Berbahaya tapi Jadi Tumpuan Warga, Regulasi Tambang Rakyat di Aceh Dinantikan
Meski berbahaya, ratusan warga bertahan hidup dari sumur minyak rakyat. Camat Rantau Peureulak berharap ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk memberikan izin dan mengatur tata cara pengeboran yang tepat.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tengah menyusun qanun atau peraturan daerah tentang pertambangan rakyat. Qanun tersebut menjadi salah satu jalan untuk memutus polemik pengelolaan sumur minyak rakyat di Aceh yang berbahaya, tapi jadi tumpuan ekonomi banyak orang.
Jumat (11/3/2022) malam, sumur minyak ilegal di Desa Mata Ie, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, terbakar. Akibatnya, dua orang meninggal dunia karena luka bakar. Seorang lainnya masih kritis. Kejadian ini seperti mengulang peristiwa empat tahun silam. Di kawasan yang sama, kebakaran sumur minyak menyebabkan 22 orang menjadi korban.
Pertambangan minyak oleh warga di Ranto Peureulak marak sejak 2010. Warga mengambil minyak permukaan dengan cara mengebor pada kedalaman 100-200 meter. Minyak mentah itu kemudian dijual ke tempat penyulingan untuk diolah menjadi minyak tanah dan solar.
Ketua Komisi IV Bidang Energi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Khairil Safrizal mengatakan, selama ini pengelolaan sumur minyak rakyat dilakukan tanpa standar keselamatan. Akibatnya, kecelakaan tidak terhindarkan. Dia khawatir, jika tidak diatur, potensi kecelakaan terus menghantui.
Khairil menuturkan, bukan hal mudah menghentikan aktivitas pertambangan sumur minyak milik warga. ”Ada ribuan orang hidup dari sumur minyak itu. Lebih baik dibuat regulasi sehingga bisa dikelola dengan baik,” katanya, Sabtu (12/3/2022).
Khairil mengatakan, dalam qanun yang sedang disusun itu mengatur tata kelola tambang rakyat, pendapatan daerah, dan kewenangan pemerintah. ”Ke depan, harus diatur dengan ketat tata cara penambangan sehingga menekan risiko kecelakaan,” kata Khairil.
Deputi Dukungan Bisnis Badan Pengelolaan Minyak dan Gas Aceh (BPMA) Afrul Wahyuni mengatakan, qanun pertambangan rakyat akan menjadi solusi bijak daripada memaksa warga menutup sumur minyak.
”Qanun menjadi solusi jangka panjang. Namun, sosialisasi harus terus dilakukan, tanpa menafikan sumur itu tempat warga bertahan hidup,” kata Afrul.
Camat Rantau Peureulak Mukhtaruddin menuturkan, meski berbahaya, ratusan warga bertahan hidup dari aktivitas tersebut. Dia berharap ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk memberikan izin dan mengatur tata cara pengeboran yang tepat.
”Kami dilematis, sumur minyak ini ilegal, tapi jadi pekerjaan warga. Sulit mencari lapangan kerja yang lain. Kalau ini ditutup, entah ke mana warga harus mencari kerja,” kata Mukhtaruddin.