Penobatan KGPAA Mangkunegara X, Sabtu (12/3/2022), seperti mengulang sejarah suksesi kepemimpinan di Pura Mangkunegaran. Peran permaisuri dalam penentuan penerus takhta pun mengulangi sejarah di pura itu.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·3 menit baca
Cakra manggilingan. Falsafah Jawa itu mengajarkan bahwa hidup itu seperti roda. Berputar dan berulang kembali. Kejadian pada masa lalu bisa berulang hari ini, dengan sosok yang beda.
Seratus tahun lalu, dunia dilanda pandemi seperti saat ini. Bedanya, seabad lalu pandemi itu dinamai flu Spanyol. Dua tahun terakhir pandemi Covid-19 melanda dunia ini.
Cerita kehidupan berulang di Pura Mangkunegaran, salah satu pusat kebudayaan Jawa, yang merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam. Sabtu (12/3/2022), Gusti Pangeran Haryo (GPH) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo dinobatkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X, meneruskan kepemimpinan ayahandanya, KGPAA Mangkunegara IX, yang mangkat pada 13 Agustus 2021.
Mangkunegara X disumpah oleh ibunya, Gusti Kanjeng Putri (GKP) Mangkunegara IX dan disaksikan kerabat Mangkunegaran lainnya. Hadir pula Presiden Joko Widodo, serta pimpinan tiga keraton ”saudara” Pura Mangkunegaran, yaitu Sri Susuhunan Pakubuwono XIII (Keraton Surakarta), Sri Sultan Hamengku Buwono X (Keraton Yogyakarta), dan KGPAA Pakualam X (Pura Pakualaman Yogyakarta).
Mangkunegara IX tak meninggalkan pesan khusus, kecuali meminta agar keluarga besar Mangkunegaran menjaga kekompakan dan bekerja bersama untuk merawat dan mengelola Pura Mangkunegaran. Rukun selalu.
Penobatan GPH Bhre menjadi Mangkunegara X seakan mengulang sejarah pergantian kepemimpinan di Pura Mangkunegaran, lebih dari 140 tahun lalu. Seperti dituliskan History Inc dalam buku berjudul Mangkunegoro VI Sang Reformis (Penerbit Buku Kompas, 2021), saat Mangkunegara IV wafat tahun 1881, ia memiliki dua permaisuri, Raden Ayu (RA) Semi dan RA Dunuk.
Namun, yang ditetapkan sebagai penggantinya adalah Raden Mas (RM) Sunito, putra kedua dari permaisuri kedua. Putra tertua dari RA Semi, permaisuri pertama, tak diangkat sebagai pengganti karena dinilai bukan putra raja. Pernikahan Mangkunegara IV dengan RA Semi terjadi sebelum menjadi pimpinan Pura Mangkunegaran. Saat ia masih bernama RM Sudiro.
Mangkunegara IX sebelum menikahi Prisca Marina Haryogi Supardi (GKP Mangkunegara IX) tahun 1990 sempat menikahi Sukmawati Soekarnoputri pada 1974. Saat itu, ia bernama GPH Sujiwakusuma. Dari pernikahan dengan putri Proklamator Ir Soekarno itu, ia memiliki dua anak, yang tertua GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro. Orangtua GPH Paundra bercerai tahun 1984.
Saat itu anak-anak Mangkunegara IV tiada yang keberatan dengan penunjukkan RM Sunito sebagai Mangkunegara V. Oleh sebab, Mangkunegara IV membuat surat wasiat, Serat Paliatmo, yang jelas menentukan penggantinya, dan meminta anak-anaknya yang lain, termasuk yang lebih tua, untuk bersatu mendukungnya.
Mangkunegara IX tak meninggalkan surat wasiat mengenai penggantinya. Kedua putranya, GPH Paundra dan GPH Bhre, pun dinilai dapat menggantikannya. GPH Sujiwakusuma dinobatkan sebagai Mangkunegara IX tahun 1988.
Peran permaisuri Mangkunegara dalam menentukan penerus adipati, seperti yang diperlihatkan GKP Mangkunegara IX, juga mengulang sejarah. Tahun 1896, Ibu Suri Bendoro Raden Ayu (BRAy) Dunuk pun mengusulkan dan menobatkan RM Suyitno menjadi Mangkunegara VI, menggantikan kakaknya, Mangkunegara V, yang meninggal saat berburu. Perempuan dalam tradisi Mataram, termasuk penerusnya, memiliki peranan penting dalam pemerintahan.
Sebelum dinobatkan, GPH Bhre menuturkan, Mangkunegara IX tak meninggalkan pesan khusus, kecuali meminta agar keluarga besar Mangkunegaran menjaga kekompakan dan bekerja bersama untuk merawat dan mengelola Pura Mangkunegaran. Rukun selalu.
GPH Paundra yang dikabarkan menjadi Pangeran Sepuh (senior) tidak menghadiri penobatan Mangkunegara X. Ia sempat memperlihatkan kekecewaan pada suksesi di Pura Mangkunegaran.
Dari buku karya MC Ricklefs, berjudul Samber Nyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Nasional Indonesia Pangeran Mangkunagara I (1726-1795), Mangkunegara X bisa mengulang sejarah untuk segera merangkul kakaknya. Tahun 1755, Raja Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana III meminta bantuan kakak sepupunya, Mangkunegara I, untuk mengemongnya, dan menjadi Pangeran miji (senior). Semua potensi direngkuh untuk kesejahteraan bersama.