian karena rumah rusak berat sehingga tidak punya tempat tinggal, terutama di Timbo Abu dan Mudiak Simpang.
Adapun jumlah rusak akibat gempa di Pasaman Barat mencapai 2.993 unit, yaitu 1.050 rusak berat, 703 rusak sedang, dan 1.240 rusak ringan. Kerusakan rumah paling banyak di Kecamatan Talamau, sebanyak 1.896 unit dan 540 unit di antaranya rusak berat. Angka itu belum termasuk kerusakan bangunan lainnya.
Bencana memang menghadirkan duka dan derita. Namun, penyintas pantang untuk terus larut dalam kepedihan. Kehadiran negara sangat penting untuk menjaga nyala semangat penyintas untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana.