Harapan untuk Adipati Muda dari Pura Mangkunegaran
Pura Mangkunegaran telah menobatkan GPH Bhre Cakrahutomo sebagai Mangkunegara X, Sabtu (12/3/2022). Sosoknya sebagai pemimpin muda menyemai harapan kemajuan kebudayaan yang lebih berdampak pada masyarakat.
SURAKARTA, KOMPAS – Penerus takhta Pura Mangkunegaran telah dinobatkan, di Kota Surakarta, Sabtu (12/3/2022). Ia adalah Gusti Pangeran Haryo Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Ia ditetapkan sebagai adipati dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara X. Sosoknya sebagai pemimpin muda menyemai harapan akan kemajuan kadipaten yang lebih berdampak pada masyarakat.
Presiden Joko Widodo dan sejumlah tokoh serta pejabat memberikan ucapan selamat kepada Gusti Pangeran Haryo (GPH) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Mengenakan setelan jas biru, Presiden tiba di Pura Mangkunegaran pukul 11.59, Sabtu. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyambut kehadiran Presiden.
GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo mengenakan beskap hitam dan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu hitam dalam upacara penobatan tersebut. Jarik yang dikenakannya bermotif parang. Motif itu hanya boleh dikenakan oleh para pemimpin keraton satu dinasti Mataram Islam.
Mulainya prosesi penobatan ditandai dengan dipanggilnya Bhre untuk berjalan menuju ke Pendhapi Ageng, Pura Mangkunegaran. Ia berjalan gagah diiringi tabuhan gamelan dari tempat duduknya, di Pringgitan. Di Pendhapi Ageng, Bhre berdiri di tengah-tengah hadirin menghadap ke sisi utara. Selang beberapa waktu, giliran sang ibu, Gusti Kanjeng Putri (GKP) Mangkunegara IX, yang dipanggil menuju tempat tersebut.
Baca juga: GPH Bhre Cakrahutomo Dinobatkan Jadi Mangkunegara X
Selanjutnya, GKP Mangkunegara IX membacakan piagam pengukuhan. Piagam tersebut berisikan tentang keputusan keluarga yang menetapkan Bhre sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara X. Keris yang dikenakan Bhre digantikan dengan keris pusaka dalem bernama ”Kanjeng Kyai Wangkingan”.
Piagam pengukuhan diberikan kepada Bhre sesaat setelahnya. Bhre pun resmi menjabat sebagai adipati dalam usianya yang baru 24 tahun. Acara dilanjutkan dengan pembacaan janji prasetianya. Salah satu poin utama dari janjinya ialah menjaga kelestarian nilai-nilai luhur dan eksistensi Pura Mangkunegaran. Khususnya dalam falsafah yang diajarkan pendirinya, Mangkunegara I, yang dikenal dengan Tridharma, yakni mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni dan melu hangrukebi.
Mangkunegara X memulai kepemimpinannya dengan membacakan sabda dalem, atau pidato adipati. Ia menyadari besarnya potensi Pura Mangkunegaran sebagai satu entitas budaya yang terus berdiri selama lebih dari 200 tahun. Di sisi lain, dunia menghadapi era yang dinamis dan cepat berubah. Ada tuntutan bagi entitas budaya klasik agar menyesuaikan perkembangan zaman supaya bisa tetap eksis di masa kini.
”Pura Mangkunegaran tidak boleh terlena dalam euforia kejayaan masa lalu. Warisan sejarah bukan hanya suatu hal yang semata-mata harus dirayakan, melainkan harus diperhatikan pasang surutnya agar tetap menjadi pusat budaya dan sejarah yang tidak tergerus zaman,” kata Mangkunegara X.
Bagi Mangkunegara X, kebudayaan ialah identitas dan harga diri. Warisan budaya yang sedemikian besar tidak serta-merta diturunkan secara biologis. Tetapi, menjadi proses panjang yang disertai komitmen untuk benar-benar menjaga kelestarian budaya sebagai suatu hal yang holistik. Tidak terbatas pada kesenian, tetapi juga nilai-nilai luhur dari pendahulu.
Pura Mangkunegaran tidak boleh terlena dalam euforia kejayaan masa lalu.
Dalam misi pelestarian dan pengembangan budaya, Mangkunegara X menginginkan agar elemen masyarakat terlibat aktif. Ia membuka ruang bagi berbagai kelompok mulai dari budayawan, akademisi, pemerintah, lembaga sosial pelestarian budaya, hingga pegiat ekonomi. Diskusi-diskusi yang dilakukan hendaknya juga dapat menghasilkan kontribusi nyata dan bermakna bagi bangsa.
Pidato perdana Mangkunegara X mendapat sambutan baik dari kerabat keraton dan kadipaten satu dinasti Mataram Islam, yakni Kasunanan Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Pura Pakualaman. Semua simbol pemimpin dari masing-masing keraton hadir langsung didampingi para permaisurinya. Mereka juga diberikan tempat duduk persis di sebelah barat singgasana Mangkunegara X.
”Harapan saya, semoga beliau sukses, menjaga kesehatan, dan hati-hati saja. Saya punya harapan dari pidatonya tadi yang menekankan soal kebudayaan. Itu dilaksanakan saja,” kata Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, seusai acara.
Pemimpin Pura Pakualaman KGPAA Paku Alam X mempunyai harapan besar dengan dipimpinnya Pura Mangkunegaran oleh sosok muda. Ia meyakini, Mangkunegara X akan mempunyai banyak terobosan dalam kepemimpinannya. Terobosan-terobosan itu diharapkan menjawab masalah-masalah terkini perihal pelestarian kebudayaan.
Baca juga: Presiden Jokowi Memberi Ucapan Selamat kepada KGPAA Mangkunegara X
”Tentu, kebudayaan tidak dalam konteks berkesenian belaka. Tetapi, perilaku, pola pikir, daya kerja, dan sebagainya. Ini perlu dapat perhatian. Saya yakin, Kanjeng Gusti (Mangkunegara X) ini masih muda dan milenial. Jadi lebih bisa mengakomodasi perkembangan yang ada tanpa tercerabut dari akar budayanya,” kata Paku Alam X.
Hal serupa disampaikan putra mahkota dari Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Sudibyo Rojo Putro Narendro Ing Mataram atau KGPH Purbaya. Ia mengharapkan Pura Mangkunegaran semakin maju di bawah kepemimpinan Mangkunegara X. Kerja sama pengembangan kebudayaan bakal dijalin dalam waktu-waktu mendatang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Majelis Adat Keraton Nusantara Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mengatakan, paparan budaya asing menjadi ancaman keraton Nusantara saat ini. Upaya-upaya pelestarian perlu getol dilakukan. Para pemuda hendaknya digandeng dalam kerja-kerja pelestarian budaya. Hadirnya Mangkunegara X sebagai sosok pemimpin muda diyakininya mempermudah hal tersebut.
”Kita yang ada di posisi institusi budaya harus berpegang kuat menjaga kelestarian (keraton Nusantara). Syukur jika malah berkembang. Karena saya melihat anak-anak muda yang sebenarnya ingin belajar tentang kebudayaan,” kata Wandansari, yang juga putri dari Pakubuwono XII, pemimpin Keraton Kasunanan Surakarta, sebelumnya.
Ketua Himpunan Kekerabatan Mangkunegara Satyotomo mendukung penuh kepemimpinan Mangkunegara X. Ia memandang sang adipati sebagai sosok yang progresif. Pengalaman dalam memimpin juga terbukti dari kemampuan Mangkunegara X, saat masih menjadi pangeran, mengurus hal-hal utusan Mangkunegara IX. Salah satunya ialah mengurus pemugaran Pura Mangkunegaran.
”Beliau sudah sering menerima dhawuh (perintah)dari kanjeng romonya (Mangkunegara IX) menangani berbagai acara. Mestinya bisa diandalkan. Kami harapkan Mangkunegaran bisa berperan lebih dalam menjaga kebudayaan. Eksistensinya juga berskala nasional dengan andil dan memberi manfaat,” kata Satyotomo.
Secara terpisah, Tunjung W Sutirto, sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, mengatakan, Pura Mangkunegaran perlu merelevansikan kembali dirinya di tengah masyarakat saat ini. Hendaknya dialog dilakukan aktif dan intensif kepada masyarakat. Harapannya, masyarakat kembali merasa memiliki warisan hidup yang punya legitimasi sejarah demikian panjang.
Tunjung juga menyoroti terbaginya kelompok kebudayaan pemuda, di Kota Surakarta, menjadi dua kutub, antara populer dan tradisional. Menurut dia, Pura Mangkunegaran bisa mengambil peran dengan menghadirkan diri pada dua kutub tersebut. Misalnya, adanya pergelaran Mangkunegaran Jazz Festival, yang menyuguhkan hiburan populer tanpa mengesampingkan tradisi. Begitu juga ada aset berupa tarian dan gending (komposisi gamelan) yang dapat ditampilkan guna menarik publik buat mempelajarinya kembali.
”Tidak hanya berkutat pada yang klasik, tetapi juga kontemporer. Ini harus terus dicari inspirasi dan aspirasinya. Kalau terus berkutat pada masalah klasik saja, kelak (Pura Mangkunegaran) akan ditinggalkan,” kata Tunjung.
Upacara penobatan diisi dengan hiburan tari bernama Bedhaya Anglir Mendhung. Tarian tersebut menceritakan perjuangan Raden Mas Said, atau Mangkunegara I, mendirikan Pura Mangkunegaran. Tariannya pun menampilkan gerakan-gerakan perang. Itu dapat dilihat dari penari yang membawa panah dan busurnya.
Tarian tersebut hanya boleh dikeluarkan pada momentum-momentum khusus, yakni pengangkatan adipati dan peringatan pengangkatan adipati yang bertakhta. Tujuan dari penampilan tersebut ialah untuk mengingatkan sosok adipati yang bertakhta akan beratnya perjuangan mendirikan kadipaten tersebut. Diharapkan, penampilan tersebut membuat sang penerus selalu sadar pentingnya mempertahankan eksistensi kadipaten itu.